Fransiskus sendiri mempunyai semangat misionaris dan juga penganut-penganutnya. Boleh dikatakan bahwa Fransiskan mulai “misi” sistematis dalam abad pertengahan. Mula-mula menurut teladan Fransiskus mereka menaruh perhatiannya pada “kaum muslimin”, tetapi tidak lama kemudian juga “kaum tak beriman lain” dicarinya untuk memaklumkan Injil. Orang yang diantaranya yang pertama pergi ke daerah timur jauh ialah Yohanes de Monte Corvino. Dalam tahun 1291 ia berangkat ke Tiongkok, ia berjalan lewat laut dan melewati India, tempat ia tinggal satu tahun lebih. Kemudian diteruskannya perjalanannya ke Tiongkok dan menjadi Uskup Agung yang pertama di Peking. Segera beberapa Fransiskan lain menyusul dan sejumlah Uskup ditahbiskan oleh Yohanes de Monte Corvino, yang menjadi Batrix seluruh timur termasuk Indonesia.
Dalam abad XIV beberapa Fransiskan dalam perjalanannya ke Timur Jauh singgah sebentar di Indonesia. Odoricus de Portu Naone sekitar tahun 1323 singgah di beberapa pulau di Indonesia, yaitu Sumatra Utara (Aceh), Kalimantan (sebagai orang Eropa yang pertama) dan Jawa. Di Jawa waktu ia menurut Odoricus hanya ada satu “raja”. Fransiskan yang kedua yang singgah di Indonesia ialah seorang Uskup yang bernama Yohanes del Marignelli. Orang itu singgah di Sumatra sekitar tahun 1347 sebagai “utusan” (legatus) Paus dan mengunjungi “ratu” Sumatra Utara. Dengan baik ia diterima dan diberi banyak hadiah oleh ratu itu. Kedua orang Fransiskan yang pertama itu tidak lama tinggal di Indonesia dan hanya singgah sebentar. Namun demikian mereka tidak segan mewartakan Injil dan berhasil merebut hati beberapa orang untuk agama Kristen. Menurut Yohanes del Marignelli di Sumatra Utara sudah ada segelintir orang Kristen waktu ia singgah di sana. Kedua Fransiskan tersebut menambah jumlahnya sedikit.
Waktu dalam abad XVI orang Portugis dan Spanyol berlayar ke mana-mana untuk merebut dunia bagi rajanya, maka Fransiskan (dan Dominikan) sibuk mengikuti mereka untuk merebut dunia untuk raja Kristus. Mereka pergi ke Amerika Selatan dan juga ke Timur Jauh. Dalam tahun 1500 Fransiskan menetap di Goa (India) dalam tahun 1577 ada suatu kustodi di Kepulauan Filipina (Manila) dan dari situ Fransiskan pergi ke Malaka dan Macao. Yohanes Baptista Lucarelli sebagai yang pertama datang ke Malaka (karena diusir dari Macao) dan dalam tahun 1582 Fransiskan mempunyai satu biara di Malaka dan tahun 1582 dalam biara itu ada 10 anggota. Dalam tahun 1584 didirikan kustodi di Malaka, akibat pertikaian antara Fransiskan Malaka (Portugis) dan Fransiskan Filipina (Spanyol). Biara di Malaka itu menjadi pusat kegiatan misioner para Fransiskan. Biara di Malaka berdiri tegak hingga tahun 1641 (Belanda mengusir mereka). Disamping pusatnya di Malaka Fransiskan mempunyai pusat lain di Macao. Dari kedua pusat itulah mereka menyusup ke Indonesia.
Ada beberapa berita bahwa Fransiskan sudah mendirikan sebuah misi di Makasar, Maluku (Amboina). Tetapi kebenaran berita itu sangat diragukan, sehingga tidak ada kepastian tentang misi pertama itu.
Boleh diterima bahwa beberapa Saudara-Saudara Dina berangkat dari Malaka ke Indonesia dalam tahun 1589. Mereka pergi ke Indonesia Timur, yaitu apa yang oleh orang Portugis waktu itu dinamakan “pulau Solor”, yang merangkum juga pulau Flores serta pulau-pulau sekitarnya. Di sana pusat Portugis terletak di Larantuka, dimana para Dominikan sudah bekerja. Rupanya Fransiskan pergi oleh karena banyak orang (raja-raja di sana) minta misionaris dari orang Portugis. Karena kekurangan berita maka tidak diketahui banyak tentang nama dan pekerjaan Saudara-saudara Dina pertama itu di Flores dan pula tidak diketahui dimana mereka menetap. Kiranya mereka tidak lama tinggal di sana, oleh karena para Dominikan biasanya tidak suka bahwa ordo lain muncul di tempat mereka sudah bekerja.
Dalam tahun 1593 beberapa Fransiskan pergi ke Amboina (dimana para Yesuit sudah bekerja), tetapi mereka tidak tahan lama karena pelbagai kesulitan sehingga pulang ke Malaka. Hanya jelas bahwa beberapa lamanya seorang saudara dina bekerja di sana sebagai pembantu seorang Yesuit.
Dalam abad XVI pulau Jawa terdiri atas beberapa kerajaan (Jawa Tengah: Senopati, Surabaya, Banten) yang semua sudah memeluk Islam. Tetapi di Jawa Timur ada sebuah kerajaan yang tetap memeluk agama Hindu, yaitu kerajaan Blambangan, yang didukung oleh Bali dan kerajaan Sulawesi. Baru dalam tahun 1598-1599 itu dikuasai oleh kerajaan Pasuruan dan menjadi Islam. Orang-orang Portugis mempunyai hubungan dagang dengan kerajaan Blambangan itu. Meskipun raja Blambangan sekali-kali tidak bermaksud masuk agama Kristen, namun dengan alasan politik (menarik orang Portugis supaya terlindung terhadap kerajaan-kerajaan Jawa lain) ia meminta orang Portugis untuk mengirim beberapa imam ke negerinya. Maka dari itu dikirimlah dari Malaka beberapa Fransiskan ke Jawa Timur yang tiba di sana tahun 1584. Jumlah saudara dina itu adalah empat orang. Dua orang menetap di kota Blambangan dan mulai mengabarkan Injil di sana, sedangkan yang lain tinggal di pelabuhan Pasuruan yang termasuk kerajaan itu. Ternyata bahwa hasil pekerjaan di Blambangan cukup besar. Sdr. Manoel de Elvas membaptis di ibu kota itu enam ratus orang dan beberapa tokoh penting dari keraton termasuk di dalamnya. Satu diantara tokoh penting itu seorang pangeran bahkan mati terbunuh oleh Sultan, (atas tuduhan anak perempuannya) dan boleh dianggap sebagai “martir” oleh karena waktu mati mengaku dirinya orang Kristen. Fransiskan-fransiskan di Blambangan juga mendirikan sebuah gereja di sana. Tetapi Sultan Blambangan tidak begitu mendukung para misionaris Fransiskan itu, meskipun mereka mendapat perlindungan dari ibu suri. Itulah sebabnya tidak begitu banyak orang masuk Kristen karena takut kepada Sultan. Kedua saudara yang tinggal di pelabuhan Panarusan, juga mendapat sukses kecil pula. Ketika saudara sepupu raja sendiri tersebut dibaptis lalu dikejar dan dibunuh oleh Sultan, maka kedua Saudara-saudara Dina juga mulai dikejar. Sultan Pasuruan yang ingin menguasai Blambangan mengajak para saudara dina datang ke kerajaannya karena di Blambangan dikejar. Tetapi para Fransiskan menolak. Kerajaan Pasuruan sudah memeluk agama Islam sehingga di sana tidak ada banyak harapan akan hasil usaha misioner.
