Tulisan ini adalah bagian kedua dari catatan perjalanan misi Sdr. Yornes Panggur, OFM di New Zealand. Berkisah tentang lima bulan pertama ketika memulai misi. Berbagai aspek mesti disesuaikan dengan situasi dan kondisi tempat misi yang baru. Meski tidak gampang tetapi selalu menarik. Simak kisahnya.
KESAN PERTAMA
Sebelumnya, satu-satunya yang saya ketahui tentang New Zealand adalah negeri itu pernah menjadi tempat syuting dua film kondang trilogi The Lord of The Rings (2001-2003) dan The Hobbit (2013-2015). Dua trilogi film bergenre adventure-fantasy itu menampilkan panorama tentang alam New Zealand yang indah dan menakjubkan layaknya negeri dongeng. Gambaran dalam film-film itu tidak berlebihan. Damai dan indah adalah dua kata yang mewakili kesan pertama saya ketika menginjakkan kaki di bumi Aotearoa. Panorama alam yang hijau serta hawa dingin menjelang musim semi mengingatkan saya pada suasana Puncak, Jawa Barat.
Kedatangan kami pada penghujung November 2022 disambut oleh sisa-sisa musim dingin. Pengukur suhu menunjukkan angka 17 sampai 19 derajat Celcius. Dingin menusuk sampai ke tulang meskipun badan telah ditutupi jaket tebal dan sepatu boots. Anehnya, Sdr. Philip Jeffares, OFM dan kebanyakan orang New Zealand lainnya bisa bertahan hanya mengenakan kaos oblong dan sandal! Ada juga yang bertelanjang kaki. Oh my God!
Sepanjang mata memandang hamparan alam yang hijau dan tertata rapi memanjakan mata. Pada awal bulan Januari 2023 lalu, saya dan Sdr. Adri menghadiri acara pemberkatan batu nisan makam seorang Saudara Dina yang meninggal tiga tahun silam di sebuah kota kecil bernama Coromandel. Perjalanan kami tempuh selama 3 jam melewati jalanan yang mulus dan membelah bentangan alam yang cantik dan indah. Padang rumput dihiasi geromboln domba dan sapi peliharaan. Sesekali melewati hutan-hutan pinus. Hanya ada satu-dua rumah. Terkenang perbukitan cantik di Flores, seperti padang Maronggela atau bukit-bukit Olakile di musim hujan.
Selain terkesan dengan keindahan alam saya juga terkesan pada cara hidup masyarakat New Zealand. Disiplin dan teratur adalah dua kata yang dapat dipakai untuk menjelaskan cara hidup 5,2 juta warga New Zealand. Keduanya tidak bisa ditawar. “Pokoknya ade, ukur baek-baek waktu jika ada acara pelayanan. Haram telat di sini e,” demikian nasehat Romo Roy CSSR, pastor Paroki St. Anthony Mangere sekaligus kapelan KKIA (Komunitas Katolik Indonesia-Auckland). Tentu saja, ini jadi tantangan besar bagi saya yang memiliki konsep waktu ngaret alis terlambat dengan berbagai alasan.
SEKILAS TENTANG MAORI
New Zealand identik dengan Maori. Suatu hari, Sdr. Philip mengajak kami jalan-jalan ke puncak One Tree Hill, sebuah bukit berjarak 5 km arah selatan kota Auckland. Seluruh wilayah kota tampak terhampar bila dilihat dari atas bukit ini. Pada puncak bukit, terdapat obelisk setinggi 21 meter. Di kaki obelisk terpancang prasasti yang menuliskan lima kalimat tentang sejarah peradaban orang Maori. Karena hanya lima kalimat dan terlalu singkat untuk sejarah yang panjang, saya coba tambahkan beberapa catatan dari sebuah buku bacaan wajib bila ingin mengenal New Zealand. Buku itu berjudul: The Pinguin: History of New Zealand, karya Mikhael King, 2003. Pokok tulisan sepanjang 500 halaman tersebut kira-kira demikian.
