Setelah dengan berbagai cara menyatakan diri kepada manusia, akhirnya Tuhan sendiri turun kepada manusia, agar mereka lebih mengenal Dia. Ia hadir dalam diri Putra-Nya. Yesus Kristus berkata: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh. 14: 6). Yesus itu manusia seperti kita, turut merasakan kelemahan kita, tetapi Ia juga sekaligus Ilahi, Ia Mesias, Anak Allah. Ia memungkinkan keselamatan bagi kita, bahkan lebih tegas lagi: Ia sendiri adalah Keselamatan.
Jawaban. Pada salib Kristus, kita merenungkan bahwa ketakutan dan kecemasan manusia sudah mendapat jawabannya. Jawaban itu hadir sebagai Pribadi Ilahi. Hanya saja manusia sering berpaling; ia sering tidak percaya. Namun Yesus tidak menyerah. Ia tetap memilih jalan turun. Yesus bertanya kepada Filipus: “Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku”? (Yoh 14: 9). Kepada setiap kita Ia bertanya: “Tidak percayakah engkau, bahwa Aku dalam Bapa dan Bapa dalam Aku”? (14: 10).
Kristuslah yang memungkinkan pembaruan bagi manusia. Ia adalah pintu, jalan dan pemimpin, yang mengantar jiwa kembali kepada Bapa. Ia satu-satunya Pengantara antara Allah dan manusia (1Tim 2:5). Hanya melalui Dia jiwa manusia bersatu kembali dengan sang Kebaikan Tertinggi. Peristiwa salib memperlihatkan bahwa kasih Allah adalah kasih penuh kerendahan hati. Pada salib nyatalah totalitas kasih-Nya: Putera Allah diserahkan ke dalam tangan manusia. Allah, Sang Ada sempurna, sang Kebaikan Tertinggi telah menjelma menjadi manusia hina; Ia memilih jalan turun, menjad seorang di antara kita, agar kita diselamatkan.
Yesus Menantimu. Kepada setiap orang yang memandang salib dengan penuh kerinduan, Yesus yang tersalib menjanjikan hidup baru penuh suka cita dan harapan: “Sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus” (Luk. 23: 43). Kata-kata Yesus tersebut menunjukkan bahwa logika salib adalah logika kehidupan: Sang Cinta rela menjadi manusia, merentangkan tangan-Nya di kayu salib untuk merangkul manusia. Dalam kematian Tuhan, manusia menemukan kunci kehidupan. Salib Kristus yang tampak sebagai wajah penderitaan, memancarkan cahaya kehidupan. Misteri salib mengungkapkan bahwa Allah mencintai kita bukan atas jasa kita, melainkan karena Dia adalah Kasih.
Santo Bonaventura merenungkan bahwa salib Kristus memancarkan totalitas kasih Allah, yaitu kasih penuh kerendahan hati: “Begitu besar kasih itu sehingga akal budi pun terdiam” (Hexaёm., VIII, 5). Dalam karya mistiknya Soliloquium, Bonaventura juga merenungkan misteri salib dengan indah: “Dari salib Kristus menantikanmu, kepala-Nya tertunduk hendak menciummu, lengan-lengan-Nya terentang hendak memelukmu, tangan-tangan-Nya terbuka menyambutmu, tubuh-Nya terkulai pasrah seutuhnya, kaki-kaki-Nya terpaku menantimu dalam diam, bahu-bahu-Nya terbuka menyambut kedatanganmu” (Solil. I, 33-34).
