Perjalanan Menuju Aotearoa – Part 1

Sdr. Yornes Panggur, OFM, seorang Saudara Dina Provinsi St. Mikael Malaikat Agung, Indonesia membagikan cerita perjalanannya ke Selandia Baru. Bersama Sdr. Adri Nahal, OFM, beliau diutus menjadi misionaris, berkarya di Negeri Kiwi. Simak kisahnya!

Babak Baru

Pada tahun 2015, Sdr. Tobias OFM dan Sdr. Febrian OFM diutus ke New Zealand. Saat itu, saya masih berstatus sebagai Saudara Muda, sedang studi dan mempersiapkan diri menerima kaul kekal. Bersama Sdr. Virgi, dan Sdr. Wolf, saya mengantar mereka ke Bandara Soekarno-Hatta. Pada dokumen St. Francis Trust Board yang terdapat di komunitas Fransiskan New Zealand, keduanya terdaftar sebagai Fransiskan Indonesia yang pernah menetap dan menghirup udara negeri Kiwi ini.

Berdasarkan dokumen tersebut, setidaknya ada 6 saudara Fransiskan asal Indonesia yang pernah menginjakkan kaki New Zealand: 2 saudara dari Provinsi Duta Damai Papua (Sdr. Goklian Haposan, OFM dan Sdr, Gonsa Saur, OFM) dan 4 saudara dari Provinsi St. Mikael Indonesia (Sdr. Febrian Pranatasukma, OFM, Sdr. Tobias Harman, OFM, Sdr. Goris Pontus, OFM, dan Sdr. Adrianus Sunarko, OFM). Jika boleh diberi periodesasi, kehadiran mereka merupakan babak pertama dari kehadiran Fransiskan asal Indonesia. Mereka datang untuk sementara waktu dengan “misi jangka pendek”, seperti belajar bahasa Inggris, pengalaman komunitas internasional, atau kunjungan persaudaraan.

Sdr. Adri Nahal, OFM (kiri) dan Sdr. Yornes Panggur, OFM, misionaris Fransiskan Indonesia yang berkarya di New Zealand.

Kali ini, bersama Sdr. Adri Nahal, OFM, kehadiran Fransiskan Indonesia memasuki babak kedua. Kami diutus untuk berkarya dan memperkuat misi Fransiskan di Aotearoa―sebutan untuk Selandia baru dalam Bahasa Māori yang berarti tanah awan putih panjang. Dengan kata lain, New Zealand menjadi salah satu tempat misi baru bagi OFM Provinsi St. Mikael Malaikat Agung Indonesia. Kami berdua diutus untuk masa karya 4 tahun.

Long Delay

Seandainya wabah Covid-19 tidak melanda, saya dan Sdr. Adri sebetulnya sudah di Auckland, New Zealand, pada bulan Juli 2020. Setelah ‘lelah’ berkarya 9 tahun di Paroki Karot Keuskupan Ruteng, Sdr. Adri Kembali diutus sebagai misionaris. Sebelumnya, beliau pernah bermisi di Timor Leste selama enam tahun. Saya sendiri “diambil” dari tengah-tengah hangatnya cinta umat Paroki Aeramo Keuskupan Agung Ende setelah bertugas selama tiga tahun di sana. Memang berat, tapi tugas perutusan selalu memiliki konsekuensi yang harus ditanggung oleh mereka yang menerimanya. Termasuk perpisahan yang berujung nostalgia dan rindu tak kepalang. Ah, next!

Pada tanggal 4 Februari 2020, menembus awan tipis, saya terbang ke Jakarta untuk mempersiapkan diri sebagai misionaris. Macam-macam berkas diurus untuk mendapatkan visa kerja. Sempat juga kursus kilat bahasa Inggris di LBI UI (Lembaga Bahasa Inggris Universitas Indonesia), demi merangsang kembali pengetahuan Bahasa Inggris yang telah didapat sejak SMP. Jadi, tidak hanya sekadar  yes atau no ketika berbicara, bisa juga oh my God!