Sesudah 4 tahun bekerja di Panarusan dan Blambangan, maka keempat Fransiskan pulang ke Malaka. Tetapi ada Saudara-saudara Dina lain yang mengganti dan masih dapat bekerja di sana beberapa lamanya. Tetapi berita jelas tidak ada lagi tentang pekerjaan-pekerjaan dan hasil mereka. Hanya diketahui bahwa beberapa orang Jawa masuk Kristen di sana, bahkan sedikit lebih banyak. Jelas pulalah bahwa orang Kristen di sana akhirnya dikejar dan dianiaya.Dalam tahun 1598-1599 Blambangan direbut oleh Sultan Pasuruan yang beragama Islam dengan demikian berakhir misi Katolik pertama di Jawa sebelum abad XIX. Desa orang Kristen (desa Kota Bedah) dirobohkan seluruhnya. Tentang nasib Fransiskan yang waktu itu ada tidak diketahui apa-apa.
Dalam abad XVI kepulauan Maluku terdiri atas 4 daerah Sultan, yakni Ternate, Tidore, Bacan, dan Yailolo. Yang paling penting ialah Ternate dan Tidore. Dan Ternate-lah yang paling kuat. Kedua daerah itu sudah masuk Islam. Kepulauan Maluku itu direbutkan oleh orang Portugis dan orang Spanyol, tetapi akhirnya diserahkan kepada orang Portugis. Dalam tahun 1605 orang Belanda mulai merebut kepulauan itu, tetapi untuk sementara waktu dikalahkan oleh orang Spanyol yang kembali menguasai kepulauan Maluku. Orang Spanyol itu membawa serta sejumlah misionaris Agustin, Dominikan, Fransiskan dan Yesuit. Adalima Fransiskan diantaranya, tetapi dua baru tiba lalu kembali ke Manila. Ketiga Fransiskan yang tertinggal diberikan sebuah masjid yang dijadikan gereja di ibu kota Ternate dan disamping gereja itu mereka mendapat satu rumah sebagai kediaman dan satu rumah menjadi rumah sakit.
Mula-mula Saudara-saudara Dina hanya bekerja di Ternate saja, di ibu kotanya Gamulamu yang oleh orang Spanyol diberi nama Rosario. Adapun sebabnya ialah jumlah Saudara-saudara Dina hanya kecil dan tambahan tidak dapat dikirim dari Manila. Kerjanya terlalu banyak dengan memelihara orang Kristen di Ternate, baik orang Spanyol dan Filipina maupun orang pribumi. Kesulitan khusus ialah perebutan kekuasaan antara orang Spanyol dan orang Belanda yang berlangsung terus. Orang Belanda didukung oleh orang pribumi oleh karena orang Spanyol sudah membuang beberapa tokoh penting ke Manila. Dalam tahun 1619 empat saudara dina baru dikirim. Semua (bersama awak kapal) ditangkap orang-orang Belanda, tetapi kemudian dilepaskan sebagai tukaran untuk orang Belanda yang ditangkap Spanyol. Mereka lalu melanjutkan perjalanannya sampai ke Ternate. Yang paling penting dari antara saudara-saudara baru itu ialah Sebastian de S Jose, yang agak mahir bahasa Melayu sedikit, sehingga dapat bekerja di tengah orang pribumi. Sebastian memindahkan biara Fransiskan yang lama keluar kota, supaya lebih baik dapat dijalankan semua praktik kebiaraan yang lazim. Di rumah di dalam kota Gamulamu hanya tinggal dua orang saja sedangkan yang lain pindah semua. Kedua orang di kota itupun melayani pulau Tidore juga yang belum direbut Belanda. Dalam tahun 1621 tambah empat saudara lain lagi dengan komisaris Provinsial yang baru. Komisaris itu mengirim dua orang ke pulau Yilolo (Halmahera). Dua saudara pergi ke Sulawesi juga yang sedikit banyak termasuk ke dalam daerah Maluku. Diketahui bahwa dalam tahun 1619 ada tiga biara Fransiskan di Ternate disamping dua kolese Yesuit. Jumlahnya orang Kristen tidak diketahui dengan pasti. Ada berita tentang ± 200.000 dan ada berita tentang ± 100.000. Di kota Gamulamu biasanya hanya tinggal tetap dua saudara dina sedangkan yang lain pergi kemana-mana, antara lain ke Sulawesi dan kepulauan Sangihe. Dalam tahun 1626 rumah sakit Fransiskan di Ternate terbakar tapi dengan pertolongan gubernur Spanyol segera dibangun kembali.
Dalam tahun 1656 masih tambah empat saudara dina baru tetapi kebanyakan mereka bekerja di Sangihe dan Sulawesi. Sementara itu perebutan kekuasaan antara Spanyol dan Belanda terus berlangsung, dan Belanda semakin kuat kedudukannya. Dan dimanapun orang Belanda berkuasa, gereja dan misi Katolik segera dilarang dan terpaksa dihentikan. Dalam kerja misi juga ada macam-macam kesulitan interen, antara lain antara Fransiskan dan Yesuit. Fransiskan adalah orang Spanyol dan diperintah dari Malaka, sedangkan Yesuit adalah orang Portugis dan anggota dari provinsi Yesuit di India. Dalam hal ini tercampur juga persaingan politik antara Spanyol dan Portugis. Oleh karena orang-orang Spanyol amat terancam di Manila dari pihak bajak laut Tionghoa, maka mereka menarik kembali dari kepulauan Maluku semua pasukannya dan semua orang-orangnya. Ini diperintahkan dalam tahun 1662 dan dilaksanakan dalam tahun 1666. Orang Spanyol sendiri membongkar semua milik mereka, termasuk biara dan Gereja. Setelah orang Spanyol meninggalkan kepulauan Maluku, maka orang-orang Belanda mengambil alih semua dan dengan demikian berakhirlah misi Katolik dan Fransiskan di Maluku hingga hari ini (P. Vulco Vights beberapa lamanya bekerja di kepulauan Kei dalam abad ini).
