[Index Berita] | [Natal di Betlehem – Bagian 1]

Bunda Maria di Nazareth
Hari ke-enam kami mengarahkan pandangan ke Betlehem. Tiap orang mendapat kesempatan menaruh kepala kami masing-masing persis di palungan Jesus. Bahkan setelah itu mendapat kesempatan merayakan misa di kapel Infant Jesus, kapel yang diapit dengan palungan Yesus dan tempat kerja yang menjadi kapel St. Jerome – penerjemah kitab suci dari bahasa Ibrani dan Yunani ke dalam bahasa Latin.
Perayaan misa di Infant Jesus tak begitu nyaman, Sdr. Fransiskan yang mengurus tempat ini memperingatkan saya sampai tiga kali bahwa saya harus selesai misa dalam waktu 30 menit.

Regina sedang menaruh kepalanya di palungan
Disamping itu selama misa berlangsung, banyak pengunjung mengambil foto perayaan kami. Waku itu saya menyadari bahwa Yesus datang memang bukan untuk menghalau ketidak-kenyamanan, tetapi untuk memberi arti baru kehidupan manusia dan membawa damai batin dan bukan damai lahir. Di luar walaupun hiruk-pikuk tetapi di dalam batin hendaknya tetap tenang.
Di tempat ini saya bertemu Sdr. Robby, Sdr. Jordan dan Sdr. Duma. Sdr. Robby bilang, “Kita ambil foto bersama sementara kita bisa bertemu”. Memang benar, setelah itu kami tak saling bertemu lagi.

Kubah Kapel Padang Gembala
Kami tinggalkan Nativiti dan pergi ke Padang Gembala. Di sini tersedia 8 kapel, kebanyakan dalam bentuk gua. Di tempat ini telah di-booking untuk malam natal hingga natal pagi mulai jam 17.00 hingga jam 06.00. Tetapi kapel utama ada keunikan, terutama kubah yang berlobang-lobang yang membawa cahaya terang, lambang bintang kejora yang menuntuk para Sarjana dari Timur.
Dalam perjalanan ke Betlehem kami harus melewati pos penjagaan Israel yang begitu ketat. Siang hari passport kami diperiksa. Tapi malam ini lain, kami diminta menyanyi lagu-lagu natal dan mereka membagi-bagaikan hadiah natal yang tertulis, “Selamat natal dari Departemen Pertahanan Israel”. Kami merayakan malam natal di sini di padang gembala. Pada waktu itu hujan turun dan dingin. Secara pribadi saya senang karena hujan turun, karena membawa suasana sulitnya Yosef dan Maria mencari penginapan dan mengingat orang Israel butuh air. Tetapi banyak orang tak suka karena perayaan natal terganggu. Perayaan malam natal memang terasa terburu-buru. Kami diberi waktu hanya 50 menit. Tetapi rombangan sebelumnya, kelompok dari Italia telah mengambil 15 menit. Romo Fransiskan yang memimpin misa minta maaf pada saya. Saya bilang, “Taka apa-apa, we are the owner of the time”. Tetapi yang lebih parah ada rombongan dari Indonesia yang dipimpin dua orang romo. Rupanya mereka belum booking tempat. Mereka mau gabung misa dengan kami, tetapi minta supaya misa dalam bahasa Indonesia. Tak terjadi kesepakatan. Saya sendiri tidak tahu persis masalahnya, itu urusan panitia. Karena saya sendiri telah berdiri di depan altar. Saya baru tahu masalahnya setelah misa selesai. Nubuat Simeon memang menjadi kenyataan, “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan menjadi tanda yang menimbulkan perbantahan” (Luk 2:34). Bahkan di Kalvari sendiri terjadi kerucuhan pada malam Natal atara kelompok Katolik Orthodox dengan Armenian. Polisi yang turut serta menenangkan kericuhan bilang, “Nobody has been arrested, because all of them are Children of God”.
Kami kembali Ke Yerusalem. Kami menginap di Leonardo Hotel, yang bisa menampung lebih dari 800 orang. Masalahnya pada hari Sabat, lift tak jalan dan sarapan pagi dingin, karena para petugas terkena larangan Hukum Sabat. Pada waktu itu Orang Yahudi juga sedang merayakan hari raya Hanukkah dengan lambang 9 lilin yang dinyalakan tiap hari berturut-turut, perayaan berlangsung 8 hari untuk memperingati kemenangan Matias, Yudas dan Simon Makabe, para pahlawan Yahudi (1 Mak 2-9).
Kami mengunjungi tempat Yesus naik ke surga. Di situ kami lihat telapak kaki, di atas batu karang. Sayang kapel ini dimiliki oleh Islam sehingga nampak kurang mendapat perhatian. Dan para pengunjung pun tak mendapat sambutan semestinya.
Kami bergerak ke “Pater Noster dan Dominus Flevit”, diperkirakan Yesus mengajar doa bapa kami. Doa Bapa Kami dari berbagai bahasa terpampang didinding: Bahasa Thai, Indonesia, Jawa dan Sunda juga terpampang. Biara yang mengurus tempat ini tetap meminta dari pengujung untuk menyumbangkan Doa Bapa Kami dari berbagai macam bahasa untuk dipampang di dinding.
Kami menelusuri jalan dimana Yesus dielu-elukan dengan daun palma memasuki kota Yerusalaem (LK 19:28-44). Beberapa saat kemudian sampailah kami di tempat strategis. Kota Yerusalem nampak jelas dipandang dari tempat ini. Ditempat inilah Yesus menangisi kota Yerusalem (Luk. 19:41).
Di dekat taman Getzemani terdapat tiang untuk mengenang Yudas Iskariot menerima “30 uang perak” (Mt 26:15). Dan dia bilang, “Orang yang kucium, itulah Dia, tangkaplah Dia” (Mt 26:48). Pohon zaitun tua masih menjadi saksi. Sdr. Rafael, OFM membukakan kami pintu untuk memasuki Taman Zaitun. Saya amati kerjanya menyirami tanaman, membuka-menutup pintu dan menggembur tanah dan menyambut tamu-tamu dengan ramah. Nampak bahagia.
Di sebelah timur kota Yerusalem umumnya menjadi kuburan orang Yahudi. Orang Yahudi percaya bahwa suatu saat Mesias akan datang dan membangkitkan semua orang mati. Menurut tradisi setempat tak seorang pun boleh membuka kubur, bahkan bila orang berkunjung ke kubur harus membawa batu, dan mengatakan “jangan bangun hingga Mesias dating”. Tapi saya lihat juga ada gua tempat menaruh tulang-tulang. Kita tahu pasti bahwa tulang-tulang yang diambil dari kubur itu bukanlah milik orang Yahudi. Pada waktu itu Mesias akan datang untuk membaharui kota Yerusalem dan membangun “Kota kudus Yerusalem Baru” (Why 21:2). Tetapi orang Islam menunup pintu gerbang kota yang menghadap ke timur dan menjadikan daerah itu menjadi kuburan untuk mencegah orang melewati kuburan. Karena mereka percaya orang yang melewati kuburan berarti najis. Mesia kiranya tak lewat di tempat najis. Karena mereka takut nubuat akan menjadi kenyataan.

