Kesaksian para murid Yesus tentang kebangkitan Yesus merupakan kekuatan bagi iman Kristiani. Kesaksian iman Rasul Paulus tentang kebangkitan menarik untuk direnungkan. Sdr. Andre Atawolo, OFM menampilkan secara singkat dan komprehensif perihal kesaksian Rasul Paulus tentang kebangkitan Kristus serta relevansinya bagi iman akan Kristus yang bangkit.
Paradigma Paskah
Kebangkitan merupakan peristiwa yang amat besar pengaruhnya bagi umat Kristen awal. Peristiwa kebangkitan yang sama sekali baru itu membenarkan apa yang telah dikesankan oleh Yesus tentang diri-Nya. Paskah mengubah paradigma para murid tentang Yesus. Setelah menyaksikan penampakan Yesus yang bangkit, mereka menjadi sadar bahwa Yesus melebihi apa yang selama ini mereka paham tentang Diri-Nya.
Dalam kitab 1Tesalonika, surat yang ditulis sekitar tahun 50M, terdapat kesaksian awal tentang kematian dan kebangkitan Kristus: “Karena jikalau kita percaya, bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia” (1Tes. 4:14).
Ada pula khotbah-khotbah awal Paulus yang memuat kesaksian tentang Kristus dengan tekanan khusus pada kebangkitan: “Injil itu telah dijanjikan-Nya sebelumnya dengan perantaraan nabi-nabi-Nya dalam kitab-kitab suci, tentang Anak-Nya, yang menurut daging diperanakkan dari keturunan Daud, dan menurut Roh kekudusan dinyatakan oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bahwa Ia adalah Anak Allah yang berkuasa, Yesus Kristus Tuhan kita” (Roma 1:1-4).
Kebangkitan Yesus merupakan Kabar Sukacita. Terhadap semua orang yang percaya kepada-Nya dijanjikan keselamatan. “Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan” (Roma 10:9). Kebangkitan menegaskan karya keselamatan dari Allah, dan kebenaran tentang Yesus sebagai anak Allah ditegaskan. Oleh kebangkitan-Nya, menjadi jelas bahwa Yesus adalah ‘Anak Allah, Kristus Tuhan’ (Roma 1:4).
Bangkit dan Tampak
Kesaksian awal ini kemudian masuk dalam Kisah Para Rasul dan Injil (Mrk. 16:6; Luk. 24:34). Misalnya rumusan ‘Allah membangkitkan Dia’ (Kis. 2:24; 1Kor. 15:15), yang ditegaskan dengan bukti penampakan: “Sesungguhnya Tuhan telah bangkit dan telah menampakkan diri kepada Simon” (Luk. 24:34; 1 Kor. 15:3-5). Dua kata kerja ‘bangkit’ dan ‘tampak’ (ēgérthē – ôphethē) dengan tekanan sesungguhnya menunjukkan bahwa kebangkitan merupakan sebuah realisme pengalaman perjumpaan para murid dengan Kristus, atau lebih tepatnya, inisiatif Yesus yang telah bangkit untuk memperlihatkan diri kepada para murid.
Lindemann tertarik menafsirkan beberapa hal dari “rumusan tersohor dan terpenting” tentang kebangkitan: “Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci; bahwa Ia telah menampakkan diri kepada Kefas dan kemudian kepada kedua belas murid-Nya. Sesudah itu Ia menampakkan diri kepada lebih dari lima ratus saudara sekaligus; kebanyakan dari mereka masih hidup sampai sekarang, tetapi beberapa di antaranya telah meninggal. Selanjutnya Ia menampakkan diri kepada Yakobus, kemudian kepada semua rasul. Dan yang paling akhir dari semuanya Ia menampakkan diri juga kepadaku, sama seperti kepada anak yang lahir sebelum waktunya” (1Kor. 15:3-8).
Paulus Mengenal Sebuah Tradisi
Teks 1Kor. 15: 3-8 ditulis sekitar tahun 56 atau 57. Dalam teks itu terdapat sebuah tradisi yang sudah ada waktu Paulus memberitakan Injil di kota Korintus. Menurut Cletus Groenen: “Boleh diduga tradisi itu sudah ada sekitar tahun 40M, jadi kurang lebih sepuluh tahun setelah Yesus tersalib. Tradisi itu menyajikan semacam daftar orang yang mendapat pengalaman paskah, yang olehnya Yesus yang tadinya mati ‘tampak’ sebagai hidup. Paulus menyamakan pengalamannya sendiri dengan pengalaman orang lain itu. Dan tentang pengalamannya itu Paulus memberikan laporan dalam Gal. 1:16.”