Dengan berpangkalan di Ternate, saudara dina juga memperluas kegiatan misionernya ke Sulawesi Utara dan Selatan. Sejak akhir abad XVI, Sultan Ternate lebih kurang berkuasa di Sulawesi Utara dan pulau-pulau sekitarnya. Waktu Ternate direbut dalam tahun 1606 orang-orang Spanyol mencari hubungan dengan Sulawesi Utara juga kerajaan Menado, Tolitoli, Bohol, Bulan, dan Kaidapan. Dalam tahun 1610 dua Fransiskan yaitu :Sebastian de S. Jose dan Antonio de S. Ana berangkat dengan kapal muatan dari Ternate ke Sulawesi Utara. Mereka tiba di Kaidapan dan segera membangun sebuah kapela sementara dan terus mengunjungi ratu daerah itu yang bernama Dongue yang sudah simpatik dengan agama Kristen. Sebastian de Jose mau segera mengunjungi raja Bohol(Boeol) yang sudah mau masuk Kristen dan dibaptis oleh seorang Yesuit. Ia sudah beberapa kali meminta misionaris. Tetapi di perjalanan ke sanasdr. Sebastian de S. Jose ditangkap oleh orang muslim dan dibunuh 18 Juni 1610. Orang muslim itu terus pergi ke Kaidapan dan di sanaberhasil menangkap sdr. Antonio de S. Ana juga. Ia dibawa ke Sultan pulau Tagulandungdan di sana akhirnya dibunuh, dicincang oleh kaum perempuan. Akhirnya kepalanya dipenggal tanggal 28 Juni 1610. Dengan demikian usaha pertama itu gagal. Tetapi dalam tahun berikutnya 1611 dua saudara dina kembali menetap di Bohol pada raja Kristen itu. Tetapi yang satu segera mati (kecelakaan) dan yang lain terpaksa pulang ke Ternate karena sakit. Dalam tahun 1614 raja Bohol minta misionaris baru kepada Gubernur di Ternate. Dua saudara dina akhirnya dikirim juga. Mereka segera mulai membangun sebuah gereja dan semacam biara di Bohol. Anehnya baru saja mereka di sana lalu segera pergi ke Makasar dengan kapal Spanyol yang harus diperbaiki. Diperjalanan ke sana semua kapal terpaksa berlayar ke Ternate karena disergap kapal Belanda. Tetapi ada berita juga bahwa kedua saudara tersebut menetap di Kaidapan. Disana dia tidak diterima dengan baik (Kaidapan sedang berperang dengan Bohol, dan penduduknya hampir semuanya muslim). Maka Saudara ini pulang ke Ternate lagi. Usaha kedua inipun tanpa hasil.
Dalam pada itu pada tahun 1614 itu juga raja Manado minta imam Katolik untuk daerahnya. Rupanya di Manado waktu itu sudah ada seorang Fransiskan, sebab surat raja itu dibawa ke Ternate oleh seorang saudara dina. Dalam tahun 1619 Saudara-saudara Dina kembali ke Manado. Mereka pun diminta untuk datang ke Makasar juga. Dalam tahun 1619 beberapa Fransiskan (5 orang) dikirim ke Manado dan Makasar. Tiga saudara dina (dengan satu Yesuit) mendarat di Manado, sedangkan yang lain meneruskan perjalanannya ke Makasar. Ketiga Fransiskan di Manado mau bekerja di pedalaman diantara suku (animis) Alifores. Berulang kali mereka memasuki pedalaman tetapi tidak mendapat sukses sedikit pun dan kepala-kepala suku setempat akhirnya melarang mereka datang lagi. Mereka mengunjungi Tomohon, Sarungsong, Tombarini, Tondano, dan Kema. Di Manado sendiri seorang Fransiskan menulis semacam tata bahasa Manado, semacam Katekismus dalam bahasa daerah dan sebuah buku tentang adat istiadat orang Manado. Dalam tahun 1619 seorang saudara dina sekali lagi mencoba memasuki pedalaman. Kemudian ia dikirim berita oleh kepala-kepala suku setempatbahwa tidak boleh kembali lagi ke daerah mereka. Namun demikian saudara itu yaitu Palomino, kembali lagi ke suku Alifores. Sekarang ia diizinkan oleh seorang kepala suku untuk menetap tapi dengan syarat tidak meng-Kristen-kan orang setempat. Oleh karena kepala-kepala suku lain berkeberatan maka izin tersebut dicabut kembali sehingga Palomino terpaksa kembali lagi ke Manado. Di sana ia berembuk dengan Fransiskan lain di Manado, yakni sdr. Diego de Rojas serta temannya dan mereka mengambil keputusan bahwa Palomino tetap tinggal di Manado sedangkan Diego pulang ke Manila atau Ternate bersama dengan temannya itu. Dalam tahun 1622 Palomino juga meninggalkan Manado dan berangkat ke Makasar.
Dalam tahun 1619 sudah dua saudara dina mendarat di Malaka (bersama dengan yang tinggal di Manado mereka berangkat). Mereka diterima dengan cukup baik dan boleh bekerja di antara orang-orang Spanyol di sana tapi tidak diizinkan oleh Sultan untuk mengabarkan Injil kepada kaum muslim. Maka waktu saudara Palomino tiba di Makasar dalam tahun 1622 kedua misionaris di sana agak sedikit putus asa. Mereka berusaha menghubungi orang-orang setempat tapi tanpa hasil sedikitpun. Dalam tahun 1622 itu juga superior di Makasar sdr. Martin de S. Juan mengirim Palomino dan Pedro de la Concepcion ke Maluku. Ia sendiri kembali ke Manila. Kedua orang yang pulang ke Maluku terpaksa mendarat di pantai Sulawesi Utara, tidak begitu jauh dari Manado. Kedua saudara itu lewat darat mau pergi ke Manado untuk mengunjungi suku Alifores sekali lagi. Tetapi sebelum berangkat tanggal 24 Agustus 1622, Palomino dibunuh dengan tombak bersama dengan juru bahasanya. Yang lain dapat melarikan diri. Perlu diperhatikan bahwa juru bahasa sdr.Palomino entah bagaimana termasuk orang Fransiskan (tertiaris), mungkin Fransiskan pertama dari Indonesia. Dengan demikian baik di Manado maupun di Makasar usaha misi Fransiskan gagal sama sekali. Terpaksa mereka pergi. Dalam tahun 1620 masih ada seorang Fransiskan yaitu Diego de Rojas yang mau pergi ke Manado. Ia sampai di Siau dan Sangihe tetapi karena sakit dan banyak kesulitan antara orang Spanyol dan Belanda, ia tidak dapat tinggal. Lalu pergi ke Manado, sampai juga tetapi tidak dapat berbuat banyak. Dalam tahun 1624 ia meninggal di Banta. Oleh orang muslim ia dianggap “pir” (orang suci), sehingga mayatnya tidak mau diserahkan. Kemudian tidak ada lagi saudara dina yang bekerja di Sulawesi. Misi sekitar Manado diteruskan oleh Yesuit. Hanya dalam tahun 1640 saudara dina kembali ke Manado.
