Pada Rabu, 12 September 2012, para Fransiskan Imam yang melayani paroki di Keuskupan Agung Jakarta dan Keuskupan Bogor, berkumpul di Pastoran Hati Kudus, Kramat, Jakarta. Saya renteng saja, para saudara termaksud adalah Aegidius Ngarut, Nicholaus Dhartasuratna, Saturninus nDaus, Tauchen Hotlan Girsang, Stanislaus Suharyanto, Urbanus K. Ratu, Suprobo, Alfons S. Suhardi, Agung Suryanto, dan Anton Sahat Manurung. Ada dua Fransiskan Imam absen, yakni Yosef Paleba Tolok (Pastor Kepala Paroki St. Paskalis) dengan alasan mendampingi kelompok ziarah ke “Tanah Suci”, dan Yohanes Kristo Tara (Pastor Rekan Paroki St. Paskalis) dengan alasan bepergian ke Novisiat “Transitus”, Depok.
Acara ini khusus dan istimewa, bukan karena mengundang Sdr. Eddy Kristiyanto OFM sebagai narasumber utama, melainkan karena materi yang dipresentasikannya. Mengingat kekhususan dan keistimewaan tersebut, maka kendati acara itu sudah berlangsung sekitar dua minggu yang silam TIDAK BASI. Itulah sebabnya, reportase ini dijuduli TIDAK BASI.
BENGKEL
Sudah lama diagendakan dan disosialisasikan bahwa pada tanggal-tanggal tertentu para Fransiskan Imam Pelayan Paroki (selanjutnya disingkat: FIPP) beracara bersama. Dalam acara itu beberapa mata acara disepakati untuk dikuliti. Kali ini, mereka telah menyepakati untuk berbagi soal sekitar homilitika. Rumusan permasalahannya dapat diutarakan sebagai berikut: “Bagaimana cara kita memperbaiki khotbah atau homili dalam Ekaristi yang kita pimpin?”
Pokok yang dibicarakan bersama ini samasekali tidak ada yang baru. Dulu, ketika masih dalam tahap formasio inisial semua Frater Calon Imam pernah mempelajari pokok ini dalam matakuliah Homilitika. Maka, pertemuan di Hati Kudus (Kramat) ini boleh dibilang sebagai bentuk on going formation. Sah-sah saja, jika orang beranggapan bahwa para FIPP tidak lagi menyentuh, apalagi membaca buku – buku teori homilitika. Seakan-akan praktik berkhotbah itu sendiri merupakan bentuk pendalaman khazanah berkhotbah.
Memang, dengan praktik berkhotbah dalam pelbagai kesempatan, kita sendiri semakin mahir berkhotbah. Bukankah ada ungkapan yang mengatakan “Allah bisa karena biasa”? Penegasan itu ada benarnya, tetapi tidak seluruhnya benar dalam praksis di lapangan. Mengapa? Karena tidak jarang terjadi orang berkhotbah dengan “common sense“, “daur ulang”, “kata-kata standar”, “kurang berwibawa, karena hanya menyampaikan nasihat-nasihat saleh.”
Bahkan ada Fransiskan Iman yang mengatakan, “Apa pun Injilnya, saya bisa berkhotbah”. Karena ternyata, Si Pengkhotbah itu “manggung” tanpa persiapan mencukupi. Beliau baru mendengarkan apa isi bacaan pada saat lektor membacanya. Sementara itu, kreativitasnya dipicu saat dia duduk sambil mencari-cari gagasan yang ditimba dari buku pesan misa. Deskripsi ini tentu memperlihatkan “kemelaratan” Sang Pengkhotbah. Agar “kemelaratan” itu tidak menjadi virus yang mematikan roh pewartaan, maka siapa pun perlu menjaga diri. Pencerahan di Pastoran Hati Kudus tersebut merupakan salah satu langkah kecil dan nyata untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada umat. Boleh diibaratkan, pertemuan para FIPP ini seperti usaha bersama memperbaiki diri di bengkel. Diharapkan perangkat dan piranti motor pewartaan kita menjadi “joss” dan membantu penghayatan iman umat.