Sayang, kali ini cara kerja dunia tidak bersesuaian dengan rencana kami. Pertengahan bulan Maret 2020, empat hari setelah submit the work visa application, Yacinda Ardem, Perdana Menteri New Zealand, menerapkan total lockdown di negaranya. New Zealand menjadi negara pertama yang menerapkan aturan lockdown. Total pula. Akibatnya, kami harus menikmati long-delay, yang panjangnya hampir 3 tahun (Maret 2020 – November 2022). Oh my God!

Long delay membuat kami galau dan gundah gulana. Kegalauan itu menggunung tatkala para para Saudara Dina lain yang menjadi misionaris di Roma, yakni Sdr, Iron Rupa, OFM, Sdr. Tauchen Hotlan Girsang, OFM dan sejumlah saudara yang diutus studi sudah bisa menginjakkan kaki di Eropa. Belum lagi para misionaris di Holyland sudah bisa bolak-balik liburan. Muncul pertanyaan dalam hati, “kami kapan yah berangkat?” Celetukan dari sejumlah saudara, seperti “haee…masih di sini kah?” atau “aduh, SK sudah habis, tapi belum berangkat juga nih”, turut membuat kegalauan itu semakin menggunung.

Konon, kegalauan yang menggunung ini membuat Sdr. Adri ‘mengungsi’ ke Magalau-Kalimantan Selatan. Saya sendiri mencoba mengikis kegalauan itu dengan mencari kesibukan yang berfaedah seperti bermusik walau tidak seberapa dibandingkan sejumlah saudara yang telah mahir bermusik. Sering juga siap siaga menjadi “driver” provinsialat dan tarekat, selalu membantu saudara lain yang membutuhkan keahlian saya dalam menyetir. Rupanya dibalik kegalauan ada hikmah yang bisa dipetik. Berkat keahlian mengemudi roda empat, selama masa long delay ini saya bisa mengunjungi banyak tempat di Indonesia. Di Jakarta pun, saya berkenalan dengan banyak umat Allah, karena status assistant priest saat pelayanan pastoral yang mendesak serta sering diajak umat untuk jalan-jalan.

Saya mencoba menjalankan apa yang bisa saya kerjakan dengan setia dan bakti. Perihal setia dan bakti, suatu ketika saya diundang oleh Sdr. Mateus Batubara untuk memberikan rekoleksi bagi komunitas mereka.  Saya memberikan refleksi yang bertolak dari AngBul pasal V, khususnya pada kalimat “saudara-saudara yang diberi karunia oleh Tuhan untuk bekerja, hendaknya bekerja dengan setia dan bakti”. Bekerja dengan setia dan bakti merupakan bagian dari penghayatan sprititualitas dalam kehidupan sehari-hari  serta memberi dampak positif bagi diri sendiri, komunitas, dan persaudaraan. Itulah cara bagikan karunia Tuhan.

Saya ingat, Sdr. Haward dan Sdr. Fendy―saat itu anggota komunitas St. Bernardus Quintavalle― mengangguk-angguk kagum; sementara Sdr. John Tukan dan Sdr. Mateus Batubara mengamini refleksi singkat tersebut dan mencatatnya sebagai quotes penting. Memang benar, cara terbaik mengisi long delay adalah berkarya dengan setia dan bakti karena dengan cara itu kita menikmati karunia Tuhan dan membagikan manfaatnya bagi sesama.

Refleksi Kejepit

Menjelang Juli 2022, tatkala wabah Covid-19 mereda dan New Zealand sudah membuka kembali pintu negaranya bagi orang asing, kami kembali mengurus berkas imigrasi. Semuanya harus dimulai lagi dari awal: mengisi form application, medical check-up, sponsorship, hingga mengurus SKCK. Puji Tuhan, semuanya berjalan lancar. Tibalah saatnya, pada tanggal 15 November 2022, persaudaraan OFM Provinsi St. Mikael Malaikat Agung Indonesia resmi mengutus kami berdua sebagai misionaris ke Negeri Aotearoa.