Dalam tahun 1639 seorang Fransiskan Alonso Maestra bersama dengan orang-orang Spanyol dari Maluku datang ke Manado. Raja setempat yang sudah masuk Kristen minta lebih banyak saudara dina sebagai misionaris. Orang setempat ingin masuk Kristen. Seorang utusan dari Tabukan sebuah kerajaan kecil di Sangihe, pada waktu yang sama juga minta juga misionaris di Manila. Maka dari Manila dikirimkanlah sekelompok Fransiskan yang berjumlah empat orang. Mereka melalui Ternate dan di sana seorang raja lain dari pulau Sangihe minta misionaris juga. Tetapi raja itu kemudian berbentrokan dengan Gubernur Spanyol di Ternate dan dengan Yesuit. Sebelum raja itu meninggalkan Ternate ia minta dibaptis oleh seorang Fransiskan, tetapi oleh karena Decanus dan Yesuit berkeberatan maka permintaan ditolak. Gubernur Ternate melarang para saudara dina untuk meneruskan perjalanannya ke Sangihe dan Sulawesi, karena termasuk wilayah Yesuit (Portugis). Bahkan Fransiskan disuruh meninggalkan Ternate. Tetapi pengganti Gubernur mencabut semua larangan dan para saudara dina yang dikepalai oleh Juan Iranzo dapat berangkat. Maka empat saudara dina berangkat dan tiba di pulau Sangihe (1640). Segera pekerjaan misionernya mendapat sukses yang bagus. Kemudian sdr. Juan Iranzo dan Fransisco de Alca pergi ke Manado (1640) sedangkan dua saudara lain tinggal di Tabukan (Sangihe).
Di Tabukan sdr. Bartolome de S. Diego mendapat tanah dari raja untuk mendirikan gereja dan iapun membuka sebuah sekolah. Antara murid-muridnya ada juga putra-putra raja sendiri. Akhirnya raja sendiri, putra-putranya serta saudara-saudara dan banyak orang terkemuka dibaptis oleh sdr. Bartolome. Sementara itu sdr. Miguel de S. Bonaventura sibuk di Kalonga (kerajaan lain) dan mendirikan sebuah gereja di sana. Dalam tahun 1643 ia jatuh sakit sehingga terpaksa kembali ke Ternate. Selanjutnya sdr. Bartolome de S. Diego melayani baik Tabukan maupun Kalonga. Tetapi oleh karena orang muslim setempat mau berontak melawan raja-raja mereka yang Kristen, maka akhirnya minta supaya saudara dina itu meninggalkan pulau Sangihe, hal mana terjadi sekitar tahun 1645. Sementara itu seperempat dari penduduk (4500) sudah masuk Katolik.
Dalam tahun itu sdr. Juan Iranzo sibuk di Manado dan disekitarnya. Sesudah empat tahun ia terpaksa mau kembali ke Ternate. Kapalnya karam sehingga ia mendarat di Sangihe. Ia tiba di sana satu bulan setelah Fransiskan yang lain meninggalkan pulau itu. Sdr. Juan Iranzo masih berusaha untuk memperdamaikan kaum muslim dengan kaum Kristiani dan sedikit berhasil juga. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke Ternate.
Atas permintaan raja Kalonga dua misionaris dikirim ke Sangihe (dimana orang Spanyol sudah menempatkan pasukan untuk melindungi orang Kristen). Kedua saudara dina itu memulihkan keadaan kaum Kristiani di sana. Dalam tahun 1655 sdr. Juan Iranzo ada di Sangihe lagi. Dalam tahun 1655 misi di Sangihe diserahkan kepada Yesuit, meskipun Fransiskan masih tinggal dan Yesuit tidak kunjung datang. Ketika orang Spanyol menarik pasukannya dari Maluku, juga pulau Sangihe ditinggalkan; ini terjadi dalam tahun 1666. Kemudian baik Sangihe maupun Manado dilayani oleh Yesuit dari pulau Sa Siau sampai orang Belanda merebut kesemuanya itu dalam tahun 1667.
Dalam tahun 1640 sdr. Juan Iranzo lewat pulau Sangihe pergi bersama seorang teman ke Sulawesi Utara (Manado). Setelah lama berunding mereka mendapat izin dari kepala-kepala suku untuk memasuki pedalaman, dengan syarat bahwa mereka tidak memaksa seorangpun masuk Kristen. Mungkin sekali ia menetap di Tomohon. Tetapi temannya jatuh sakit dalam tahun 1641 (akhir 1640 ?) dan kembali ke Ternate. Sdr. Juan Iranzo mengirim 14 kepala suku dari Minahasa ke Ternate untuk dididik dalam agama Kristen. Mereka dibaptis lalu kembali ke Manado. Datang juga seorang saudara dina sebagai pembantu untuk sdr. Juan Iranzo. Pekerjaannya di pedalaman cukup berhasil (satu kali 740 orang terkemuka sekaligus dibaptis). Fransiskan di Manado membela orang pribumi yang diperas oleh pegawai-pegawai Spanyol yang kadang-kadang didukung oleh Yesuit. Akhirnya Alifores memberontak (1644). Mereka membunuh seorang Fransiskan yaitu Lorenzo Garaldo, sedangkan yang lain terpaksa melarikan diri dan bersembunyi. Kemudian semua kembali ke Ternate (Juan Iranzo karam di Sangihe). Dalam tahun 1645 orang Belanda diminta pertolongan oleh orang pribumi dan dengan kedatangan orang Belanda itu berakhirlah juga misi Katolik di Minahasa. Hanya di Kaidapan, tempat orang Spanyol dapat mempertahankan misi (Yesuit) masih dapat diteruskan hingga tahun 1677. Dalam tahun itu juga pulau Sa Siau direbut orang Belanda dan Yesuit diusir dari situ.
Dalam tahun 1641 orang-orang Belanda merebut Malaka dan sesudah beberapa lamanya mulai mengejar orang Katolik di sana. Kebanyakan imam terpaksa meninggalkan Malaka. Banyak orang Katolik mengungsi dari Malaka ke Makasar, ibu kota negeri Gowa di Sulawesi Selatan. Sultan Makasar waktu itu bersahabat baik dengan orang Portugis sehingga menerima kaum pengungsi dengan baik. Diantara biarawan di Makasar ada juga sejumlah Fransiskan yang membuka suatu “penginapan” di Makasar. Merekapun datang dari Malaka tempat biaranya dibakar habis oleh orang-orang Belanda. Rupanya mereka tidak bekerja diantara orang pribumi tapi terlalu sibuk dengan orang Katolik (Portugis) di Makasar. Jumlah imam di Makasar (di samping Fransiskan juga ada Yesuit, semua dari India atau dari Malaka) terlalu besar sehingga tidak mempunyai banyak pekerjaan. Tetapi umumnya tidak banyak diketahui tentang apa yang dilakukan saudara-saudara dina di Makasar.
Saudara dina tinggal di Makasar hingga diusir. Menurut suatu berita mereka bersama biarawan lain diusir oleh Sultan Hasanuddin. Tetapi berita lain yang kiranya lebih tepat berkata bahwa orang-orang Belandalah yang harus dituduh. Mereka memaksa Sultan Makasar untuk menerima suatu perjanjian perdamaian dan satu syaratnya ialah semua orang Portugis (jadi juga Fransiskan) harus diusir. Ini terjadi dalam tahun 1660. Maka lama kelamaan saudara dina pergi, khususnya ke Flores (Larantuka) dan Timor. Pasti semua berakhir waktu orang Belanda dalam tahun 1668 menduduki Makasar secara definitif.