Kuburan Lazarus
Hari ke tujuh kami mengunjungi Bethani, rumah Maria, Martha dan Lazarus. Kami merayakan misa disini. Kami merayakan misa dengan tenang dan nyaman, karena tak ada kelompok lain menunggu.
Kita ingat aturan hidup dalam pertapaan, “Saudara-saudara yang mau menjalankan hidup bakti di tempat-tempat pertapaan, hendaknya bertiga atau paling banyak berempat; dua dari mereka hendaknya menjadi “ibu”, dan dua yang lainnya atau sekurang-kurangnya satu menjadi “anak” mereka. Dia yang menjadi ibu hendaknya memerankan cara hidup Martha, sedangkan kedua anak memerankan cara hidup Maria” (AtPert 1-2). Saya sampaikan juga dalam homili bahwa hendaknya kitapun mewarisi semangat hidup Martha dan Maria, hidup aktif-kontemplatif.

Motto hidup bersama

Aturan hidup bersama di Qumran
Di Qumran ada semboyan, “They shall eat together, together they shall bless, and together they shall take counsel”. Semboyan senada terpampang di berbagai tempat. Itulah dasar hidup para tua-tua penulis kitab suci, yang gulungan-gulungan kitab suci ditemukan di gua. Cara menyimpannya juga luar biasa, dimasukkan dalam bejana hampa udara dan segel, sehingga beratus-ratus tahun tidak rusak. Monumen dalam bentuk bejana kami kunjungi juga, nampak terpampang satu gulungan asli.
Aturan hidup yang terpampang di kamar makan nampak lebih jelas lagi, “They shall eat in common and bless in common and deliberation in common and when the table has been prepared for eating and the new wine for drinking the priest shall be the first to stretch out his hand to bless the first provie (provision) of the bread or new wine”
Daerahnya nampak kering, tak ada pohon, tak ada air. Tetapi bila kita berada di daerah ini terasa tenteram. Ada semacam “stillness” menembus batin. Bisa dimengerti bahwa orang-orang yang ingin mencari kekudusan pergi ke gua-gua. Tradisi semacam ini kiranya telah berlangsung lama hingga kini. Kiranya kita perlu menciptakan “gua-gua batin” untuk bertemu Allah, untuk menghemat biaya dan tenaga, terutama mereka yang hidup kontemplatif. Fransiskus bilang, “Sacred Place” yang berbeda dengan “Holy Place”.