Misa perutusan Sdr. Yornes dan Sdr. Adri di Kapela Biara St. Fransiskus, Kramat. Misa dipimpin oleh Minister Provinsi, Sdr. Mikael Peruhe, OFM.

Bertempat di Kapel Biara Fransiskus, dalam misa pagi, serta disaksikan oleh para saudara sekomunitas, kami menerima salib San Damiano, simbol perutusan mewartakan Injil di tempat yang baru. Salib San Damiano terbilang unik. Tidak terlalu menampilkan dukacita atau sengsara Yesus, tetapi sukacita, kemuliaan, dan keagungan-Nya. Hal ini dapat berarti bahwa kami adalah Fransiskan yang diutus untuk mewartakan sukacita dan menampilkan kemuliaan dan keagungan Tuhan dalam kesederhanaan hidup.

Menjelang Mentari terbenam, kami berangkat menuju Bandara Soekarno-Hatta, diantar oleh beberapa saudara. Perjalanan akan dilakukan pada malam hari. “Ayo, kita habiskan rupiah hasil salam tempel!” celetuk seorang saudara berinisial ER tatkala proses check-in di Bandara selesai. Sayang, dompet saya sudah dikuras beberapa hari sebelumnya. Beruntung, setelah unjuk rasa singkat, para simpatisan/pengantar akhirnya dijamu Sdr. Bastian (Gardian Assisi) di cafetaria bandara.

Ada sesuatu mengusik lubuk hati saya! Di ruang tunggu gate 9-terminal 3, entah mengapa, saya merasa ingin pulang ke Kramat. Dalam sekejap, keraguan muncul dalam diri saya, bercampur dengan rasa sedih dan gelisah. Semuanya campur aduk, asli!! Sempat terbesit di relung pikiran: mampukah saya mengemban tugas ini? Pada saat yang sama, dalam pikiran muncul ingatan akan lagu Berkat Bapa Fransiskus yang dinyanyikan oleh para saudara pada saat misa perutusan, “Semoga Tuhan memberkatimu, melimpahkan berkat Bapa dan Putera serta yang Roh Suci. Kekuatan Surga dengan para suci; sekarang sampai selama-lamanya. Amin. Amin. “

Refleksi kejepit ini berakhir ketika terdengar suara dari speaker bandara memanggil: “Para penumpang Pesawat Quantas dengan nomor penerbangan QF-42 tujuan Sydney segera masuk ke pesawat melalui Gate 9!”. Tak ada alasan untuk kembali ataupun melarikan diri, nanti dikejar security. Maju!! Tepat pukul 19.15 WIB, pesawat raksasa milik maskapai Australia itu menerbangkan kami ke Sydney. See you Indonesia!

Huru-Hara di Sydney

Selama kurang lebih 6 jam saya duduk manis di seat 32E. Rasa lelah dan kantuk serta efek wine yang disajikan pramugari mengantarkan saya kea lam mimpi. Langit berpendar terang matahari. Arloji menunjukkan pukul 01.30 WIB dan HP menunjukkan pukul 05.30 waktu Sydney. Terdengar pemberitahuan dari awak penerbangan sesaat lagi pesawat akan mendarat.

Setelah pendaratan yang mulus, kami menuju ruang tunggu Internasional yang besar sekali. Sekitar 30-an gate ada di sini. Morii!! Di sini, kami harus menunggu selama 5 jam untuk penerbangan berikutnya. Rasa lapar mendorong kami untuk segera mencari kantin makanan atau sejenisnya. Sdr. Adri mulai mencari tulisan menu yang ‘akrab di telinga’. Semua menu tertera dalam Bahasa Inggris yang aneh-aneh. Harap maklum, kami berdua hanya hafal nama masakan nusantara yang dihidangkan di Rumah Makan Bebek Hijau Batulicin.

