
Alm. Sdr. Kornelis Keyrans, OFM
“Sembarang saja”; “O ya.” Dua ungkapan khas yang selalu keluar dari mulut Sdr. Kornelis Keyrans OFM tatkala menanggapi orang yang berbicara dengannya. “Sembarang saja” biasa dipakainya untuk menegasi segala ketidakbenaran dari lawan bicaranya. Sementara “o ya” merupakan ungkapan favorit beliau ketika menyanggah atau menjawab sesuatu. Dalam pembicaraan-pembicaraan yang serius Amo Kor, demikian ia disapa di Timor Leste, selalu mengawali kalimatnya dengan “o ya”. Dengan ungkapan ini, ia sebenarnya ingin mengatakan dua hal: pertama, mengafirmasi sebuah pembicaraan dengan penuh kekaguman; kedua, “O Ya” dipakainya untuk mengawali argumentasi-argumentasi dan sanggahan-sanggahan dari apa yang hendak kita bicarakan. “O ya” juga biasanya digunakan untuk mengawali pertanyaan akan sejauh mana kebenaran informasi dan ide yang dikemukakan oleh lawan bicaranya. Amo Kor memang unik!
Kurang lebih dua tahun saya mengalami hidup bersama beliau, yakni pada 2009-2010 ketika saya menjalani masa postulat, dan pada 2016 hingga 20017 menjalani masa TOP di Fundasi St. Antonius Padua, Timor Leste. Dalam hidup bersama itu, ada beberapa hal dari cara hidupnya yang sungguh mengesankan bagi saya. Setidaknya beberapa kisah di bawah ini bisa mewakili perasaan batin saya tentangnya.
Pertama, Amo Kor adalah sosok yang menghendaki keselarasan kata-kata dan aksi nyata. Pada suatu hari ada seorang saudara postulan yang sedang menyeduh kopi pada jam-jam kerja, kira-kira pukul 09.00 waktu Timor Leste. Amo Kor kemudian mendapati saudara ini, lalu bertanya; “buat apa?” Saudara bersangkutan kemudian menjawab, “sedang buat kopi, Amo.” Mendengar jawaban itu, Amo Kor langsung menyambar dengan nada sindir, “O ya, bagus, rajin buat kopi, tapi rajin kerja juga bagus ya.” Amo Kor memang seorang pekerja, bukan sekadar penyusun konsep belaka. Dari kisah sederhana ini kiranya jelas bahwa ia memang selalu mengharapkan keselarasan dan keseimbangan dalam pelbagai hal yang terkait dengan sikap hidup; kata dan aksi nyata mesti selaras. Juga baginya, rajin dan tekun kiranya tidak saja berlaku hanya di saat makan dan tidur.
Kedua, sosok yang suka membaca dan belajar hal-hal baru. Amo Kor adalah salah seorang fransiskan yang gemar membaca. Tiada hari tanpa membaca. Kendati hari itu, dia bekerja keras di kebun, ia tetap meluangkan waktu untuk membaca dan kemudian mencatat hal-hal yang diperolehnya dari buku bacaannya. Kebiasaan ini kita temukan setiap malam usai ia memberi makan hewan peliharaannya. Beragam bahan bacaan dibacanya, seperti buku-buku teologi, buku-buku tentang pertanian, perihal kesehatan, dan sebagainya.
Ketiga, pribadi yang mengajar orang untuk tidak tergantung pada orang lain. Kesan ini saya temui dari sebuah kisah kecil: pada suatu hari ada seorang bapak datang ke kebun di dekat Novisiat OFM Timor Leste. Ketika melihat buah nanas yang sudah matang, bapak itu memetik dan memakannya. Lalu, Pater Kornelis mendekati bapak tersebut, sembari menunggu sampai ia selesai memakan buah tersebut. Setelah itu, Amo Kor membangun percakapan dengan bapak tersebut dengan bertanya; “enak ya?” Si bapak, tanpa memikir banyak, lalu menjawab, “ya amo enak.” Lalu Amo Kor menyambung, “kalo enak, nanti kamu bawa anakannya dan tanam ya.” Tampak, setiap ucapan – meski bernada sindiran – dari Amo Kor punya muatan edukatif yang tentunya patut diimplementasikan dalam kehidupan konkret.