Aotearoa pada mulanya adalah tanah tak bertuan (baca: manusia). Penelitian-penelitian arkeologi menyatakan bahwa sebelum abad ke-13 tidak ditemukan bukti peradaban manusia. Namun, prasasti One Tree Hill mencatat seorang pelaut Polinesia bernama Kupe menemukan Pulau Utara pada tahun 925. Sejak saat itu hingga tahun 1150 berkembang peradaban yang mulai tertata. Hingga tahun 1350, kano-kano pelaut polinesia mulai berlabuh di pantai-pantai Pulau Utara dan memulai peradaban.
Pada tahun 1643, seorang pelaut Belanda, Abel Tasman menemukan pesisir barat Pulau Selatan. Ia menjadi orang Eropa pertama yang menemukan Aotearoa. Tasman sempat bentrok dengan warga lokal (Maori) yang mengakibatkan beberapa pelaut tewas. Seratus dua puluh lima tahun kemudian, Kapten James Cook, pelaut Inggris, tiba di New Zealand. Situasi kolonisasi yang mendera orang Maori menimbulkan perang-perang lokal antara Maori melawan Pakeha (sebutan untuk pendatang kulit putih). Baru pada Peristiwa Waitangi (tahun 1840), terbentuk perjanjian damai antara orang Maori dan para pendatang dari Eropa. Hingga kini, Waitangi Day (6 Februari) merupakan hari libur nasional.
Secara sederhana, istilah ‘maori’ berasal dari bahasa Polinesia yang berarti ‘alami’ (natural) atau ‘asli’. Istilah ini semakin populer ketika pada abad ke-17 pelaut-pelaut Eropa menamakan orang setempat ‘orang Maori’, yang artinya ‘people of the land’ atau orang-orang pribumi. Namun, dewasa ini, bagi orang Maori dan New Zealanders pada umumnya, kata ‘maori’ memiliki arti yang lebih luhur nan agung. Maori adalah adalah ROH Aotearoa.
Pada salah satu sesi program New-Coming Priest Orientation, 13-16 Maret 2023, kami (11 imam pendatang baru) berkesempatan mengunjungi Te Unga Waka Marae, semacam kapela stasi yang bernuansa Maori untuk mengenal lebih dalam tentang Maori. Tempat ini dicapai dengan jarak tempuh sekitar 15 menit naik mobil dari Saint Francis Retreat Centre dan berada dalam wilayah pelayanan paroki Epsom, Auckland. Di sana, Mr. Manuel, seorang Maori-Katolik dan ahli Sejarah Maori menanti kami.
Pertemuan yang berlangsung selama dua jam itu memberikan wawasan yang luas kepada kami perihal asal usul Maori, sejarah dan perkembangannya, dan kedekatan Maori dengan iman Kristiani (Katolik). Hipotesis saya adalah “Maori bukan hanya sebuah sejarah peradaban melainkan ‘roh’ yang meraga dalam diri Te Ika a Maui (Pulau Utara) dan Te Waipounamu (Pulau Selatan)”. Sejak Kupe hingga saat ini, Maori memiliki catatan sejarah yang kaya tentang perkembangan peradaban. Lebih dari itu, Maori adalah roh yang meraga, memberi hidup, dan penyeimbang harmoni seluruh peradaban di Bumi Awan Putih Panjang ini.
SAUDARA DINA AWAL
Dapat dikatakan bahwa tarekat OFM memberi warna tersendiri bagi kekatolikan di New Zealand. Sejarah singkat kehadiran OFM di New Zealand demikian. Iman Katolik pertama kali masuk ke New Zealand pada tahun 1838. Uskup J.B. Pompallier asal Perancis memulai misi Katolik di teluk Hokianga, North Island. Perjumpaan awal dengan orang Maori ini berjalan sangat baik. Demi menunjang misi, ia mengundang para Saudara Dina dari Italia.
Pada tahun 1860, 6 imam dan 2 bruder OFM tiba di New Zealand. Mereka pun mulai berkarya dengan sangat bersahaja di wilayah utara North Island. Cara hidup mereka yang dina serta berkebalikan dengan cara hidup para imam asal Irlandia dan Inggris, membuat mereka amat dicintai orang-orang Maori. “Ketika perang dulu, orang Maori tidak mengganggu para Fransiskan karena memang mereka tidak ‘memiliki’ dan ‘merampas apapun’ dari penduduk lokal,” kata Sdr. Philip. Sungguh kesaksian hidup yang mengagumkan serta hanya bisa dinilai dengan mata uang surgawi.