Untuk menunjukkan kewibawaannya sebagai Rasul, Paulus meyakinkan jemaat bahwa kesaksiannya tentang kebangkitan itu telah ia terima sendiri dari Tuhan. Kapan ia menerimanya? Dari teks Gal. 1:16-18 diketahui bahwa ia berada di Yerusalem tiga tahun sesudah pertobatannya. Di sana ia mengunjungi Petrus dan Yakobus (Gal. 1:18-19). Pertobatan Paulus berlangsung sekitar 33-35. Yesus wafat kita-kira pada tahun 30. Jadi Paulus berada di Yerusalem antara tahun 36 dan 38, atau antara 6-8 tahun sesudah peristiwa-peristiwa penampakan terjadi.
Dengan kata lain, sebuah tradisi kepercayaan tentang kebangkitan Yesus sudah ada mendahului kesaksian Paulus, sekitar tahun 40M. Paulus sendiri sudah percaya akan kebangkitan, sehingga ajarannya ini merupakan kesaksian berdasarkan sumber yang lebih tua daripada surat Korintus itu sendiri. Kesaksian Paulus tampak sebagai pengulangan atas katekese umum yang telah diterima oleh umat Kristen, yaitu bahwa Kristus telah mati, telah dikuburkan, telah dibangkitkan, dan telah menampakkan diri.
Tentang kematian Kristus tidak digambarkan bagaimana terjadinya. Namun alasannya jelas dikaitkan dengan motif keselamatan, yaitu ‘untuk menebus dosa-dosa kita’. Kata ganti plural (kita) memberi kesan sebuah ungkapan iman dari mereka yang meskipun tidak mengetahui tentang kematian Yesus, namun percaya bahwa kebangkitan-Nya membawa keselamatan. Dikatakan pula bahwa kematian dan kebangkitan Yesus itu sesuai dengan Kitab Suci, meskipun tidak disebut Kitab mana yang dimaksud, sebab tidak ada teks spesifik yang ditunjuk.
Kebangkitan Kristus diungkapkan dalam bentuk pasif (he was rised), bukan aktif (he arose). Ini menunjukkan bahwa kebangkitan itu bukan sekedar peristwa sejarah melainkan tindakan Allah. Dikatakan bahwa kebangkitan Kristus terjadi pada hari ketiga. Tidak ada keterangan apa yang terjadi antara kematian dan kebangkitan. Seperti tentang kematian, kebangkitan juga dikatakan sesuai dengan Kitab Suci, tanpa disebut teks tertentu. Paulus menyebut orang-orang yang dapat memberi kesaksian tentang kebangkitan Yesus karena mereka sendiri telah melihat Yesus yang telah bangkit. Orang-orang tersebut ialah: pertama-tama Petrus, kemudian 12 murid, lalu 500 saudara sekaligus, Yakobus, semua Rasul, dan akhirnya Paulus sendiri.
Penyebutan ‘dua belas murid’ mengindikasikan bahwa kesaksian Paulus ini tidak mengenal tradisi tentang seorang Yudas Iskariot yang telah meninggalkan kelompok Dua Belas murid. Keterangan bahwa Yesus telah menampakkan diri kepada lima ratus saudara (ada yang masih hidup, yang lain telah meninggal), merupakan cara Paulus meyakinkan pembaca bahwa apa yang ia bicarakan itu bukan omong kosong. “Kesempatan untuk menghubungi sekian banyak saksi yang masih hidup itu memperlengkapi kepercayaan akan kebangkitan Yesus dengan sebuah landasan kesaksian yang terjamin kebenarannya”.
