26 Juli
Beato Andreas Hyacinthus Longhin
Uskup, Ordo I
Uskup Andreas Hyacinthus Longhin, seorang religius Kapusin yang spiritualitasnya sangat mendalam dan ajarannya sangat utuh, adalah anugerah Sri Paus Pius X kepada Keuskupan Treviso, daerah asalnya. Bersama dengan Gereja yang dipercayakan kepadanya, dia hidup dengan teguh perkasa dalam suatu kurun waktu yang paling sulit dan penuh gejolak dalam Gereja Katolik di Italia selama abad 19 dan 20.
Dia dilahirkan pada 23 November 1863 di Fiumicello di Campodarsego (Provinsi dan Keuskupan Padua) dalam keluarga yang miskin dan sangat taat menjalankan agamanya, seorang petani bernama Mateus dengan isterinya: Judith Martin. Sewaktu dibaptis dia diberi nama Hyacintuhus Bonaventura. Segeralah nampak tanda-tanda padanya, adanya panggilan untuk imamat dan hidup religius. Pada umur 16 tahun dia masuk novisiat Ordo Kapusin dengan mengambil nama Andreas dari Campodarsego. Kemudian dia menyelesaikan studi humanistiknya di Padua dan studi theiloginya di Venecia. Pada 19 Juni 1886, dia yang baru berumur 23 tahun, ditahbiskan menjadi imam. Selama 18 tahun dia bertugas sebagai direktur dan pengajar para religius muda dan terbuktilah bahwa dia adalah seorang pembimbing yang teguh dan seorang guru yang mencerahkan. Pada 1902 dia dipilih menjadi Minister Provinsi para Kapusin di Venecia. Pada masa itulah Uskup Agung Sarto “menemukan” dia dan memberikan tugas pelayanan khotbah kepadanya dan berbagai tugas peka dan sulit demi kepentingan keuskupan.
Hanya beberapa bulan setelah menjadi Paus, Pius X pada 13 April 1904, secara pribadi menunjuk Fr. Andreas sebagai Uskup di Treviso dan menghendaki supaya dia ditahbiskan di Roma. Tahbisan dari tangan Kardinal Merry del Val dilaksanakan beberapa hari kemudian di gereja Trinitá dei Monti di Roma. Sebelum gembala yang baru itu pindah ke keuskupannya pada tanggal 6 berikutnya, dia sudah mengeluarkan dua surat gembala, yang membeberkan garis-garis besar program pembaharuannya. Pada tahun berikutnya dia mulai mengadakan kunjungan-kunjungan pastoralnya yang berlangsung hampir selama lima tahun: dia ingin mengetahui Gerejanya yang termasuk dalam wilayah Venetia yang paling luas dan paling berpenduduk padat. Dia ingin membangun hubungan pribadi dengan para imamnya, yang akan menempati tempat pertama dalam reksa pastoralnya. Dia juga bermaksud berada dekat dengan perkumpulan-perkumpulan awam, yang pada waktu itu terpampang menghadapi pencobaan-pencobaan dalam bidang gerakan sosial Katolik. Dia menutup kunjungan-kunjungan itu dengan perayaan Sinode, yang dimaksudkan sebagai penerapan pembaruan-pembaruan dari Pius X dalam keuskupannya, membekali Gereja lokal menjadi “militan”, dan memanggil semua orang, klerus dan kaum awam, pada hidup dalam kesucian.
Dia memperbaharui Seminari Keuskupan dengan memperbaiki kwalitas mata kuliahnya dan pendidikan rohaninya. Dia mendorong diadakannya retret-retret bagi pada imam dan secara pribadi setiap tahun mempersiapkan program pendidikan berkelanjutan. Dia membimbing para imam dalam kegiatan pastoral dengan garis arahan yang jelas dan memeriksa pengetrapannya dalam tiga buah kunjungan pastoral berikutnya.
Ketika Perang Dunia I pecah (1915-1918), Treviso berada pada garis front perang itu. Kota ini mendapat gempuran-gempuran dan serangan-serangan udara yang pertama, yang menghancurkan kota dan lebih dari 50 paroki. Uskup Longhin tetap berada pada posnya, bahkan ketika penguasa sipil melarikan diri ke tempat-tempat yang lebih aman. Dia menghendaki para imamnya berbuat yang sama, kecuali bila mereka memang menyertai umatnya melarikan diri. Dia memimpin nasib kotanya dengan keberanian seorang pahlawan dan hal itu menjadi tonggak pegangan dalam perkara-perkara religius, moral dan sipil bagi seluruh masyarakat di tengah-tengah huru-hara itu. Dia mengorganisir bantuan bagi para serdadu, orang sakit dan orang miskin. Karena dia selalu memberikan semangat kepada semua orang, dia tidak pernah jatuh dalam sikap memihak atau retorika perang. Kendati demikian dia dituduh juga sebagai orang yang mudah menyerah dan beberapa imamnya pun diajukan ke pengadilan dan dihukum.
