Saya teringat akan pembicaraan terakhir dengan Amo Cor, begitu Sdr. Kornelis Keyrans disapa di Timor Leste, beberapa bulan lalu. Entah nomor saya beliau dapatkan dari mana, tiba-tiba beliau menelpon sekitar pkl 20.00 wib. Karena nomor beliau belum saya save, sehingga yang tampak di layar handphone hanyalah sosok anonim. Meskipun awalnya enggan menanggapi, namun akhirnya panggilan itu saya terima. “Maaf, ini dengan siapa?” Pertanyaan saya tidak beliau jawab. Sambil tertawa dan tanpa banyak berbasa-basi beliau bertanya, “kapan kita misa perdana di Wekiar?” Dari suaranya saya langsung bisa menebak kalau itu Amo Cor. Spontan saya bertanya “Amo apa kabar dan di mana sekarang?”. “Sementara Amo sedang di Atambua dan Amo baik-baik saja”, imbuhnya. Menurut beliau, jika perbatasan Indonesia – Timor Leste dibuka maka ia hendak kembali ke Dili.
Alih-alih menanyakan kabar saya, beliau justru mengajukan pertanyaan yang sejatinya beliau sendiri tau jawabannya, “kau belajar apa saja di kampus?”. Seraya tertawa saya menjawab: “Pater, saya belajar Filsafat dan Teologi’, “oh ya, baik-baik”, sambung beliau. Setelah saya menceritakan soal dinamika panggilan dan juga studi yang sedang saya jalani, beliau menanggapinya dengan menantang saya untuk mempraktekkan ilmu teologi yang saya enyam di Fakultas Teologi Wedabhakti Yogyakarta dalam pastoral yang akan saya jalani kelak, terutama di wilayah Timor Leste. Bagi beliau jika hal itu gagal saya laksanakan, maka saya hanya “buang-buang” uang fundasi. Pesan yang singkat, menusuk, tapi sarat makna.
Mendengar pesan beliau ketika itu saya hanya tertawa dan menanggapinya dengan mohon dukungan doa darinya: “Pater doakan saya e…”. “Kau yang mendoakan saya. Saya sudah mendoakan kau sejak kamu masuk postulan” sambung beliau. “Obrigado Amo”, hanya itu yang bisa saya jawab. Selebihnya saya banyak bercanda dengan beliau. Beliau bercerita banyak tentang ikan-ikan usahanya di Wekiar, dan sambil berkelakar juga beliau mengatakan jika ikan-ikan itu hanya akan dipanen ketika saya kembali ke Timor Leste.
Pesan-pesan beliau ini mengingatkan saya akan sikap konsisten dan kesetiaan yang beliau hidupi dalam menjalani tugas pelayanannya. Beliau secara konsisten dan penuh kesetiaan menghidupi doa, kerja tangan, dan belajar. Ketika saya postulan, beliau berpesan kepada kami seangkatan, bahwa sumbangan terbesar seorang fransiskan bagi ordo pertama-tama bukan seberapa besar uang dimasukan ke kas komunitas, tetapi seberapa setia dan taat kamu kepada persaudaraan.
Selain itu, beliau juga mengingatkan jika berteori itu baik, tetapi itu saja belum cukup. Teori itu harus diwujudnyatakan dalam kehidupan sehari-sehari. Diwujudnyatakan dalam kesetiaan dan konsistensi ketika menjalani tugas pelayanan yang dipercayakan persaudaraan, serta setia dan konsisten dalam menghidupi panggilan sebagai seorang religius fransiskan melalui hidup doa, kerja tangan, dan belajar.
Bagi saya, Inilah warisan mulia yang Amo Cor wariskan, bukan semata-mata omongan kosong, melainkan sebuah kesaksian hidup yang nyata.
Amo Cor, selamat berbahagia bersama para kudus di surga. Kami yakin kemah abadi Amo Cor di surga sangat istimewa, sebab Amo telah membangun kemah abadi Amo di Surga selagi Amo masih berada bersama kami. Amo membangun kemah abadi melalui kesetiaan pada Kristus dan melalui cinta yang Amo tunjukkan kepada umat Allah, khususnya umat paroki Alas dan Wekiar. Selamat jalan Amo Cor.
Sdr. Abril dos Santos, OFM
Tinggalkan Komentar