Keempat, pribadi yang mengajarkan kita untuk tidak terlalu cemas akan harta dan hari esok. Kita diajarinya untuk menjalankan hari ini dengan sungguh-sungguh. Terkait hal ini, saya teringat dengan pengalaman ketika ayah saya sakit. Lantaran tak punya handphone, saya berinisiatif untuk meminjam HP milik Amo Kor. Kala itu, saya memang tengah membutuhkan HP untuk menghubungi keluarga saya, sekadar menanyakan kabar dan kondisi terkini ayah saya. Amo Kor pun meminjamkan Hp-nya untuk saya. Saya menghabiskan waktu untuk berbicara dengan keluarga saya sekitar 20 menitan. Pada tahun 2009, di Timor Leste, dengan percakapan via telpon yang menghabiskan waktu 10 sampai 20 menit, rasanya begitu berat karena harus menghabiskan banyak pulsa. Saya sendiri terbebani karena sudah menghabiskan pulsa di HP-nya. Setelah menggunakan HP itu, lalu saya datang kepadanya dan menyatakan terima kasih, sekaligus menyampaikan maaf karena telah menghabiskan pulsanya. Permohonan maaf saya ini justru menjadi semacam bumerang baginya. Ia menjawab dengan ketus, “ah kau ini, macam besok mau mati saja. Tidak apa-apa!” Jawaban Amo Kor ini melegakan hati saya, lantas setelahnya saya bersyukur dan berterima kasih atas kebaikan hatinya.
Kelima, Pater Kornelis adalah pribadi yang sungguh-sungguh memikirkan kesejahteraan bersama. Ia juga saya kenal sebagai seorang saudara yang tekun merawat kemiskinan dan kesederhanaan dalam hidup bersama sebagai Saudara Dina. Dalam beberapa kali pertemuan bersama saudara-saudara dan juga pembicaraan pribadi dengan beliau, dia selalu memberi imbauan agar saudara-saudara tidak menyimpan uang untuk diri sendiri, melainkan memasukkannya ke komunitas untuk hidup bersama yang lebih baik. Kebajikan yang dipraktikkannya tentu saja lahir dari radikalitas penghayatannya akan nilai-nilai yang tertuang dalam anggaran dasar dan dari semangat Bapak Serafik Fransiskus Assisi.
Keenam, pribadi yang mengajarkan ketulusan. Ia tidak punya kebiasaan menggosip dan atau memberi stigma buruk pada orang lain. Tentang hal ini, saya kerap kali mendengar ungkapan “mati sebelum meninggal” dari mulutnya. Dalam suatu kesempatan dia sempat menjelaskan arti ungkapan itu, yakni bahwa ada orang secara fisik masih hidup, tetapi secara spirit sebenarnya sudah mati. Ia tidak begitu menaruh simpatik pada saudara yang suka gosip dan menceritakan kejelekan orang lain. Mengumbar keburukan orang lain, bagi Amo Kor adalah sama dengan mematikan saudara sendiri.
Ketujuh, cintanya akan misi di mana ia mengobarkan seluruh semangatnya. Ketika berada dalam situasi-istuasi sulit dan pertikaian di Timor Leste, khususnya di Alas, Pater Kornelis tidak pernah lari meninggalkan umatnya. Ia tetap teguh dan setia di tengah umat meskipun kadang ia ditawan oleh para tentara di kediamannya. Ketika menemui beliau di Atambua, saya pernah mengatakan, “Pater ke Jakarta untuk berobat dulu sebelum balik ke Timor Leste.” Dia menjawab, “saya harus ke Timor-Timur dulu.” Bahkan sampai saat-saat terakhirnya dia masih mau kembali ke Timor Leste. Amo Kor sangat mencintai bumi Timor Lorosae. Ia melukis kisah indahnya dalam ziarah perutusannya dari 2002 hingga 2020 di Timor Leste, medan karya yang telah menjadi rumah penuh cinta baginya.
Saya akhiri tulisan ini, suatu kisah sederhana tentang Sdr. Cornelius Balthassar Keyrans OFM. Kendati terbatas, kiranya tujuh kebajikan yang telah saya sharing-kan ini bisa menggambarkan betapa Amo Kor adalah seorang Fransiskan yang luar biasa, otentik, setia dan tekun merawat panggilannya. Angkat tujuh adalah angka sempurna, semoga menggambarkan kesempurnaan cinta Amo Kor akan panggilan kefransiskanannya, akan OFM, akan saudara-saudari, umat Allah di Timor Leste, dan akan bumi Timor Lorosae, tempat ia merangkai kisah hidupnya cukup lama. Obrigado, Amo Kor. Sampaikan “sembarang saja dan o ya” kepada Tuhan, juga kepada Bapa Fransiskus. Kiranya mereka tersenyum, sebagaimana kami kini tersenyum tatkala mengenang kisah indah denganmu.
Sdr. Marciano Soarez OFM
Luar biasa, Amo Kor. Juga yang menulis ini.