Bukan Sekedar Apologia
Model kesaksian Paulus itu memberi kesan kuat bahwa ia tidak sedang membuat laporan bukti sejarah kebangkitan Yesus. Berdasarkan imannya akan kebangkitan Yesus, ia mau meyakinkan jemaat tentang adanya kebangkitan bagi orang mati. Untuk meneguhkan ajarannya, ia menunjuk penampakan yang dialami baik oleh kelompok ‘Kefas dan dua belas murid’, maupun ‘Yakobus dan semua rasul’. Oleh sebab itu, pada bagian lain ia mengkritik pandangan beberapa orang yang tidak percaya akan kebangkitan orang mati (bdk. 15:12).
Untuk menguatkan kembali kesaksiannya, Paulus berbicara tentang pengalamannya sendiri: “Ia (Yesus) menampakkan diri juga kepadaku”. Dulu Paulus adalah pembunuh para pengikut Kristus, namun setelah mendapat sebuah visiun akan Kristus dalam perjalanan menuju Damaskus (bdk Kis. 9:3-9), ia berbalik menjadi seorang pewarta yang handal: “Bukankah aku telah melihat Yesus, Tuhan Kita?” (9:1). Paulus mengidentikkan dirinya sebagai ‘yang paling akhir’, karena dahulu ia pendosa, tidak layak disebut Rasul (bdk 15:9), tetapi sekarang menjadi pembela iman Kristen, karena “kasih karunia Tuhan” (10) yang bekerja dalam dirinya. Bersama rasul lain, ia mewartakan ‘kabar baik’ kebangkitan bagi orang mati.
Kesaksian Paulus berbeda dengan narasi para penginjil yang mengedepankan fakta kubur kosong untuk menjelaskan kesaksian penampakan Yesus. Bagi Paulus, hal-hal itu penting, tetapi bukan yang utama: Ia kiranya tidak tertarik dengan ‘bukti’ kebangkitan. Pembaca sekarang juga tidak tahu bagaimana Paulus sampai pada keyakinan ini: ‘Ia (Yesus) menampakkan diri kepadaku’. Meski demikian, dampak iman akan kebangkitan Yesus jelas dalam diri Paulus: Ia menjadi giat mewartakan bahwa Yesus yang wafat telah dibangkitkan Allah.
Yesus Menampakkan Diri
Apa yang persis terjadi memang sukar diketahui oleh orang yang tidak langsung mendapat pengalaman itu. Dikatakan bahwa “Yesus tampak oleh mereka” (1Kor. 15:5; Luk. 24:34; Kis. 13:31). Istilah ‘bangkit’ dalam tradisi Yunani dihubungkan dengan Allah (Kis. 7: 2), malaikat (Luk. 1:1; Mat. 17:3) atau dewa-dewi yang ‘tampak’. Maksud ungkapan ‘Yesus tampak’ belum jelas. Namun mereka yang mendapat pengalaman itu yakin bahwa Yesus yang tadinya mati sekarang ‘tampak’. Dan kalau demikian, ia ‘dibangkitkan’ dari keadaan ‘mati’. Sebab, mati justru berarti bahwa tidak ada relasi yang dapat dihayati.
Dalam teks 1Kor. 15:3-8 dikatakan bahwa Yesus menampakkan diri. Ada semacam daftar sejumlah orang yang mengalami penampakan itu. Paulus sendiri juga menyamakan diri dengan pengalaman orang-orang tersebut. Tidak jelas bagaimana itu terjadi, tetapi jelas bahwa ada sebuah pengalaman pribadi yang tidak direncanakan tetapi bukan mimpi ataupun visiun.
Yesus tidak dilihat sebagai salah satu objek indrawi. Ia dilihat tetapi tidak segera ‘dikenal’ oleh orang yang akrab bergaul dengannya (bdk. Yoh. 20:15: Luk. 24:16). Ia berjalan dengan orang, namun tidak dikenal kembali. Ia sendiri mesti ‘membuka mata orang’ (Luk. 24:16. 31). Ia bisa menembusi pintu-pintu yang terkunci (Yoh. 20: 19.26) dan tiba-tiba lenyap (Luk. 24: 31). Dalam Kis. 10: 41 ditegaskan bahwa Yesus hanya bisa tampak oleh mereka yang ditentukan oleh Allah. Dari pengalaman inilah tumbuh cikal bakal kristologi dan soteriologi.