Waktu dalam abad XVI orang Portugis muncul di Aceh mereka tidak diterima baik. Orang Aceh malah mulai memerangi mereka setelah orang Portugis muncul di Malaka. Benteng mereka di sana berulang kali diserang oleh orang-orang Aceh. Ada kalanya ada kedamaian dan orang Portugis dapat datang ke Aceh untuk berdagang. Ada berita bahwa sekitar tahun 1600 ada beberapa imam mengunjungi Aceh. Seringkali imam itu adalah utusan dari pemerintah Portugis atau Spanyol. Bahkan ada imam yang mempunyai kedudukan penting dalam keraton.
Sekitar rahun 1607 ada empat saudara dina yang membuka misi di Aceh. Sebabnya ialah Sultan Aladdin Riayat mempunyai sifat toleran dan mau bersahabat dengan orang Portugis. Penggantinya membunuh semua misionaris itu, yaitu Fransisco de Lisbon, Yohanes de Castamheda, Basilio de Condeixa dan Antonio de Porto. Tetapi tentang apa yang dikerjakan saudara dina di Aceh waktu itu tidak ada berita sedikitpun. Bahkan boleh diragukan apakah tidak semua berita itu kurang benar. Sebab itu tidak ada kepastian apakah saudara-saudara dina sungguh pada permulaan abad XVII bekerja di Aceh.
Dalam tahun 1636 Sultan Iskandar Muda meninggal dan diganti dengan Sultan Iskandar Thani. Sultan lama adalah musuh orang Portugis, yang baru belum diketahui sikapnya. Maka orang Portugis mengirim sebuah utusan ke Aceh. Diantara para utusan ada Karmelit (dua orang) dan juga Fransiskan (dua orang), yaitu Manoel de Desterro dan Fransisco de Conceico. Tetapi utusan itu diterima kurang baik oleh Sultan Iskandar Thani. Mereka ditangkap dan boleh memilih: masuk Islam atau mati. Dari utusan ada yang murtad, tetapi baik Karmelit maupun Fransiskan dibunuh semua. Ini terjadi tahun 1638. Dalam tahun 1634 seorang Fransiskan lain Rafael de S.Francisco sudah dibunuh di Aceh oleh orang-orang Belanda.
Dalam tahun 1641 di Aceh mulai memerintah seorang Sultan perempuan, Sultana Safiat al-Din Taj al-Alam yang meraja hingga tahun 1675, lalu diganti Sultana (wanita) lain yaitu Sultana Naquiyat al-Din Nur al-Alam. Kedua Sultana (orang-orang yang berkuasa di belakangnya; mereka itu hanyalah boneka belaka) mengubah sikap terhadap orang Portugis untuk menenetang orang Belanda. Maka itu dalam tahun 1668 orang Portugis mengirim utusan dari India dan termasuk dalam kelompok itu dua Fransiskan. Mereka tiba di Aceh tahun itu juga (1668). Mereka mendirikan sebuah gereja di dekat pelabuhan dan mulai mengabarkan Injil. Kedua Fransiskan itu ialah Gaspar Baptista dan Sebastianus da Annuciacao. Menyusullah seorang Fransiskan lain lagi dalam tahun 1671. Tidak lama sesudahnya orang itu sudah meninggal (tahun 1673) sedangkan Gaspar Baptista meninggalkan Aceh, barangkali sebelum Hieronimus Paixao pergi ke sana. Dalam tahun 1679 masih ada dua saudara dina di Aceh yaitu Bento de Christo dan Manoel de Yesus. Dalam tahun 1685 ada tiga orang yang bekerja di Aceh. Tentang pekerjaan mereka dan hasil misi Fransiskan di Aceh, boleh dikatakan bahwa mereka hampir tidak dapat bekerja diantara orang pribumi yang telah kuat Islamnya dan pemerintah setempat praktis tidak mengizinkan kegiatan misioner. Maka dari sebab itu Fransiskan itu terutama bekerja diantara orang asing di pelabuhan Aceh. Orang asing itu adalah bermacam ragam: Portugis, Belanda, Perancis, Inggris, India, dan sebagainya. Dan diantaranya selalu ada sejumlah Katolik yang harus dilayani.
Dalam tahun 1688 pecahlah pengejaran terhadap orang Kristen dari pihak Sultana Kamalat Syah Zinat al-Din. Pemerintah mulai menentang orang Portugis dan juga agamanya, Kristen Katolik. Para Fransiskan dianiaya dan disiksa. Kendati dianiaya saudara dina tetap tinggal di Aceh. Bahkan ada saudara baru yang mau dikirim tetapi gagal oleh karena tidak ada hubungan langsung lagi antara India dan Aceh. Pasti bahwa dalam tahun 1703 masih ada satu dua Fransiskan di Aceh. Rupanya pengejaran itu tidak begitu lama berlangsung dengan hebat, sehingga Fransiskan tidak terlalu terganggu di Aceh.
Dalam tahun 1723 dikirim tiga saudara baru ke Aceh, hal mana sangat perlu oleh karena beberapa dari antara yang lama sudah meninggal di sana. Dalam tahun 1727 masih mau dikirim tiga orang lain lagi, tetapi tidaklah pasti apakah mereka pernah tiba di Aceh. Ada berita bahwa dalam tahun 1739 gereja Fransiskan di Aceh dan seluruh kampung Kristen di pelabuhan dibakar oleh kaum Muslim. Pada waktu itu dan sebelumnya misi dan orang Kristiani mengalami banyak kesulitan dari pihak Muslim. Adapun sebabnya antara lain perebutan tahta dan kuasa yang terus berlangsung di Aceh antara pelbagai Sultan yang cepat saling mengganti. Dalam pada itu beberapa saudara di Aceh juga meninggal. Akhirnya hanya tinggal satu Fransiskan saja di Aceh dalam tahun 1745, yaitu Leo dos Remedios. Tetapi dalam tahun 1748 ada dua lagi. Tetapi dalam tahun itu juga mereka meninggalkan daerah itu dan kembali ke India. Mereka diusir dari Aceh oleh kaum Muslim. Dengan demikian dalam tahun 1748 misi di Aceh kosong sama sekali.
Dalam tahun 1752 Saudara-saudara dina masih berusaha untuk kembali ke Aceh. Sebab dalam tahun 1755 ada seorang Fransiskan yang meninggal di Aceh. Mungkin maksudnya untuk memeriksa kemungkinan untuk kembali mendirikan misi di Aceh. Tetapi keadaan rupanya tidak mengizinkannya sehingga misi Aceh dalam tahun 1758 sama sekali ditinggalkan. Namun demikian pastilah bahwa dalam tahun 1770 Fransiskan sudah kembali ke Aceh. Pada waktu itu jumlah orang Kristen hanya sedikit sekali (± 340) dan mereka semua orang asing. Di Aceh dalam tahun 1772 hanya ada satu orang Fransiskan yang mungkin serba kebetulan mendarat di Aceh dan dipaksa oleh umat Kristen setempat untuk menetap di sana. Kiranya Fransiskan ini adalah yang terakhir yang bekerja di Aceh sampai Kapusin kembali ke sana dalam tahun 1905. Hanya sampai tahun 1778 Fransiskan dari India kadang-kadang masih mengunjungi orang Katolik yang ada di Aceh.
