Francesco, anak Pietro Bernardone, seorang pedagang tekstil yang sukses, lahir di kota kecil Asisi, Italia, pada tahun 1181. Setelah menjadi orang ternama sebagai pengikut Kristus, ia dikenal dengan nama Santo Fransiskus dari Asisi. Ia meninggal pada sore hari tanggal 3 Oktober 1226. Dalam rentang waktu hidupnya yang hanya sekitar 45 tahun itu, ia ternyata membawa pengaruh besar bagi dunia kristen zaman itu, bahkan juga sampai zaman kita. Kini, sewaktu Gereja giat mencanangkan lagi perjuangan untuk keadilan dan damai, orang teringat pada sosok Fransiskus sebagai pembawa damai dan kawan setia orang-orang kecil. Fransiskus, dengan semangat persaudaraannya yang mampu menerobosi batas-batas negara, agama dan sosial-ekonomi, terasa hadir kembali di tengah dunia yang mendambakan persaudaraan antara semua manusia. Ia bahkan dikenang sebagai orang yang memperlakukan semua makhluk ciptaan sebagai “saudara dan saudarinya” dan sebagai anugerah Allah yang mengagumkan, sehingga Paus Yohanes Paulus II merasa pada tempatnya mengangkat dia sebagai pelindung pemelihara kelestarlan lingkungan hidup (29 November 1979).
Apakah yang mendasari semua gejala itu? Apakah karena Fransiskus seorang humanis dan pencinta lingkungan hidup saja? Ternyata perannya untuk keadilan dan damai, untuk persaudaraan dan ekologi, merupakan pancaran rahasia hubungannya dengan Allah. Sewaktu masih sebagai orang muda, anak pedagang kaya yang punya segala sarana untuk menikmati hidup di dunia ini, Fransiskus ditangkap oleh Allah. Allah membuat dia merasakan kasih dan kebaikan-Nya, yang nilainya jauh melampaui segala kenikmatan dunia ini. Ia menemukan, bahwa jalan untuk menjawab kasih Allah itu ialah dengan mengikuti Kristus. Sebagaimana Allah menyatakan kasih dan kebaikan-Nya kepada manusia melalui Kristus, demikian pula manusia hanya bisa sampai kepada Bapa yang kudus dan baik itu melalui Kristus.
Di dalam peristiwa Kristus itulah Fransiskus menangkap misteri Allah yang merendahkan diri dan menjadi miskin untuk kita. Inkarnasi dan penyaliban secara khusus menandai hal itu. Dalam kurban Ekaristi, ia melihat Tuhan yang merendahkan diri setiap hari dalam rupa yang amat sederhana untuk memberikan diri sepenuhnya kepada manusia.
Lebih lanjut Fransiskus menemukan, bahwa tidak ada cara yang lebih tepat untuk mengikuti Kristus, selain dengan menjadi miskin dan rendah seperti Dia. Pedoman konkret untuk itu ialah Injil Kristus sendiri, maka ia pun meninggalkan segala jaminan hidup dan mau menjadi orang kecil yang tunduk kepada semua orang. Langkah berani itu, yang tampaknya merupakan kerugian, nyatanya dialami sebagai suatu pembebasan. Ia bebas dari segala beban kekhawatiran dunia ini dan dengan penuh sukacita mengabdi Allah sebagai orang miskin. Seluruh hidupnya ditandai oleh pertobatan terus-menerus, yaitu berbalik melupakan dunia dan dirinya sendiri untuk mengikuti Kristus yang miskin dan merendah, yang lahir miskin di Betlehem, tergantung telanjang pada salib di Kalvari, dan hadir dalam rupa hina-dina di atas altar setiap hari. Fransiskus berusaha untuk menjadi serupa dengan Tuhan dan gurunya itu. Ia ternyata berlari dengan baik dan dengan tepat menuju sasarannya itu. Maka, menjelang akhir hidupnya, seakan-akan sebagai meterai yang mengesahkan keserupaannya dengan Kristus, ia menerima stigmata, yaitu luka-luka Yesus Tersalib yang tampak pada kedua telapak tangan, kaki dan lambungnya.
Persatuannya dengan Kristus Tersalib yang miskin dan rendah itulah yang membuat Si Miskin dari Asisi itu mampu memikat dan menggerakkan dunia untuk mencari keadilan dan damai, persaudaraan dan cintakasih.
Pandangan dan gaya hidup injili Fransiskus itu dituangkan dan dipadatkan dalam karya-karyanya yang ditulis sebagai pedoman hidup bagi orang-orang lain yang mau hidup menurut Injil Suci Tuhan kita Yesus Kristus. Melalui karya-karya itulah ia mewartakan kepada kita misteri terdalam hubungannya dengan Tuhan yang menemukan seluruh gaya hidupnya. Ada hubungan yang erat antara Injil yang mau dihayati sebagai pedoman hidup dengan karyakaryanya itu. Karyanya rupanya dilihatnya sebagai inti Injil itu sendiri, yang diwahyukan Tuhan kepadanya sebagai pedoman hidup. Karena itu, Fransiskus yang suka menyebut diri “orang bodoh dan tidak terpelajar”, ternyata amat tinggi menilai apa yang ditulisnya sendiri. Pada akhir berbagai tulisannya, ia tidak segan-segan meminta agar apa yang ditulisnya itu tidak diubah (AngTBul XXIV:4; Was 38); agar diperbanyak dan disebarluaskan kepada orang lain (2SurBerim 88; 1SurKus 9); agar disimpan dengan baik dan dipelajari (SurOr 47-48; SurPim 9). Kepada mereka yang menepati serta menyebarkan tulisan-tulisan itu, Fransiskus juga tidak segan-segan menjanjikan berkat dari pihak Tuhan (lihat misalnya Was 40; SurBerim 88; SurOr 49; 1SurRoh 15; 2SurRoh 15; SurPim 9; 1SurKus 9). Itu tanda bahwa Fransiskus memang menganggap karya-karyanya sebagai sarana pelaksanaan dan pewartaan tugas yang diterimanya dari Allah sendiri.
Selengkapnya, sumber-sumber kefransiskanan tersebut dapat dibaca di tautan berikut ini.