Paradoks. Kontemplasi salib Kristus sebagai sumber harapan Kristiani juga terungkap dari kata-kata Paus Fransiskus dalam homilinya pada 27 Maret 2020 di Lapangan Santo Petrus. Hidup manusia penuh dengan pengalaman-pengalaman paradoks. Menghadapi bencana seperti wabah korona, manusia merasa tak berdaya, hidupnya absurd, tak dapat diterima dengan akal sehat. Di lain pihak manusia sadar bahwa putus asa adalah tanda kekalahan, dan itu bukan sikap sejati manusia. Ketegangan ini dalam kacamata iman hanya bisa dimengerti karena rahmat Tuhan: daya yang mengasihi secara total, mengampuni, menguatkan, memberi harapan:
Pasu Fransiskus berkata: “Kita tidak cukup diri, tenggelam dalam kesendirian….Mari kita mengundang Yesus ke dalam perahu-perahu kehidupan kita. Mari kita pasrahkan ketakutan kita kepada-Nya, agar Dia mengatasinya. Seperti para murid, kita pun akan mengalami bahwa bersama Dia di atas perahu, perahu tak akan karam. Sebab, inilah kekuatan Tuhan: mengubah segala sesuatu yang menimpah kita, bahkan yang buruk, menjadi baik. Dia membawa ketenangan dalam badai kita, karena dengan Tuhan hidup tidak pernah mati”.
Tuhan Pengemudi dan Jangkar. Di tengah ketakutan dan kecemasannya, manusia mengandalkan kekuatan di luar dirinya. Maka ia perlu belajar bersikap rendah hati, bergantung pada Tuhan, mengundang Tuhan datang, dan membiarkan Ia bertindak. Badai kehidupan adalah kesempatan untuk membiarkan Tuhan menjadi pengemudi handal dan menjadi jangkar labuan, agar segala yang tampaknya sudah karam dapat menjadi tenang kembali.
“Di tengah-tengah badai, Tuhan menantang dan mengundang kita untuk membangkitkan dan menggerakkan solidaritas dan harapan yang mampu memberikan keteguhan, dukungan, dan makna di saat-saat ini, ketika segala sesuatu tampak seperti karam. Tuhan bangun untuk membangkitkan dan menghidupkan kembali iman Paskah kita. Kita memiliki jangkar: di kayu salib-Nya kita diselamatkan. Kita memiliki kemudi: di kayu salib-Nya kita telah ditebus. Kita memiliki harapan: di kayu salib-Nya kita telah disembuhkan dan dipeluk sehingga tak ada sesuatu pun dan seorang pun yang dapat memisahkan kita dari kasih-Nya yang menebus”.
Merangkul Salib. Lalu Paus mengajak kita merangkul Salib Kristus. Merangkul salib berarti berarti tidak lari dari kenyataan hidup, berani menghadapi situasi sulit, peduli dan solider dengan sesama dalam perahu kehidupan. Dalam satu perahu, satu harapan, kita tidak dapat menyelamatkan diri sendiri, kita harus satu kata, menjadi satu kekuatan bersama:
Paus Fransiskus berkata: “Merangkul salib-Nya berarti menemukan keberanian untuk merangkul semua kontradiksi pada saat ini, meninggalkan sejenak kecemasan kita tentang kekuasaan dan kepemilikan untuk memberi ruang pada daya cipta yang hanya dapat terwujud oleh Roh Kudus. Itu berarti menemukan keberanian untuk membuka ruang di mana setiap orang dapat merasa terpanggil dan mengupayakan cara-cara baru hospitalitas, persaudaraan, dan solidaritas. Dalam salib-Nya kita diselamatkan untuk menyambut harapan dan membiarkan Dia menguatkan dan mendukung semua langkah dan cara yang memungkinkan, untuk dapat menjaga dan menjamin kita. Rangkullah Tuhan untuk merangkul harapan: inilah kekuatan iman yang membebaskan kita dari rasa takut serta memberi harapan”.
Persaudaraan. Krisis hidup karena wabah korona jangan memutuskan tali persaudaraan kita, itulah harta warisan yang tidak akan direbut oleh siapapun. “Kita merasa takut dan tersesat. Seperti para murid dalam Injil, kita terkejut karena badai yang tak terduga dan geram. Kita menyadari bahwa kita berada di perahu yang sama, kita semua rapuh dan bingung, tetapi pada saat yang sama penting dan perlu bahwa kita semua dipanggil untuk bersatu, semua membutuhkan untuk saling mendukung. Dalam perahu ini … kita semua ada di sini”.
Penulis: Sdr. Andreas B. Atawolo, OFM
disadur dari https://andreatawolo.id/2020/04/ia-kemudi-dan-jangkar-perahu-kita/
Tinggalkan Komentar