Surat Minister General Ordo Saudara-saudara Dina pada kesempatan Hari Raya Natal 2019

Surat Minister General Ordo Saudara-saudara Dina
pada kesempatan Hari Raya Natal 2019, Kelahiran Tuhan kita Yesus Kristus:

MENJADI HAMBA-HAMBA TUHAN yang SEDERHANA
yang TELAH MERENDAHKAN DIRI DEMI SEMUA ORANG

Saudaraku terkasih, para sahabatku Ordo yang terkasih, semoga Tuhan memberi kalian damai!

Hari ini kita bergabung diri dengan segenap alam ciptaan menyanyikan madah pujian dan rasa syukur atas cinta dan belaskasih yang menakjubkan dari Tuhan, yang dicurahkan dalam Kristus Yesus! Kita peluk dan membuatnya milik kita sendiri pesan nabi Yesaya yang kita dengarkan dalam perayaan liturgi Natal pada pagi ini.

Hai, penjaga-penjagamu bangun dan berseru-seru, bersama-sama mereka berteriak kegirangan

Karena mereka melihat dengan mata kepala sendiri TUHAN sedang memperbaharui Sion.

Dalam naskah yang diambil dari Yesaya 52:8 ini, kembalinya bangsa Terjanji dari pembuangan Babilonia ke Kota Suci, diwartakan sebagai kenyataan yang segera tiba: sesuatu yang sungguh akan terjadi. Umat telah menantikannya dengan sungguh-sungguh. Mereka lelah terkuras karena telah harus hidup di luar rumah dan tanah air mereka, tanpa adanya kesempatan untuk menyebutnya sebagai milik mereka sendiri. Bahkan ketika mereka akhirnya diizinkan kembali ke tanah air mereka, sebagaimana dikenangkan dalam Yesaya III, mereka mendapatkan diri sekali lagi dalam kesulitan dan menderita kelelahan spiritual dan eksistensial yang mendalam. Dengan segera mereka mendapatkan bahwa mereka tidak dapat begitu saja hidup dalam “aroma” iman nenek moyang mereka, sebuah iman yang berakarkan pada percaya-diri mutlak pada Tuhan yang telah memanggil Abraham dan Sarah, Musa dan Miryam, supya pergi ke luar wilayah aman mereka dan untuk memeluk suatu visi yang baru dan sebuah tanah yang baru yang telah Tuhan janjikan kepada mereka. Umat yang sama ini lama kelamaan kelelahan karena pemimpin-pemimpin mereka yang mungkar dalam komunitas mereka sendiri – baik religius maupun politis – yang lebih memusatkan perhatian pada mengumpulkan kekuasaan dan kekayaan untuk diri mereka sendiri, keluarga dan teman-teman mereka, daripada menjalani hidup yang sungguh adil dan rohani. Mereka kelelahan karena tekanan-tekanan dari luar yang dibebankan pada mereka untuk menyesuaikan diri pada cara hidup keagamaan, budaya, filosofis dan etis zaman itu. Mereka kelelahan karena harus hidup dalam ketakutan: takut akan kehilangan itentitas religius dan budaya mereka; takut kehilangan harapan pada Allah, yang telah membebaskan nenek moyang mereka dari perbudakan ke tanah terjanji dan yang sekarang menawarkan kepada mereka kemungkinan untuk pulang ke rumah sendiri.

Dalam konteks pengasingan dan pelemahan ikatan iman dan persauaraan inilah kata-kata nabi Yesaya harus dimengerti. Kendati semua kegagalan mereka, tetap teguhlah tekad di antara umat suatu kerinduan yang mendalam akan sesuatu – atau lebih baik lagi seseorang – yang akan membawa kepada mereka suatu berita pengharapan, kembalinya Tuhan di tengah-tengah mereka, karena baru ketika Tuhan kembali ke Sionlah ketika Tuhan ditempatkan pada pusat perhatian insani dan spiritual, baru ketika itulah umat akan menemukan kembali jalan mereka ke arah identitas mereka yang sejati, rumah mereka yang sejati.

Apa yang benar pada umat Allah itu tetap benar pada hari ini: Tuhanlah yang ambi inisiatif proses restorasi/pemulihan ini, sebuah restorasi yang membimbing kita sepanjang jalan kesucian hidup, penghayatan hidup iman sehari-hari, dan juga ke suatu praktek keadilah dan kedamaian Tuhan. Tetapi bukan restorasi yang ada dalam pusat inti sari ceritera Natal? Bukankah kejadian Inkarnasi Yesus, kedatangan-Nya di antara kita sebagai “salah satu dari kita”, bahwa dia membagikan kepada kita visi baru perihal bagaimana kita bisa sekali lagi berjalan dalam cinta, ksih sayang, keadilan, kebenaran dan kedamaian Tuhan, pada pusat identitas kita sbg murid-murid Kristiani dan sebagai Saudara Dina? Saudara-saudaraku yang terkasih jawaban atas kedua pertanyaan itu hanya dapat ditemukan bila kita hidup dengan setiap pada panggilan yang telah dipanggilkan kepada kita dan untuk mana kita telah dipilih dan diutus.