DENGAN KATA dan PERBUATAN
Materi yang saya presentasikan tidak “jauh-jauh amat” dari buku kecil yang pernah saya tulis: “THE ART OF PREACHING. KIAT SUKSES PEWARTAAN SABDA” (Penerbit OBOR 2006). Buku mungil ini merupakan endapan pengajaran saya di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Satu hal baru yang saya tambahkan dalam pertemuan para FIPP tersebut adalah dimensi kefransiskanan. Dalam sejarah Fransiskan kita mendapati sejumlah Fransiskan yang terbilang dalam kelompok pengkhotbah yang handal. Sebut saja nama-nama besar seperti Antonius Padua, Bernardinus Siena, Yohanes Capistrano! Dari teks-teks khotbah populer mereka, beberapa karekter yang kita temukan adalah fokus pada pokok tertentu. Khotbah bukanlah sebuah Toko Serba Ada (toserba). Dikatakan “toserba” karena Pengkhotbah mencoba memasukkan segala-galanya di dalam khotbahnya.
Selain itu, gaya bicara, terminologi, kosa kata (jargon) yang mereka gunakan sederhana. Tidak berbelit-belit. Kalimatnya juga tidak beranak-pinak. Kerangka khotbahnya juga sangat terang, gamblang, perwaca. Ini semua sangat memudahkan pendengarnya untuk memahaminya dan menarik pesan yang dibawakannya. Tidak dilupakan ajaran dan tekanan pada kristologi tertentu, yang membawa pada sikap pertobatan. Sikap ini tentu sangat injili. Satu hal yang tidak kurang mengesankan adalah perpaduan antara kata dan perbuatan. Gaya inilah yang diwariskan oleh Tuhan Yesus dan Bapa Fransiskus Assisi.
Kata menerangkan perbuatan, dan pada gilirannya perbuatan meneguhkan kata-kata. Inilah yang dikerjakan oleh Guru Kehidupan dari Nazaret, Penyelamat kita. Sedangkan, Fransiskus Assisi sendiri menyatakan bahwa setiap saudara dapat berkhotbah dengan kata-kata, dan terutama dengan perbuatan atau teladan hidup.
ENTUSIASME
Para FIPP berbagi pengalaman dan pandangan setelah presentasi materi. Semua menyadari arti pentingnya pewartaan sabda, dan terutama khotbah (homili) dalam konteks perayaan Ekaristi. Arti-penting dan posisinya tidak tergantikan! Dari cara para FIPP mengungkapkan pandangan dan pengalaman mereka menjadi jelas bagi saya, bahwa tengah hidup entusiasme.
Entusiasme itu mengalir dari karisma sekaligus panggilan untuk melayani (terutama dalam bidang pewartaan Sabda) secara lebih baik. Di sejumlah paroki ada praksis persiapan khotbah bersama-sama. Praksis ini masih dapat ditingkatkan dengan bertumpu pada persiapan yang lebih mantap, dengan bacaan-bacaan dari buku tafsir yang handal. Tentu, tak ada yang puas jika persiapan khotbah dilakukan dengan membaca buku setingkat INSPIRASI HIDUP, atau ZIARAH BATIN.
Akhirnya, dari umpan balik yang saya dapatkan dari umat yang memperoleh “pelayanan Sabda”, mereka menyatakan sesuatu yang menarik. Umumnya, isi khotbah para FIPP bagus, benar, masuk akal, teologis, tetapi penyajian dan pengemasannya kurang “magis”, tidak menarik. Kiranya hal ini menegaskan perlunya para FIPP menekuni “marketing”, “ilmu menjual barang”. Tak pernah cukup kita sibuk dengan substansi, tetapi menyepelekan cara, dengan mana isi itu sampai kepada umat, mempengaruhinya serta berdaya guna.
kontributor : Sdr. A. Eddy Kristiyanto, OFM