Namun, tiga belas tahun kemudian, para Fransiskan berselisih dengan Uskup Croke, seorang Irlandia pengganti Pompallier. Bisa dipahami karena Uskup Croke cenderung mengatur-atur para Saudara Dina dalam segala hal. Beliau ingin agar semua imam yang berkarya di keuskupan Auckland harus taat pada uskup, bukan pada pimpinan tarekat. Akhirnya, tahun 1873, para Fransiskan harus ‘angkat kaki’ dari New Zealand. Berakhirlah fase pertama kehadiran Fransiskan di sini.
Fase kedua kehadiran para Fransiskan terjadi pada tahun 1930. Kali ini, para Fransiskan datang dari Provinsi Holy Spirit, Australia. Mereka melayani beberapa paroki dan membuka karya St. Francis Retreat Centre di Auckland. Sayang, seiring berjalannya waktu, jumlah Saudara Dina semakin sedikit. Paroki-paroki besar diserahkan kembali ke keuskupan. Saat ini tersisa satu paroki yang dilayani oleh para Fransiskan. Semoga di masa depan semakin banyak Saudara Dina yang berkarya di tempat ini mengingat tenaga pastoral parokial dan spiritual sangat dibutuhkan.
FRIARY
Dari puncak One Tree Hill, bisa dilihat Saint Francis Retreat House, sebuah bangunan megah di kawasan Caecilia Park. Para saudara di sini menyebutnya Friary. Bangunan tua ini digunakan untuk pelayanan retret dan aneka pertemuan lainnya. Bangunan bergaya Baronial dengan balutan tembok bata merah ini memiliki dua area utama, yakni area kegiatan retret (beberapa ruang pertemuan dan 40 kamar) dan area friary (biara), dapur serta kantor. Nuansa Fransiskan terasa kental. Buku-buku rohani khazanah Fransiskan terpampang rapih siap dibaca. Saat ini, Sdr. Philip menetap di friary.
Melalui rumah retret ini para Saudara Dina memberikan pendampingan rohani dan spiritualitas bagi umat. Karya rumah retret ini berjalan baik. Sejak kami tiba, unit karya dengan 15 orang karyawan ini selalu sibuk melayani orang-orang yang membutuhkan penyegaran rohani ataupun sekadar mengadakan pertemuan. Saya dan Sdr. Adri pun menjalani magang di tempat ini ketika pertama kali tiba. Kami dilibatkan dalam setiap kegiatan, terutama kegiatan-kegiatan rohani.
Dapat dikatakan bahwa Friary menjadi ikon fraternitas para fransiskan yang berkarya New Zealand. Setiap hari Rabu sore diadakan hari komunitas (community prayer and meal). Agenda atau acara lain tidak diperkenankan dilaksanakan pada waktu tersebut. Kami berlima berkumpul dan memulai acara komunitas dengan misa tepat pukul 17.30 dan dilanjutkan makan malam bersama. Beberapa teguk wine memberikan pertolongan ketika hendak sharing pengalaman dalam Bahasa Inggris. Kadang jika minum wine kebanyakan, justru senyum-senyum sendiri ketimbang sharing. Antara paham atau sudah oleng.
THREE KINGS PARISH
Ditempuh dengan berkendara roda empat selama 5 menit dari Friary ke arah utara, terdapat gereja yang dilayani oleh para Fransiskan. Namanya Paroki St. Therese Three Kings, Mount Roskill. Ini satu-satunya paroki yang dilayani para Fransiskan saat ini. Gedung gerejanya kecil bila dibandingkan gereja St. Fransiskus Assisi, Karot-Ruteng atau Gereja St. Paskalis, Cempaka Putih-Jakarta. Tampak luar gereja bergaya Baronial tetapi bagian dalam kental bernuansa Maori.
Paroki St. Therese Three Kings terbilang kecil. Usianya juga baru 11 tahun. Meskipun demikian, umat di paroki ini paling heterogen. Mereka adalah keturunan India, Samoa, Tonga, dan Malaysia. Sebagian kecil berasal dari Afrika (Zimbabwe community), Belanda, Kiwi, dan Fiji. Tidak ada umat Katolik asal Indonesia di paroki ini. Selain aktif di paroki, umat migran beragama Katolik di New Zealand pada umumnya juga terlibat di komunitas (community chaplaincy) masing-masing.