Selama tahun-tahun yang penuh kesulitan dalam hal pembangunan kembali di bidang spiritual dan material, bapa Uskup ini memulai kembali kunjungan pastoralnya yang ke dua yang telah tertunda selama perang. Dia adalah seorang pemimpin yang teguh pada masa berat karena ketegangan-ketegangan sosial yang berat yang memecah belah umat Katolik sendiri. Dia bersikeras menekankan dengan keteguhan Injili bahwa keadilan dan kedamaian masyarakat menuntut jalan lurus tanpa kekerasan dan menuntut kesatuan dari segenap umat Katolik. Pada masa itu gerakan fasist berkembang dan telah melakukan kekerasan di Treviso, khususnya melawan organisasi-organisasi Katolik. Dari 1926 sampai 1934 Uskup Longhin mengadakan kunjungan pastoralnya yang ke tiga dengan tujuan untuk meneguhkan iman komunitas-komunitas paroki: dalam pamahamannya, Gereja yang militan adalah Gereja yang sepenuhnya menggalang diri ke arah kesucian dan siap untuk kemartiran.
Sri Paus Pius XI memberikan penghargaan besar kepada Uskup Longhin; kepadanya dipercayakan tugas rumit dan berat sebagai Visitator Apostolik, pertama di Padua, kemudian di Udine, dengan tugas untuk memulihkan kedamaian dalam keuskupan-keuskupan yang sedang menderita perpecahan antara para imam dan uskup-uskup mereka.
Tuhan mau memurnikan hamba-Nya yang setia dan menimpakan padanya penyakit yang secara pelahan-lahan menjauhkan kemampuan-kemampuan budinya dari dirinya. Longhin menanggung penderitaannya dengan iman yang luar biasa dan penyerahan total pada kehendak Allah. Dia meninggal dunia pada 26 Juni 1936.
Semasa hidupya, dia sudah terkenal dalam hal kesucian, belaskasihan yang tak mengenal takut dan bimbingan injilinya. Dengan wafatnya, devosi kepada gembala mereka yang suci itu pun bertumbuh semakin kuat dan dengan cepat tersebar, khususnya di Keuskupan Treviso dan Padua dan juga di kalangan Ordo Kapusin. Devosi itu mengagungkan keutamaan-keutamaannya dan memohon pengantaraannya. Proses beatifikasi dimulai pada 1964. Pada tahun yang sama itu, berkat pengantaraan Longhin, Dino Stella yang masih muda itu disembuhkan dari penyakit radang selaput perut yang sudah menyebar. Ini merupakan mukjizat yang diakui sebagai dasar beatifikasinya.
Warisan Rohaninya
Hubungan khas antara Uskup Andreas Hyacinthus Longhin dengan Paus S. Pius X secara mendasar sekedar bersifat alami: kekudusan yang satu mengingatkan dan dengan jalan tertentu menghasilkan kekudusan pada pihak yang lain. Keduanya telah hidup bagi Gereja dan dengan Gereja, dengan meyakini pelayanan pastoral pendidikan ke arah kekudusan dan seluruh hidup Gereja sebagai suatu panggilan untuk “menjadi kudus dan tanpa cela”. Keduanya terdorong untuk menjadi “contoh panutan bagi kawanannya” sesuai dengan jejak Tuhan Yesus Kristus, yang adalah Gembala yang Baik. Uskup Longhin mengidentifikasikan dirinya pada Gereja, sampai-sampai siap memikul beban semua pergantian sejarah, menghidupinya sebagai orang yang pertama dan mambayar tanggung-jawab atas apa yang dibuatnya itu. Spiritualitas Fransiskan, dalam bentuknya yang keras dalam Ordo Kapusin, selalu membimbing Uskup Longhin, tidak hanya dalam hidup pribadinya sebagai orang observan yang asketis, ketat dan setia (doa dan matiraga), tetapi juga dalam komitmen Injili tanpa kompromi: Tuhan sebagai yang Mahatinggi, ketaatan “religius” terhadap Gereja, kemiskinan yang dihayati sebagai kebebasan, hormat pada segala sesuatu yang ada di dunia. Usaha-usaha pembaharuannya membawa serta juga salib dan penderitaan, baik dari pihak para imam yang tidak bersedia mengikuti dia pada jalan pembaharuan, maupun dari pihak kaum awam yang juga terpaku pada kepentingan-kepentingan duniawi atau mengambil sikap memihak bersama dengan mereka yang mengambil sikap demikian itu. Dia ditentang oleh kaum Fasis, yang lebih suka mengarahkan balas dendam mereka pada para imam dan kelompok-kelompok kaum awam. Dengan jalan itu, mereka pun menimpakan pada sang gembala penderitaan yang lebih pahit daripada bila balas dendam itu diarahkan langsung pada pribadinya. Sampai pada saatnya yang terakhir, dia tetap menjadi pemimpin sebuah Gereja yang militan, yang tidak menyerah, baik pada kekerasan maupun pada bujuk rayu. Dalam karya kasihnya, yang dia laksanakan dengan penuh pengabdian, dia tidak menunjukkan kelemahan, karena dia yakin bahwa kemurahan hati, cintakasih selalu berseru pada kebenaran. Dalam dia, keteguhan dan kerendahan-hati menjadi satu secara mengherankan. Buah kesaksian kekudusannya dan kepemimpinan pastoralnya yang penuh keberanian, adalah kenyataan bahwa Gereja Treviso, dalam kurun sejarah waktu itu, telah menghasilkan sejumlah orang kudus di antara para imam, religius dan awam.
Diterjemahkan oleh: Alfons S. Suhardi, OFM.