Kita kembali sebentar ke kitab Yesaya II. Teks itu dengan jelas menyatakan bahwa dari medan peranglah akan diberitakan Tuhan telah jaya dan bahwa penderitaan umat akan selesai. Sekarang mereka dapat mempersiapkan diri secara rohaniah, moral dan psikologis untuk kembali ke ‘rumah’. Namun, dalam ceritera ini terdapat tekukan. Si Pewarta itu tidak lain kecuali Tuhan itu sendiri yang datang dalam kemenangan. Tuhan telah kembali! Dan medan perang itu merupakan suatu konfrontasi antara Tuhan dan semua sejarah umat manusia. Tuhan datang tidak hanya untuk membebaskan dan menebus Yerusalem; Tuhan datang untuk membebaskan dan menebus semua bangsa dan sejarah mereka semua: yang usdah lewat, yang sedang berlangsung sekarang dan yang akan terjadi. Pesan Nabi itu membuka tawaran Tuhan akan keselamatan bagi semua bangsa di mana pun mereka berada, kepada setiap orang dari kita zaman ini, yang telah dimeteraikan dengan darah Anak Domba. Tidak lagi terbatas hanya pada mereka yang dianggap menjadi bagian dari “Perjanjian” yang asli, original. Ini sungguh mmerupakan deklarasi memalukan, bidaah, karena mengakui bahwa Tuhan juga dapat berkarya bahkan di luar parameter “umat pilihan”, suatu doktrin yang telah ditetapkan dan disucikan dengan ritus keagamaan. Tuhan bahkan bisa bekerja di dalam budaya-budaya yang belum disucikan, yang masih berada “dalam jalan menuju ke kesucian”, yang hanya dengan pelahan-pelahan maju melalui suatu proses inkulturasi dan pemurnian. Bahkan Tuhan dapat bekerja bersama dengan orang-orang yang mempunyai pengalaman akan Tuhan, bangsa yang berkeyakinan dan melaksanakan upacara-upacara penyembahan yang sedikit saja dimengerti oleh mereka yang berada di luar budaya dan tradisi mereka, tetapi yang merupakan tindakan penyembahan dan ibadat yang tulen, perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada suatu doa pemujaan pada Satu Tuhan Pencipta alam semesta. Jadi, kemenangan itu adalah kemenangan yang dideklarasikan dalam medan perang sejarah, bukanlah suatu kemenangan atas raja ini atau itu, negara ini atau itu, ideologi keagamaan atau politik ini atau itu, budaya atau ras atau bangsa ini atau itu. Kemenangan yang diwartakan oleh Yesasa adalah kemenangan Tuhan itu sendiri. Tuhan sedang menarik semua orang mengarah kepada Tuhan itu sendiri, yang diungkapkan melalui berbagai bentuk, karena tak ada satu ungkapan pun mampu memuat apa itu Tuhan dan semua yang Tuhan maksudkan bagi dunia ini.

Betapa indahnya bergaung di atas perbukitan, kaki dari dia yang membawa berita gembira,

Mewartakan kedamaian, memberitakan berita yang baik, mengumummkan penebusan dan berkata kepada Sion,

“Tuhanmu adalah Raja!”

Saudara-saudara dan para Sahabatku, hal itu membawa kepada kita kepada inti sari ceritera Natal yang kita rayakan hari ini. Satu peristiwa Inkarnasi saja, bahwa Tuhan mengambil alih bentuk manusia, melepaskan Dirinya supaya bisa masuk ke dalam kondisi manusiawi kita, itu merupakan kesaksian akan cinta dan rahmat penebusan Tuhan, komitmen Tuhan untuk masuk ke dalam dan menebus semua semua orang tanpa pengecualian, tanpa adanya orang yang tersingkirkan. Kedamaian, berita baik dan penebusan yang dibicarakan oleh Nabi Yesaya, adalah suatu deklarasi bahwa Tuhan meraja atas semua orang yang berusaha memecah belah dan membinasakan kita dan lingkungan alamaiah kita. Kemenangan ini tidaklah didasarkan pada suatu kekuatan dan kekuasaan ideologis, sebagaimana dihadapi dunia sekarang ini. Melainkan, itu adalah kemenangan yang dialaskan pada cinta dan kasih Tuhan yang tanpa syarat, yang tidak ada paralelnya dalam sejarah umat manusia atau dalam tatanan alami. Cinta dan kasih yang tanpa syarat ini diungkapkan tidak hanya melalui kuasa dan hak, tetapi melalui apa yang oleh Paus Fransiskus disebut “kerendahan hati yang dikenakan Tuhan sampai ke titik ujung terjauhnya” (Homili Natal 2014). Paus Fransiskus pun melanjutkan:

Itu adalah cinta yang dengannya, pada malam itu, dia menanggung kelemahan kita, penderitaan kita, kecemasan kita, hasrat kita dan keterbatasan kita. Pesan yang diharapkan oleh setiap orang, yang dicari semua orang di lubuk hati mereka, tak lain adalah kelembutan Tuhan: Tuhan yang memandang kita dengan mata penuh cinta, yang menerima kemiskinan kita, Tuhan yang mencintai kekecilan kita.