Misi di pulau Timor dimulai oleh Dominikan dalam tahun 1561. Tetapi tidak berbuat banyak sebelum tahun 1641. Dalam tahun itu Dominikan dari Larantuka sungguh mulai mengabarkan Injil di Timor dan sekaligus berlaku sebagai penguasa keduniaan di pulau itu. Orang Portugis tidak memberi banyak perhatian kepadanya.
Dalam tahun 1667 seorang Fransiskan (yang tidak dikenal namanya) muncul di Timor. Mungkin ia datang dari Makasar. Pasti juga bahwa dalam tahun 1692, 1695, dan 1696 ada Saudara-saudar Dina yang meninggal di Timor (atau perjalanan ke sana). Namun demikian suatu “misi” ternyata tidak ada. Misi diselenggarakan oleh Dominikan yang sukar mengizinkan orang lain bekerja di situ. Dalam tahun 1712-1715 masih ada dua Fransiskan lain yang meninggal di Timor dan kemudian (1721-1722) satu orang lagi.
Pada masa yang sama (sekitar 1722) ada seorang Fransiskan yang bernama Manoel de S. Miguel selama tiga tahun bekerja di Timor. Kedudukan Fransiskan-fransiskan itu (semua datang dari Macao atau India dan ada orang Portugis) jauh dari jelas. Sampai dengan tahun 1769 kadang-kadang masih muncul Fransiskan di Timor. Rupanya mereka secara individual menolong para Dominikan. Rupanya bahwa saudara dina yang begitu datang ke pulau Timor kebanyakan dikirim dari Macao untuk bekerja di Timor. Pada umumnya ada banyak hubungan antara orang Portugis di Timor dan orang Portugis di Macao. Di Macao selalu ada agak banyak Fransiskan. Tetapi mungkin pula bahwa ada hubungan antara Timor dan Goa (India) sehingga boleh jadi ada juga Saudara-saudara Dina yang datang dari Goa.
Dalam tahun 1587 serba kebetulan dua Fransiskan, yaitu Miguel de Talavera dan Fransisco de S. Maria mendarat di Kalimantan, yaitu di pelabuhan daerah Sultan Brunai (Puni), yakni di Mohala. Mereka sedang dalam perjalanan dari Manila ke Eropa, Roma, lewat India. Kapalnya terpaksa singgah di Brunai karena angin sakal. Antara Sultan Brunai dan orang-orang Spanyol di Manila ada hubungan tetapi di masa itu hubungan itu kurang baik, oleh karena orang-orang Spanyol menuntut terlalu banyak dari Sultan. Bahkan Brunai direbut oleh orang-orang Spanyol, ketika Sultan enggan menerima perjanjian yang mau dipaksakan kepadanya. Dari sebab itu waktu kedua Fransiskan mendarat di Brunai suasana tidak begitu enak. Namun demikian mereka mendarat dan bahkan membeli atau mendirikan sebuah pondok di darat. Di sanamereka mewujudkan hidupnya sebagai Fransiskan dengan mempersembahkan misa dan menyanyikan Offisi Ilahi. Penduduk setempat tertarik oleh kedua orang yang ganjil itu. Dan kedua saudara dina ini pun lalu mulai mengabarkan Injil. Tetapi reaksi dari pihak penduduk tidak begitu baik. Sultan sendiri sudah barang tentu tidak begitu simpatik terhadap orang Spanyol dan misionaris itu. Pada suatu hari (Desember 1587) segerombolan kaum muslim dengan persetujuan Sultan menyergap tempat tinggal Saudara-saudara Dina itu. Melihat penyerbuan itu maka Miguel de Talavera pergi memberitahukan orang-orang Spanyol lain, sedangkan Fransisco de S. Maria pergi ke Kapela. Di sana saat sedang berlutut di depan Altar, ia ditembusi dengan tombak. Kemudian gerombolan kaum Muslim juga menyerang orang-orang Spanyol yang lain. Tetapi serangan itu dapat ditangkal. Orang-orang Spanyol menghubungi Sultan yang pura-pura tidak tahu-menahu. Kemudian orang-orang Spanyol dengan sdr. Miguel de Talavera kembali ke Manila. Dengan demikian kunjungan Saudara-saudara Dina di Kalimantan berhenti.
Setelah orang Belanda merebut kekuasaan di bagian terbesar dari Indonesia maka misi teratur, dengan sendirinya berhenti. Di zaman itu masih ada beberapa saudara dina yang mengunjungi Indonesia. Dalam tahun 1642-1645 seorang Fransiskan yang bernama S. Jose Velloso sebagai utusan orang Portugis di India datang ke Batavia(Jakarta). Ia mengadakan perundingan tetapi hasil akhirnya hanya sedikit saja. Demikian pun dalam tahun 1645 ada seorang saudara dina yang bernama Jorge de S. Maria Fernandez sebagai utusan Portugis mengunjungi Batavia. Di Batavia ia terus menyamar sebagai orang awam saja. Dalam pada itu ia menghubungi orang-orang Katolik yang masih tertinggal di Batavia dan sedapat-dapatnya melayani mereka. Setelah berangkat ia dipanggil oleh orang Katolik di Batavia untuk menjadi pastornya. Waktu itu Jorge de S. Maria tinggal di Malaka. Ia sendiri minta izin dari Jendral Saudara-saudara Dina dan diberi juga izin untuk pergi. Ia pergi ke Eropa dahulu kemudian kembali untuk pergi ke Indonesia tetapi tidak sampai. Ia tertahan di Manila dan pejabat Spanyol di sana tidak mengizinkan ia pergi. Dia dikirim ke Spanyol untuk minta izin langsung dari raja di sana. Tetapi orangnya sudah begitu tua sehingga halnya tidak dapat diteruskan.
Dalam tahun 1670-1671 dua Fransiskan, yaitu Agustinus de S. Paqual dan Juan de la Camara mendarat di Jawa. Mereka bermaksud berlayar ke Tiongkok dan mengharapkan mendapatkan sebuah kapal ke sana di Jepara. Maka dari Manila mereka berangkat menuju Jawa. Tetapi mereka tidak segera sampai di Jepara. Mereka sudah mendekati pelabuhan itu tetapi oleh angin hebat ditiupkan sampai ke Flores, dimana mereka mendarat di Larantuka. Di sana sambil menunggu kapal mereka menolong Dominikan. Oleh karena timbul kesulitan antara penduduk Portugis dan Saudara-saudara Dina itu, maka mereka (orang Spanyol) berangkat ke Timor dahulu. Di sana tiba tahun 1689, lalu bekerja sedikit dan dalam tahun 1669 berangkat ke Batavia lewat Bali. Di sana mereka mau tinggal dan memulai sebuah misi. Tetapi terpaksa oleh angin mereka berlayar ke Gresik. Dari sana mereka pergi ke Jepara dengan maksud kemudian kembali ke Bali. Tetapi mereka tinggal di Jepara, dimana masih ada 29 keluarga Portugis. Tetapi mereka tidak menetap. Mereka pergi ke Batavia tempat mereka tiba Oktober tahun 1670. Karena takut terhadap orang-orang Belanda mereka tidak berani mendarat.