Tak menemukan Bebek Hijau, kami memasuki sebuah kafe yang menyajikan roti bakar. Bermodalkan senyum sumringah khas warga +62 (baca: Indonesia) dan Bahasa Inggris yang terbata-bata, kami memesan makanan: roti bakar, kopi, dan satu jenis hidangan (lupa namanya) yang kemudian membuat kami menyesal telah memesanya. Lidah belum bisa terima! Kami menikmati hidangan itu di meja dekat jendela sambal memandang pesawat yang naik turun hampir tiap menit. Setelah menikmati pemandangan dan sarapan pagi, tibalah peristiwa yang ingin segera kami lupakan.

Swafoto Sdr. Yornes sesaat sebelum malapetaka di meja petugas Kasir.

Total biaya yang harus kami  keluarkan untuk makanan adalah 50 dollar. Kami sudah mengeluarkan beberapa lembaran uang dollar baru, mulus, tanpa lipatan. Ternyata persoalannya bukan pada uang dollar lama atau dollar baru tetapi pada sistem pembayaran. Guys, semuanya cashless!! Uang tunai di Sydney Airport tidak berlaku (tepatnya: tidak dilayani sama sekali!). Kami tidak memiliki gambaran sama sekali tentang ­e-money di Bandara Internasional. Kami hanya mengantongi lembaran dollar. Petugas Kasir bertanya, “apakah ada kartu debit atau kredit?” Tidak ada. Dengan English yang putus-patah, kami terus memaksa tetap cash. “Uang cash bernilai juga kan? Kenapa ribet sih?” Cukup lama kami berdialog. Kasir mulai kesal.

Dengan tatapan kesal dan seraya menata emosi, kasir itu berceletuk pelan: “Hei Bro, apakah anda datang dari 50 tahun lalu? (begitu kira-kira terjemahan saya). Sambil menerima uang tunai yang saya berikan, ia pun tempel debit card miliknya dia. Tampak keheranan pada wajahnya. Ia mungkin merasa sedang menghadapi dua alien dari planet Saparatoz-88 (planet ini belum ditemukan, guys). Mungkin juga ia berpikir bahwa kami hendak menipu dirinya. Atau mungkin juga dia sedang cekcok sama kekasihnya dan kami hadir di waktu yang salah? Nobody knows. Intinya, kami tidak ingin berjumpa dengannya lagi dan segera melupakan peristiwa ini.

Pesan pentingnya adalah kenyang dulu sebelum debat biar bisa menang! Ah, ngawur! Tentu saja pesannya adalah hendaknya setiap perjalanan yang akan dilalui dipersiapkan dengan matang serta disesuaikan dengan situasi zaman yang terus berkembang. Pengalaman adalah guru yang terbaik. Persiapan tidak hanya soal mental tetapi juga berkaitan dengan hal-hal teknis seperti aturan perjalanan, dan lain sebagainya. Dunia sudah maju dan kita bisa belajar banyak hal-hal baru dan baik dalam kemajuan itu. Tapi, kalau mau sekadar challenge for english conversation practice bisa dicoba pengalaman kami ini. Konsekuensinya ditanggung sendiri.

 

Welcoming Wine

Selepas pengalaman di kantin roti bakar itu, kami bergegas menuju gate 27. Lagi-lagi, burung besi Qantas flight QF 145 sudah stand-by menunggu kami. Tepat pukul 11.45 waktu Sydney, dalam cuaca cerah, kami terbang menuju Aotearoa.

Dulu, banyak saudara memberi usul: Yang penting banyak senyum, sisanya mengangguk atau menggeleng jika ada yang ajak bercakap-cakap. Mengingat kemampuan Bahasa Inggris yang di bawah rata-rata, ‘senyum’ adalah jurus andalan dalam berkomunikasi. Sebagian besar, senyum itu bermakna  positif. Sebagian kecil, senyum itu tanda lagi mabuk tuak.