Di gua inilah gulungan kitab suci ditemukan
Mandi dan mengapung di Laut Mati terasa nyaman. Tak mungkin kita tenggelam, walaupun tertelentang di tengah laut. Air terasa amat asin dan pahit, tetapi bila terkena di mata terasa nyeri. Kita ingat kembali Nabi Eliza yang dengan menaburkan garam ke dalam mata air yang tak sehat untuk diminum berubah menjadi air yang memberi hidup (2 Raj 2:21). Dalam batin saya mau mencuri garam yang lembut di pantai garam untuk kenangan, yang katanya diekspor ke Australia untuk bikin pupuk. Setelah berenang di laut asin kami harus mandi lumpur. Seluruh badan diolesi dengan lumpur tanah lihat lalu difoto bersama, kami saling membantu. Kami seperti “a new born child”, lupa bahwa rambutnya telah memutih. Bahkan satu anggota kami memasukkan seluruh badannya untuk berkubang, seperti kerbau. Ada waktu untuk berkubang. Orang percaya dengan berbuat begitu nampak lebih muda. Saya yakin, karena pada saat itu kami memasuki dunia kanak-kanak. Setelah mandi air belerang, aslinya ketahuan juga, rambut makin putih dan kulit wajah tetap berkerut, tak seperti waktu masih muda dulu.

Ikan tawar di restaurant Laut Mati
Ada rencana untuk melaksanakan nubuat nabi Yeheskiel (47:1-12) dan Yohanes (Why 22:1-2) untuk mengalirkan air dari Laut merah ke Laut mati letaknya 450 meter di bawah laut. Bila terjadi ikan yang pernah menelan Nabi Yunus akan hidup lagi (Yun 1:17). Kita doakan “the dream will come true”.
Menjelang hari Natal, kami meratap di dinding ratapan. Isi ratapan, “mengapa Sang Mesias yang kita tunggu-tunggu tak kunjung datang datanglah sang Mesias”. Semua orang dan semua agama meratap, para wanita berada di sebelah kanan dan para pria berada di sebelah kiri. Semua mengenakan topi, bila tidak membawa, kita bisa pinjam, gratis; topi warna putih, seperti yang biasa dipakai para haji. Seharusnya namanya diganti bukan “dinding ratapan”, tetapi “dinding seluruh bangsa bagi semua agama”. Atau “Dinding Penantian Mesias”. Tatapi kita hendaknya ingat kata-kata Yesus kepada Wanita Samaria, “Percayalah kepadaKu, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem… Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian” (Yoh 4: 21-23). Untunglah kamera dilarang, kalau tidak orang bisa ambil gambar seorang fransiskan dengan topi haji.

Tempat Yesus disesah dan di penjara sebelum disalibkan
Kami menapaki Lithostrotos atau Gabata (Yoh 19:13). Kami saksikan tempat serdadu mengolok-olok Yesus. Bahkan di tempat Yesus disesah, darah masih melekat di dinding gua. Di tempat ini jauh mengungkapkan kesaksian nyata lebih daripada film “Jesus Christ Superstar”. Tempat itu membawa kami kepada kenyataan.
Petrus menyangkal Yesus hingga tiga kali (Yoh 18:12-25), hingga ditertawakan oleh ayam.
Kedosaan menjadi bagian kerapuhan kita manusia yang kiranya sulit dihindari, tetapi penyesalan dan pengakuan dosa haruslah terjadi.

Ayam-nya Petrus

Petrus menyesal dan menangis
Ada bayangan kegelapan di belakang Petrus. Rupanya bayangan itu sengaja ditampilkan sebagai tanda ia meninggalkan kegelapan menuju terang.
Kami menyaksikan peristiwa visitasi. Maria ternyata menjadi “the mother of joy”. Kehadiran Maria mengubah suasana menjadi bahagia. Tetapi dimana pun Maria berada Yesus besertanya pula. Maria membawa berkat kebahagiaan. “Dan ketika Elisabeth mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di dalam rahimnya dan Elisabeth pun penuh dengan Roh Kudus” (Lk 1:41).
Elisabeth pun berseru dengan suara nyaring “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” (Lk 1:42-43). Maria sendiri memuliakan Tuhan (Lk 1:46-55) dan Magnificat-nya terpampang di diding dalam berbagai bahasa. Zakaria sendiri memadahkan lagu pujian pula (Lk 1:67-80). Maria menjadi bunda sukacita dan membangkitkan orang untuk memuliakan Tuhan.
Peristiwa di Kana juga menunjukkan bahwa Maria membawa warta gembira waktu perjamuan kawin kehabisan anggur. Maria sendiri mengambil inisiatif untuk meminta Yesus berbuat sesuatu. Dan Yesus mengubah air menjadi anggur (Yoh 2:1-12).