Hidup Baru dalam Roh
Pengalaman Paskah itu pun dihubungkan dengan daya “Roh Kudus” (Yoh. 16:7-11; 20:19-23; 1Ptr. 1:12). Roh Kudus merupakan suatu gagasan dari tradisi Yahudi yang mengungkapkan bahwa Allah berkarya, suatu daya kekuatan Allah yang hidup. Dalam tradisi Yahudi, Roh Ilahi dikaitkan dengan harapan akan zaman akhir (Yoel 2: 28-29), saat ‘Hari Tuhan’.
Para bekas murid Yesus mengartikan pengalaman barunya setelah Yesus mati sebagai pengalaman Roh Kudus, pengalaman akan keselamatan terakhir (Kis. 2:1-4, 14-32). Pengalaman akan Roh Kudus itu dikaitkan dengan Yesus (Kis. 2: 33) yang menyatakan bahwa Ia ‘hidup’, dan itu berarti ‘dibangkitkan’ (Rm 8:11; 1:4). Pengalaman akan ‘Roh Kudus’ menjadi awal segala sesuatu (1Kor 12:3). Dan jelas pula bahwa Roh Kudus yang dialami itu dialami sebagai berasal dari Allah melalui Yesus (Luk 4:18; Tit. 3:6; Rm. 8: 9; Gal. 4:6).
“Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus” (Kis 2: 36). Tindakan Allah itu terlaksana oleh daya Roh. Lantas, hal tersebut tidak dapat dimengerti tanpa peran Roh. Dalam konteks ini, Paulus mengatakan bahwa ‘Roh Dia (Bapa) telah membangkitkan Yesus (Rom. 8: 11). Yesus yang bangkit hidup oleh daya Roh. Dengan kebangkitan, daya Roh Bapa kini nyata dalam kejayaan Anak-Nya, karena itu Bapa dimuliakan. Kini, Kristus hidup secara baru yaitu hidup oleh ‘Roh yang menghidupkan’ (1Kor. 15:45). Dengan Paskah, hidup Kristus adalah hidup Roh, dan kemuliaan Kristus adalah kemuliaan Roh .
Dapat dikatakan bahwa dengan Paskah terjadi “pneumatisiasi Yesus”, artinya kemanusiaan Yesus kini dimuliakan dalam Roh. “Karena sekalipun Ia telah disalibkan oleh karena kelemahan, namun Ia hidup karena kuasa Allah” (2 Kor 13:4). Kini Yesus hidup penuh Roh; Ia kini ada sebagai Tuhan, Anak Allah. Dengan demikian Roh Kudus adalah Roh Kristus juga (Rom 8:9); dan oleh Roh itu, komunikasi antara Bapa dan Putra menjadi sebuah komunikasi sempurna: keduanya adalah satu Roh/Anima, satu kehendak, satu kasih.
Dalam Paskah Kristus, Allah mengungkapkan diri sebagai Bapa dari Putra yang tersalib dan bangkit. Kepada Yesus, Bapa menganugerahkan Roh untuk kepenuhan hidup baru. Paskah memperlihatkan bahwa Allah orang Kristen bukan hanya Allah Perjanjian, yang hadir secara nyata dalam sejarah manusia melalui janji dan berkat. Lebih dari itu, Ia telah menjelma menjadi manusia dalam diri Putra-Nya yang sulung, yang disalibkan, namun wafat dan bangkit, memulihkan kehidupan. Pada Kristus ada jaminan hidup baru.
Paulus berkata dengan tegas bahwa Kristus yang ia kenal ialah Kristus yang disalib itu (1Kor. 2:2). Dengan demikian, salib Kristus merupakan jalan legitim bagi kehidupan manusia dan tidak seorangpun dapat merebutnya. “Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawa-Ku untuk menerimanya kembali. Tidak seorangpun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali. Inilah tugas yang Kuterima dari Bapa-Ku” (10:17-18).
Harapan akan Hidup Kekal
Kesaksian iman Paulus tampaknya tidak menarik bagi orang modern yang terbiasa dengan cara berpikir ‘mencari bukti’. Ketika tidak dapat menemukan jawaban memuaskan tentang kebangkitan, peristiwa kebangkitan diragukan. Namun refleksi Paulus menyentuh aspek lain, yaitu pertanyaan manusia tentang kehidupan setelah mati. Orang dapat menolak kebangkitan Kristus, namun ia sulit menghindari pertanyaan tentang hidup setelah mati. Bagi orang beriman, hidup setelah mati adalah keselamatan kekal. Harapan akan hidup kekal itulah yang menjadi ‘kabar gembira’ yang disampaikan dalam warta kebangkitan Kristus sejak Gereja awal.