Di Batavia mereka mendengar bahwa di Banten ada seorang Fransiskan yang bernama Juan Racimo orang Spanyol. Sudah dua tahun ia tinggal dalam ibu kotaKesultanan Banten. Di Banten waktu itu ada ± 600 orang Kristen yang kebanyakan melarikan diri dari Batavia waktu direbut orang-orang Belanda. Kedua Fransiskan tersebut pergi ke Banten dan tinggal di sana bersama dengan sdr. Juan Racimo. Dari Banten mereka menyusup ke Batavia untuk melayani orang-orang Katolik di sana. Juan Racimo agak segera berangkat dari Banten. Dan sesudah beberapa bulan yang lain-lain pun meninggalkan Banten dan pergi ke Tiongkok yang selalu ditujunya. Mereka tiba di Macao dalam tahun 1671.
Dalam tahun 1636-1637 seorang saudara dina, yaitu Antonio de S. Maria Cabellero menjadi tawanan orang Belanda di Jawa dan Maluku. Ia ditangkap bersama dengan prajurit dan anak buah kapal waktu berlayar ke Manila dan terpaksa mendarat di Jawa. Dalam tahun 1652 dua saudara dina yang lain, yaitu Jaao da Encar Nacao dan Joao dos Martyres ditangkap orang Belanda. Mereka dipenjarakan di Batavia. Kemudian mereka dilepaskan lagi, seperti juga halnya dengan saudara dina yang disebut tadi. Seorang Fransiskan lain dalam tahun 1666 menyusup ke Jawa dengan menyamar. Namanya Manoel da Trinidade. Dahulu ia sudah bekerja di Larantuka, tetapi kemudian entah bagaimana ia sampai di Batavia dan bekerja di sana untuk melayani orang Katolik. Iapun bekerja di Banten, bahkan pergi ke Jepara juga. Tetapi ia di semua tempat itu tidak tinggal lama dan dalam tahun 1670 ia kembali ke Goa.
Di samping Saudara-saudara Dina yang disebut di atas, masih ada beberapa lagi yang entah bagaimana menghubungi daerah Indonesia yang dikuasai oleh orang Belanda. Tetapi mereka tidak boleh dikatakan “bekerja” di Indonesia. Biasanya entah karena apa terpaksa mereka hanya singgah sebentar di sana.
Dalam tahun 1567 orang-orang Spanyol dari Peru (Amerika Selatan) berlayar ke barat untuk menemukan daerah yang diperkirakan ada di sana. Empat Fransiskan ikut serta. Tentu saja mereka tidak bekerja di sana. Tetapi sepulangnya sdr. Antonio de San Gregorio membuat suatu rencana raksasa untuk mengabarkan Injil di daerah itu seluruhnya, termasuk Irian. Rencana itu disetujui oleh atasannya. Lalu Antonio pergi ke Spanyol mencari pembantu. Banyak Saudara-saudara Dina di sana mau ikut. Tetapi oleh raja, mereka semua dipaksa untuk pergi ke Filipina. Setibanya di sana mereka segera mau meneruskan perjalanannya ke pulau-pulau yang baru ditemukan itu. Mereka sampai ke Maluku tetapi tidak sampai ke Irian-Australia sebagaimana maksudnya. Dalam tahun 1606 sejumlah kapal Spanyol lain berlayar ke pulau-pulau yang sama dan sekali lagi beberapa saudara dina ikut serta. Mereka singgah di Irian juga. Kemudian Saudara-saudara Dina membuat suatu rencana untuk mendirikan di semua pulau itu suatu misi Fransiskan (khusus Fransiskan). Rencana itu diusahakan oleh sdr. Juan da Silva. Di mana-mana ia mencari pembantu dan bahkan seluruh Ordo mendukung rencana itu (kapitel umum). Maksudnya ialah mengabarkan Injil tanpa pertolongan atau dukungan negara atau militer. Suatu gagasan serba baru zaman itu. Tetapi seluruh rencana raksasa itu, yang juga merangkum Irian, tidak pernah terlaksana. Keadaan politik baik di dalam maupun di luar tidak mengizinkannya.
Perebutan kuasa di wilayah Indonesia oleh Belanda (1605) berarti juga berakhirnya misi Katolik di wilayah itu. Oleh karena kerap kali kuasa V.O.C itu hanya nominal saja, maka tidak segera semua aktifitas misioner di seluruh Indonesia berhenti, tetapi lama-kelamaan semua dilumpuhkan. Baru dalam tahun 1800 segala-galanya (Flores) terpaksa dihentikan.
Hasil dari revolusi Perancis adalah kebebasan agama diumumkan di negeri Belanda dalam tahun 1807. Prinsipnya kebebasan itu berlaku di Indonesia. Dalam tahun 1817 dua imam Praja berangkat ke Batavia untuk melayani orang-orang Katolik Indonesia. Sekitar 1840 timbul kesulitan antara pemerintah Hindia Belanda dan Gereja Katolik di sana, terutama oleh karena semua kegiatan misioner secara praktis dihalangi oleh pemerintah Hindia Belanda yang jelas anti-Katolik.
Diikat akhirnya suatu konkordat dengan Roma dan dalam tahun 1841 Batavia menjadi Vicariat Apostolik yang merangkum seluruh Hindia Belanda. Ketegangan dengan pemerintah Hindia Belanda tetap berlangsung dan juga ada semacam pemberontakan dari pihak pastor-pastor kepada Vicaris Apstolik Mgr. Grooff. Ahirnya ketegangan menjadi reda sedikit dan pekerjaan Gereja dapat dimulai kembali (dalam tahun 1846 tidak ada seorang imam di Indonesia kecuali Vicaris Apostolik karena para pastor pemberontak diusir oleh Raja Willem II yang bertentangan dengan Gubernur yang mempertahankan Vicaris Apostolik). Baru dalam tahun 1859 mulailah apa yang dapat dikatakan “misi”, meskipun hanya sedikit sekali. Datang biarawan-biarawati pertama (Suster-suster Ursulin dan Bruder-bruder Santo Aloysius) dan terutama Yesuit Belanda (1859). Pengikut-pengikut Fransiskus sebagai yang pertama muncul kembali di Indonesia ialah Fransiskanes dari Heythuyzen tahun 1870. Saudara-saudara Dina sendiri baru muncul dalam tahun 1905, yaitu para Kapusin yang ditugaskan di daerah yang tradisional daerah misi Fransiskan di Indonesia, yaitu Sumatra Utara.