Maria mengunjungi Elisabeth
Kami merayakan misa di sini. Kali ini terjadi kesepakatan. Kelompok peziarah dari Afrika Barat yang dipimpin oleh Rm. Simplice Gosse bergabung misa dengan kami. Sayang beliau tidak mau pimpin misa. Kami berbagi kebahagiaan. Kebahagiaan kami lahir dari Ibu yang sama. Sepertinya kami juga merasakan kunjungan Maria yang kebahagiaannya menembusi jiwa kami. Tapi kami pun semacam mendapat tugas untuk berbagi kebahagiaan, untuk mewartakan kebahagiaan, bukan untuk mewartakan kesedihan, seperti yang biasa diwartakan dunia. Dunia anak-anak Allah kiranya perlu mengutamakan warta gembira, bukan hanya mengeluh dan mempersalahkan sesama.
Kami sampai pada puncak ziarah, mengunjungi kalvari. Pada jam 06.30 waktu setempat (24.30 WIB) kami mulai jalan salib. Gelap dan dingin. Kami berusah menghindar dari kelompok lain karena beda bahasa. Kami berdoa jalan salib kadang-kadang persis pada perhentian jalan salib kadang-kadang di tengah perhentian agar tak berbenturan dengan kelompok lain.
Sehabis doa jalan salib kami masing-masing sempat berlutut untuk meraba kayu salib Yesus lewat lobang. Bentuknya bagaiman dan warnanya apa, saya juga tidak tahu. Tapi dengan menyentuh kayu salib itu sudah cukup. “Perkenankanlah kami berpulang dalam damai”, kata Simeon.
Kami mendapat kesempatan misa di Kalvari, kapel yang berdampingan dengan tempat salib Yesus. Kali ini ada romo dari Singapore yang sedang belajar kitab suci di Yerusalem. Kami minta dia pimpin misa, tetapi ia menolak, ia lebih suka mendampingi. Penderitaan dan wafat Yesus tidak mengubah penderitaan dan kematian fisik manusia, tetapi memberi arti baru penderitaan dan kematian. Hendaknya kita tidak menolak penderitaan dan kematian. Itu isi homili singkat saya. Karena saudara Fransiskan yang mengurus di situ memberi waktu misa hanya 30 menit. Dan dia juga ikut misa. Barangkali untuk mengecek agar tepat waktu…

Batu Kilangan
Setelah misa perlu antri lagi menjenguk kubur Yesus. Baru berlutut untuk menaruh dahi di tempat Yesus dibaringkan, terdengar suara dari luar, “Be hurry, please!”. Grazie.
Sebelum meninggalkan Israel kami masih sempat mengunjungi Jaffa, the Bible Landscape, kami saksikan batu-batu kilangan pemerasan anggur dan minyak zaitun. Ingat kata-kata Yesus betapa penting keselamatan jiwa, “Barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil yang percaya ini, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia dibuang ke dalam laut” (Mrk. 9:42)

Sumur timba
Ternyata seni menginjak-injak anggur juga tumbuh. Laki-laki menginjak-injak anggur dan para wanita bernyanyi berirama. Sehingga para penginjak anggur pun seperti berdansa, atau poco-poco. Para wanita dilarang ikut serta menginjak-injak anggur, takut terlihat tumitnya dan ada alasan kewanitaan yang lain. Rasa anggur pun bisa dibuat pahit, dengan dicampur biji yang ditumbuk, atau dibuat manis, dengan tanpa biji, atau diberi warna merah dengan menaruh kulit anggur.
Di darah ini terdapat 40 sumur penampung air hujan. Air hujan yang ditampung di sumur-sumur ini bisa dipakai selama satu tahun. Kalau sumur kering, mereka aka berdoa minta hujan, seperti pada zaman Nabi Elia (1 Raj. 18:41-46). Dua malam di Istambul tak ada yang menarik selain gedung gereja pada zaman Konstantin dijadikan Mesjid dengan gambar-gambar ikon Maria, Yesus dan para kudus masih terpampang.
Salam dan Syukur
Sdr. Tarjo
Terimakasih tuk sharingnya Sdr. Tarjo…pace e bene