Pelayanan parokial tidak berbasis teritorial tetapi berbasis data atau registrasi. Tidak ada istilah KUB/KBG atau Lingkungan. Setiap orang bebas memilih gereja untuk misa atau meminta pelayanan sakramen. Yang paling penting semua terdaftar/teregistrasi. Pastor paroki dibantu dewan keuangan dan dewan paroki dalam menjalankan reksa pastoral. Semua pelayanan administratif sangat rapi dan modern. Para pastor juga punya semacam Nomor Induk yang legal serta terdaftar di database pemerintah dan keuskupan. Lantas, pastor Katolik bisa melayani umat di gereja Katolik mana saja.
Saat ini, Sdr. Arul tinggal di pastoran kecil di samping gereja sebagai pastor paroki. Sudah hampir 9 tahun beliau menjabat sebagai pastor paroki. “Finally, you both come here, I am ready to go then,” celetuk pria Tamil 62 tahun yang sudah jadi warga New Zealand ini. Kelihatannya, Sdr. Adri sudah siap menggantikannya.
TANTANGAN KLASIK
Sebagai pendatang baru di tanah misi berbahasa Inggris, kemampuan Bahasa Inggris kami (saya dan Sdr. Adri) masuk kategori ‘kurang meyakinkan’. Kemampuan speaking kami kurang bagus dibandingkan dengan kemampuan reading dan listening. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Mengapa dulu saya tidak membiasakan diri berbicara Bahasa Inggris? Meskipun dulu ada English Speaking Day di Biara St. Antonius Padua-Rawasari atau Biara St. Fransiskus-Kramat, semua saudara langsung silentium magnum ketika hari itu tiba. Kami takut berbicara karena kurang percaya diri, malu, dan takut diolok saudara lain ketika salah bicara.
Akibatnya dirasakan saat ini. Kami kesulitan membangun percakapan dengan orang lain. Seringkali terjadi bahwa ide yang sudah ada di kepala sulit disampaikan dalam percakapan. Ketika hendak berbicara, syaraf-syaraf di otak saya mulai bekerja keras mencari kosa kata yang mesti dipakai. Terkadang ketika saking pusingnya tiba-tiba saja saya menjadi seperti komputer yang kelebihan beban kerja, blank alias not responding.
Bulan Februari lalu, saya memimpin misa untuk suatu sekolah di paroki. Umatnya adalah anak-anak dan guru-guru. Untuk ilustrasi saat homili, saya menyiapkan sebuah cerita lucu (menurut saya sih lucu) tentang lomba lari antara bekicot dan kuda. Pada cerita tersebut, tentu saja bekicot tertinggal jauh dari kuda. Kuda yang merasa di atas angin mengolok-olok dan menganggap remeh bekicot dengan sengaja tidur di lintasan lomba. Karena tertinggal jauh, bekicot minta pertolongan Tuhan Yesus dengan berseru: “Jesusss,,help me!”. Tiba-tiba datanglah seorang turis asal Brasil yang kebetulan lewat, namanya Gabriel Jesus. Karena iba, turis itu menolong bekicot.
Singkat cerita, bekicot memenangkan perlombaan karena doanya. Pesan dibalik cerita: memohon bantuan Yesus karena Ia punya banyak cara membantu orang yang berdoa minta bantuan. sedangkan si kuda yang angkuh kalah karena sikap anggap remehnya. Hening. Tawa yang dibayangkan tidak muncul. Beberapa dahi malah berkerut. Padahal ekspresi tubuh dan intonasi suara saat menyampaikan cerita sudah sangat meyakinkan. Gagal total. Bahasa oh bahasa.
“Tantangan adalah peluang!” Ungkapan ini pendek dan singkat tapi lumayan berat bagi kami di masa awal bermisi. Lima bulan sudah berlalu. Perlahan ada perkembangan. Puji Tuhan! Minimal lidah dan bibir kami mulai luwes ketika berbahasa Inggris. Beberapa peran dan tanggung jawab mulai kami pelajari. Semoga semua berjalan lancar. amin ya amin.
Kontributor: Sdr. Yornes Panggur, OFM
Tinggalkan Komentar