Inkarnasi pada dasarnya adalah peristiwa relasional. Tuhan memilih untuk masuk ke dalam persekutuan yang lebih dalam dengan kita sehingga kita, seperti orang-orang di zaman Yesaya, dapat mengenali anugerah dan kebesaran yang menyelamatkan di mana kita telah diciptakan dan yang dengannya kita dipanggil sebagai anak-anak terkasih dari Allah Tritunggal. Menyadari kebenaran yang ingin dibagikan Allah dengan semua manusia dan ciptaan, kita pada gilirannya menjadi hamba Tuhan yang rendah hati yang merendahkan Diri demi semua yang telah diciptakan Allah. Tetapi bukankah ini juga merupakan inti dari pesan Dewan Pleno Ordo 2018? Apakah ini juga bukan lintasan Ordo ketika kita mulai melihat ke Kapitel Umum 2021?

Kerendahan hati; kekecilan; kemiskinan; kelembutan; cinta; penerimaan. Kata-kata ini membantu kita untuk lebih memahami sifat dari perayaan Natal ini, dan bagaimana kita harus hidup dan bersaksi atas peristiwa Inkarnasi Yesus Kristus yang luar biasa dalam kehidupan kita saat ini. Kita hanya perlu mengingat peran kata-kata yang sama ini, atau lebih baik lagi, sifat-sifat pemuridan Kristen dan kehidupan dan misi Fransiskan yang terwujud dalam kehidupan Santo Fransiskus dari Assisi. Dia semakin menemukan dalam hidupnya, dalam kehidupan saudara-saudaranya, dalam kehidupan mereka yang miskin secara materi dan secara sosial tersingkir, dalam kehidupan Sultan al-Malik al-Kamil dan yang lainnya yang tidak memeluk agama Kristen, dan dalam semua ciptaan, kekuatan transformatif itu tidaklah terkandung dalam ‘kebesaran’ Tuhan, melainkan pada ‘kekecilan’ Tuhan. Fransiskus merasakan dalam kecilnya dan kemiskinan palungan cinta yang begitu kuat dan mendalam sehingga mampu meluluhkan hati yang keras dan menghancurkan semua penghalang yang memisahkan orang satu dari yang lain secara geografis, budaya, sosial, agama, dan lainnya. Dengan rahmat Inkarnasilah jalur baru untuk pertemuan, dialog, penemuan, pengampunan, dan persaudaraan manusia diciptakan dan dipertahankan. Hanya mereka yang mendalami logika cinta ‘Inkarnasional’ Tuhan yang akan mampu menjangkau mereka yang tidak diperhitungkan dan disingkirkan: migran dan pengungsi; mereka yang mengakui ide dan praktik keagamaan lainnya; mereka yang kita dengar sebagai ‘musuh’ kita padahal, dalam logika Inkarnasi Tuhan, mereka adalah saudara dan saudari kita; ciptaan yang terluka, kelelahan dan di bawah ancaman dari eksploitasi yang tidak terkendali dan tidak bermoral.

Saat kita merayakan cinta dan rahmat Tuhan yang tak terduga yang masuk ke dalam sejarah manusia dengan cara yang unik dan kuat melalui Inkarnasi Yesus, mari kita sambut undangan Tuhan bagi kita untuk menjadi hadirat dari tawaran shalom, perdamaian, ke semua orang di sekitar kita. Mari kita berkomitmen pada pilar-pilar yang menopang pembangunan kedamaian ini: kebenaran, keadilan, cinta, kebebasan, dan pengampunan (lih. Yoh XXIII, Pacem in Terris; Yoh Paulus II). Semoga karunia damai yang sama ini, yang diwujudkan sepenuhnya dalam karunia Allah yang besar kepada dunia, Yesus, Putra Allah yang terkasih, mengisi hati kita dengan sukacita. Semoga hal ini memberi arah bagi persaudaraan kita. Dan semoga itu membantu membentuk substansi dan bentuk dari misi kita yang sejati sebagai rekan murid, bersama dengan semua orang Kristani, melakukan perjalanan bersama dengan Yesus, dengan semua umat manusia, dan dengan alam semesta yang diciptakan pada jalan menuju kerajaan Allah.

Natal yang penuh berkah dan damai bagi Anda semua!

 

Roma, 12 Desember 2019
Pesata Bunda Maria dari Guadalupe

Br. Michael A. Perry, OFM
Minister General dan Hamba

(teks asli dalam Bahasa Inggris dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia oleh Sdr. Alfons Suhardi OFM)

Sumber: https://ofm.org/blog/christmas-letter-minister-general-2019/