Sayang, masker menghadang senyuman berkibar. Tapi, fortunately, selain tragedi Sydney, tidak ada kendala yang berarti selama perjalanan. Para pramugari setia menyuguhkan aneka macam makanan selama penerbangan. Ada hot dog, taco, sandwich, burrito, burgers, dan soft-drinks. Meski banyak hidangan yang ditawarkan, kami belum kenyang karena belum berjumpa dengan nasi. Pesawat mendarat di Bandara Auckland, Selandia Baru tepat pukul 16.45pm. Selama tiga jam kami melewati laut Tasman yang memisahkan pesisir timur Australia dengan New Zealand.

Masuk negara New Zealand cukup ketat. Semua tas dan koper penumpang mesti dibongkar, tanpa terkecuali. Para petugas memburu sepatu dan sandal. Sol sepatu, baik yang masih baru maupun yang telah dipakai direndam dalam larutan alkohol serta dibersihkan oleh para petugas. Daerah lutut ke bawah disemprot disinfektan. Lalu, pemeriksaan Covid19? Tidak perlu, cukup menunjukkan hasil tes di Indonesia.

Upacara penyambutan yang sederhana nan hangat oleh para Saudara Dina di New Zealand terhadap Sdr. Yornes dan Sdr. Adri. Tampak raut wajah datar Sdr. Yornes akibat jetlag.

Sdr. Arul, OFM (Pastor Paroki St. Therese Three Kings) dan Sdri. Emily (Direktur St. Francis Retreat Centre) sudah menanti kami di pintu keluar. Benyamin (ketua komite sekolah St. Therese) dan istrinya, Melisa juga sudah menanti kami di pick-up area. Mereka tampak bergembira menyambut kami. Nuansa persaudaraan langsung terasa. Kami diantar menuju Biara San Damiano, 8 Taylor Road Mangere Bridge, tempat kami akan tinggal. Perjalanan menuju biara ditempuh selama 15 menit, melalui jalan tol (motorways). Berbeda dengan jalan tol di Indonesia, kami melewati jalan tol tanpa gerbang dan tanpa menggunakan e-money.

Tampak (duduk Ki-Ka: Sdr. Arul OFM, Sdr. Philip OFM, Sdr. Adri OFM, Sdr. Yornes OFM, Sdr. Anthony OFM, dan Sdr. Garry OFM dari Melbourne) berpose bersama setelah diterima secara resmi oleh perwakilan Keuskupan Auckland, Sr. Jane O’carroll SM, asisten Uskup Bidang Pastoral, serta beberapa kerabat, pengurus Trust Board, dan keluarga Indonesia.

Sebotol wine “selamat datang” menambah kehangatan suasana di Biara San Damiano. Sdr. Anthony, OFM sudah mempersiapkan semuanya, sementara Sdr. Philip, OFM (delegat provinsial) belum bergabung karena masih di Melbourne, Australia. Biara dengan 5 kamar ini cukup besar sekaligus nyaman untuk dihuni. Rupanya biara ini dipersiapkan khusus bagi saudara purna karya atau lansia. Jadi, kami bertiga (Sdr. Anthony, Sdr. Adri, dan saya) tinggal di San Damiano. Sementara, Sdr. Arul, OFM tinggal di pastoran paroki St. Therese dan Sdr. Sdr. Philip Jeffares, OFM menetap di Rumah Retret St. Francis.

Biara San Damiano yang akan menjadi tempat tinggal bagi Sdr. Yornes dan Sdr. Adri selama bermisi di New Zealand.

Kehadiran kami menambah jumlah para Saudara Dina di New Zealand menjadi lima orang (Sdr. Philip, Sdr. Anthony, Sdr. Arul, Sdr. Adri, dan Sdr. Yornes). Bagi kami ini adalah awal yang baru (another new beginning). Seperti kata Bapa Fransiskus Assisi, kami mesti memulai lagi karena belum berbuat apa-apa (1 Cel. 103). Lha, wong baru tiba. (bersambung)

 

Sdr. Yornes Panggur, OFM

Tinggalkan Komentar