Kebangkitan menggambarkan kepenuhan waktu (Kis. 2:17); wujud pemenuhan nubuat mesianik sejak berabad-abad lamanya (2:30-34); dan melalui kebangkitan itu ditegaskan bahwa “Allah telah membuat Yesus … menjadi Tuhan dan Kristus” (2:36; 3:13; 4:11). Misi mesianik mencapai kulminasi pada warta kebangkitan. Dengan pristiwa kebangkitan Kristus, nubuat-nubuat profetik terpenuhi, bangkitnya terang bagi bangsa-bangsa (26: 23).
Bagi para penulis PB, kebangkitan Yesus merupakan realisasi masa depan yang direncanakan Allah bagi manusia dan segenap ciptaan. Kebangkitan berlaku bukan hanya untuk Yesus. Dia yang telah mati demi kita manusia, kini bangkit pula demi dan bersama kita; Ia membawa kita pada jalan menuju Bapa agar kita mengambil bagian dalam kemuliaan-Nya. “Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus” (1 Kor 15:22). Apa yang terjadi pada Kristus kini ada di hadapan kita sebagai objek pengharapan.
Dasar Harapan Eskatologi
Bagi orang beriman, dengan kebangkitan Kristus, objek harapan pada ‘realitas akhir’ itu kini menetap dalam hati setiap manusia. Dapat dikatakan bahwa realitas itu kini menjadi definitif dalam hati umat beriman: “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa mendengar perkataan-Ku dan percaya kepada Dia yang mengutus Aku, ia mempunyai hidup yang kekal dan tidak turut dihukum, sebab ia sudah pindah dari dalam maut ke dalam hidup” (Yoh 5:24).
Bagi Paulus, Roh kebangkitan telah dianugerahkan kepada kita (bdk. 2Kor. 1:22; 5:5). “Siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2Kor 5:17). Dalam pembaptisan, kita telah dibangkitkan bersama Kristus (Kol. 2:11), bahkan lebih lagi: mendapat tempat bersama-sama dengan Dia di surga (Ef. 2:6).
Kepenuhan hidup baru telah mulai ada dalam diri kita, dan akan menjadi sungguh-sungguh definitif dalam kesatuan dengan Allah. “Sekarang kita adalah anak-anak Allah, tetapi belum nyata apa keadaan kita kelak; akan tetapi kita tahu, bahwa apabila Kristus menyatakan diri-Nya, kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya” (1Yoh. 3:2). Kebangkitan yang telah diantisipasi dalam diri kita itu membawa kasih, sukacita, kegembiraan dan harapan sebagai murid Kristus.
Kebangkitan Yesus adalah dasar dan nukleus bagi harapan setiap orang Kristen. Dan itulah keyakinan Paulus: “Jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu… Jikalau kita hanya dalam hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia; jika orang mati tidak dibangkitkan, maka marilah kita makan dan minum, sebab besok kita mati” (1 Kor 15: 17, 19, 32).
Fakta kebangkitan Kristus tidak diamati oleh seorangpun. Fakta ini luput dari mata manusia. Kebangkitan tentu bukan peristiwa sejarah, namun memiliki segi-segi historis. Oleh karena itu, apa yang oleh ilmu sejarah dapat dikatakan tentang kebangkitan Yesus ialah: para murid telah memberi kesaksian tentangnya dan hanya mereka yang telah menjadi saksi penampakan diri Yesus yang bangkit. Maka yang penting bagi ilmu sejarah ialah mempelajari kesaksian tersebut: sejauh mana para murid dapat dipercaya, dan apakah kesaksian mereka dapat diandalkan atau tidak? Apakah mereka sendiri yakin atau kecewa dengan Yesus? Tentu saja pertanyaan itu dijawab dengan kerangka iman, bukan murni penyelidikan sejarah.
Kontributor: Sdr. Andre Atawolo, OFM
Tinggalkan Komentar