Fransiskan bermunculan dalam tahun 1929. Datanglah lima orang untuk membantu di daerah Batavia. Mereka ditempatkan di Panti Asuhan Vincentius, di Paroki Bidara Cina dan Kampung Sawah. Fransiskan itu cukup segera juga menerima calon-calon orang pribumi untuk masuk Fransiskan. Calon-calon yang pertama (yaitu Theogenes Koesnen dan Aquino Ciptopranata – meninggal tahun 1944) dikirim ke negeri Belanda untuk pendidikannya dan dalam tahun 1935 diterima sebagai Fransiskan dalam Ordo Saudara Dina. Mereka disusul oleh Martinus Hardjowardojo (diterima 1937) dan Redemptus Wahjosudibjo (1938). Entah karena apa, tetapi Fransiskan ingin mendapat suatu daerah sendiri di misi Indonesia dan dalam tahun 1941, diserahkan kepada mereka daerah Sukabumi. Terhalang oleh perang dengan Jepang tidak segera daerah itu dapat dikerjakan. Baru setelah perang berakhir pekerjaan dapat dimulai di sana (1948). Sebelum perang Fransiskan sudah bermunculan di sana, juga sebab mereka melayani stasi Cianjur (1931) dan mempunyai rumah chalwat di Cicurug (1933) dan di sampingnya ada Biara Klaris (yang datang dalam tahun 1937). Fransiskan juga melayani stasi Tangerang (Jakarta) dan Rangkasbitung (1933). Dalam tahun 1950 Fransiskan memulai pendidikan calon-calon Fransiskan dari Indonesia di Indonesia sendiri, yaitu di Cicurug. Dalam tahun 1951 mereka mengembangkan kegiatannya ke Flores sedangkan sejak tahun 1937 mereka juga bekerja di Irian Barat dengan cukup banyak orang. Dalam tahun 1962 didirikan di Indonesia (kecuali Irian Barat) Kustodi Autonom St. Michael dan dalam tahun 1957 daerah Sukabumi diperluas dengan daerah Bogor dan dijadikanKeuskupan dalam tahun 1961. Sejak tahun 1965 Fransiskan juga ada di Yogyakarta yaitu rumah pendidikannya yang bergabung dengan seminari Keuskupan Semarang. Dalam tahun 1970 kedudukan “Kostodi” diubah menjadi “Regio Vicaria” dengan Vicarius P. R. Wahjosudibjo.
Dengan suratnya tertanggal 16 Januari 1983, Pimpinan tertinggi Ordo mengabulkan permohonan pihak Vikaria untuk dijadikan Provinsi. Dengan suara bulat definitor general mendukung keputusan ini. Pimpinan provinsi yang pertama diangkat oleh minister jenderal: Mikhael Angkur sebagai Minister Provinsi dan Ben Tentua wakilnya, sedangkan Wahyosudibyo, Leo Laba Ladjar, Ferdinand Sahadun dan Alfons S. Suhardi sebagai definitores. Peresmian berdirinya OFM Indonesia menjadi Provinsi diadakan di Provinsialat Jakarta pada tanggal 29 November 1983. Semua Saudara, termasuk yang Belanda kecuali yang bekerja di Irian Jaya, menjadi anggota Provinsi. Provinsi baru ini mengambil Malaekat Agung Mikhael sebagai pelindungnya.
Gelora semangat misioner Fransiskan tidak bisa menolak permintaan dari Uskup Dili Mgr. Ximenes Belo untuk berkarya di Timor Timur, yang waktu itu masih menjadi provinsi ke 27 dari Republik Indonesia. Kendati tenaga Provinsi tidak berkelebihan, pada tahun 1987 Minister Provinsi Mikhael Angkur mengirimkan tiga orang saudara untuk membuka misi fransiskan di Same. Para perintis ini ialah: Andre Hamma, Wilhelmus Kotten dan Stanislaus Galis. Umat setempat sangat menerima kehadiran para Saudara, terlebih ketika pada kesulitan besar sekitar jajak pendapat (1999) dan masa transisi Timor Timur menjadi merdeka, para Saudara tetap bersatu dengan umat mengungsi ke hutan. Setelah Timor merdeka (20 Mei 2002), dengan tenaga seadanya, mereka bertekad memulai pendidikan para calon fransiskan tersendiri, tidak lagi dikirim ke Novisiat Depok.. Pada akhir tahun 2002 mereka berjumlah 15 orang Saudara: 9 orang berkaul kekal dan 6 orang postulan. Sementara itu para Suster Franseskanes St. Georgius Martir (FrPr) berkarya juga di sana.
Setelah bertahun-tahun menunda, akhirnya pada tahun 1999 Provinsi dapat mengirimkan seorang Saudara untuk bergabung dalam kegiatan misioner internasional Ordo, yakni proyek Thailand. Yosef Paleba Tolok menjadi perintisnya, kemudian menyusul F.X. Sutarjo pada tahun berikutnya. Mereka berkarya khususnya pada rumah penampungan para penderita aids di Lamsai, dekat Bangkok. Pada tahun 2002 Sdr. Sutarjo mulai berkarya di pedalaman sebelah utara. Sekarang ini, sdr. Gregorius Pontus sedangkan mempersiapkan diri di Brussel, Belgia dalam komunitas internasional yang diadakan oleh pimpinan tertinggi Ordo bagi mereka yang akan menjadi misionaris, khususnya yang akan bergabung dalam sebuah komunitas internasional.
Dengan meninjau sejarah yang cukup panjang itu orang kiranya harus menilai begini, kegiatan misioner sebelum zaman Belanda tidak ada banyak hasil yang segera terasa. Adapun sebabnya bermacam-ragam antara lain suasana politik, dan agama Islam yang cepat meresap ke dalam wilayah Indonesia. Tetapi faktor lain (ini sesuai dengan seluruh suasana waktu itu) ialah kegiatan misioner kurang sistematis dan tanpa banyak rencana. Mereka datang di mana mungkin (atau dipanggil oleh raja setempat) lalu bekerja di sana, membaptis sebanyak mungkin orang tetapi tidak berusaha untuk sungguh mengakarkan Gereja Katolik di daerah itu. Kalau mereka terpaksa berangkat segera semua runtuh kembali. Hanya di mana orang Eropa dengan jumlah besar lama menetap (Goa, Filipina, Maluku, Larantuka) dan mempunyai kuasa mutlak, Gereja sungguh berakar. Juga tidak ada tanda sedikit pun bahwa mereka berusaha untuk menanamkan gagasan dan semangat Fransiskan di daerah itu dan pada orang pribumi. Tidak ada berita satupun yang berbicara tentang orang pribumi yang sungguh diterima sebagai anggota dalam Ordo Saudara-saudara Dina. Ini boleh dianggap suatu kesalahan, sekalipun hal itu dapat dimaafkan di zaman itu. Di zaman baru kesalahan itu terhindar segera dicoba untuk memasukkan cita-cita Fransiskan ke dalam hati orang pribumi.
Sebagai catatan terakhir perlu masih dikatakan bahwa “arus Fransiskanisme” di Indonesia dewasa ini agak tebal sedikit, mengingat bahwa ada di samping Kapusin, Konventual dan Fransiskan serta Kapusinnes dan Klaris berbagai konggregasi wanita (12) dan pria (1) yang semua berlayar di bawah panji Fransiskus. Mudah-mudahan mereka semua dan bersama-sama sungguh-sungguh berusaha sekuat tenaga untuk menanamkan cita-cita Fransiskus dari Assisi, vir evangelicus et totus apostolicus, ke dalam hati orang pribumi di Indonesia untuk selama-lamanya.