Pada 11 Oktober 2012 diperingati Setengah Abad Dibukanya Konsili Vatikan Kedua. Konsili atau Muktamar yang diprakarsai oleh Bapa Suci Yohanes XXIII dimaksudkan untuk membarui (lembaga) Gereja Katolik. Peringatan 50 tahun diawalinya Konsili ini juga ditandai dengan dimulainya Tahun Iman. Sementara itu, saat ini sedang berlangsung Sinode Luar Biasa para Uskup (di Roma) yang mengulas evangelisasi baru.
GENDUT DAN TUA
Prakarsa pembaruan Yohanes XXIII bukannya tanpa resistensi dari pihak Kuria Roma. Dengan Kuria Roma dimaksudkan semacam departemen-departemen (kementerian) yang membantu Bapa Suci dalam rangka melaksanakan kepemimpinan dalam lembaga Gereja.
Resistensi itu sesungguhnya mengungkapkan sikap sebagian terbesar anggota Kuria yang menghendaki keadaan sebagaimana adanya (statusquo). Tanpa pembaruan dan perubahan. Sikap itu bisa jadi dilatarbelakangi oleh kekhawatiran akan terjadinya kekacauan pada saat dan sesuadah konsili; suatu kekacauan yang dibayangkan sangat sulit dibenahi atau ditertibkan kembali.
Umumnya, anggota Kuria terbilang dalam kelompok konservatif, yang merasa cukup puas dengan keadaan Gereja, serta menciptakan manuver-manuver yang menghalangi ikhtiar pembaruan dalam Gereja. Boleh diperkirakan, bahwasanya urusan Gereja tidak selalu bercorak religius dan saleh serta devosional saja, tetapi juga politik, pengaruh, kekuasaan.
Betapa berbeda dengan pandangan Bapa Suci Yohanes XXIII, yang berpenampilan gemuk (gendut). Beliau menduduki takhta Santo Petrus pada usia tua, 77 tahun. Dalam perhitungan yang wajar-manusiawi, beliau tidak akan lama memimpin Gereja mengingat usia senja beliau. Ternyata, perhitungan dan harapan itu ditunggangbalikkan oleh Roh Kudus. Justru, Bapa Suci ini melakukan kejutan-kejutan segar yang sangat besar dampaknya bagi seluruh Gereja.
Kendati pelbagai resistensi dari para penasihat dan Kuria Roma, kehendak untuk memanggil sebuah konsili tidak melemah. Inilah saat yang tepat untuk melakukan aggiornamento, pembaruan konkret mengenai bagaimana pesan-pesan Injil, ajaran dan tradisi Gereja dapat dipahami oleh masyarakat saat ini. Rupanya selama ini ada jurang tak terjembatani antara pewartaan dan aktivitas (lembaga) Gereja di satu pihak, dengan masyarakat (warga) dan dunia di lain pihak.
Kepedulian utama muktamar ini terdapat pada bidang pastoral. Untuk itu gaya bicaranya pun sangat berbeda dengan konsili-konsili sebelumnya. Sebagai lembaga yang hendak mengindahkan prinsip kegembalaan, konsili memilih kata-kata yang egalitarian seperti: kolaborasi, kolegialitas, umat Allah, peziarah, saudara-saudari dalam iman, dialog, dan lain sebagainya.
Dengan demikian semangat dan gairah untuk mengecam dan mengutuk, bahkan “memandang rendah atau sesat” dengan rumusan-rumusan anatema sit (terkutuklah ia) sebagaimana terjadi dalam Konsili Trento (1545-1563) sama sekali tidak kita temukan dalam Vatikan II.
VATIKAN II DI KWI
Pada 11 Oktober 2012, Konferensi Waligereja Indonesia, memperingati 50 tahun pembukaan Konsili Vatikan II. Pengingatan ini diselenggarakan dengan serangkaian kegiatan, yakni misa agung yang dipimpin oleh Mgr. J. Pujasumarta (Semarang), Mgr. Jos Suwatan (Manado), Mgr. Agustinus Agus (Sintang), Mgr. J. Sunarko (Purwokerto), Mgr. Hilaius M. Nurak (Pangkalpinang).
Setelah perayaan Ekaristi, yang menandai pula dimulainya secara serentak di seluruh Gereja Semesta, dan rehat sejenak, acara dilanjutkan dengan seminar “setengah hari”. Seminar ini menurunkan Dr. T. Krispurwana Cahyadi SJ (sebagai moderator), Dr. Martin Chen (imam diosesan Ruteng, tamatan Universitas Munchen, Jerman), Dr. Wim van der Weiden MSF (pensiunan dosen Kitab Suci di FTW Wedha Bakti, Kentungan, Jogjakarta), dan saya.
Krispurwana Cahyadi dipilih setelah Adrianus Sunarko OFM menyatakan tidak dapat berperan sebagai moderator karena ada tugas di luar Jawa. Martin Chen dipilih mengingat Paul Budi Kleden SVD yang diincar untuk menjadi narasumber, pada Juli 2012 lalu terpilih sebagai anggota Dewan Jendral SVD dan harus berkedudukan di Roma. Pilihan pada Wim van der Weiden dijatuhkan setelah kondisi fisik Jan van Paassen MSC tidak memungkinkan untuk dihadirkan.
Pada prinsipnya, baik Weiden MSF maupun Paassen MSC menjadi saksi hidup atas Konsili Vatikan II. Sedangkan, saya dipilih berdasarkan studi Sejarah Gereja. Studi ini mengesankan tidak diminati. Saat ini di Indonesia hanya ada dua orang (Fransiskan dan Jesuit) yang menamatkan studi strata tiga (S3) Sejarah Gereja. Hanya tiga (Salib Suci, Capusin, Verbiti) yang menyelesaikan strata dua (S2). Makanya, “makhluk Sejarah Gereja” ini termasuk langka.
Wim – panggilan untuk van der Weiden MSF – mempresentasikan gagasan seputar persiapan, pelaksanaan, dan akhir Konsili Vatikan II. Beliau sendiri “mendapat pengangkatan sebagai ahli resmi atas permintaan para Uskup Indonesia pada sidang yang keempat”. Wim saat itu sudah S2 teologi dari Gregoriana dan S2 Ilmu Kitab Suci dari Biblikum.
Saya mengedepankan kajian historis tentang pelaksanaan Konsili. Data interesan saya kemukakan, misalnya tentang biaya, peserta, Konsiliaris pertama yang datang dan meninggal, etc.). Konsili saya evaluasi. Diutarakan pula metode penafsiran dokumenter Konsili (hermeneutics of the authors; panegyric, hermeneutics of receivers), serta visualisasi tentang kedudukan dokumen-dokumen Konsili, yang berintikan pada PANGGILAN UNTUK MEWUJUDKAN KESUCIAN.
Martin Chen mendapat bagian untuk mengupas “Eklesiologi Communio Konsili Vatikan II”. Presentasinya lengkap, 16 halaman. Spasi satu. Chen tidak melewatkan pembicaraan tentang Communio ini jika ditempatkan dalam konteks Indonesia, misalnya: mengembangkan communio yang inklusif, dibangun atas dasar kemajemukan suku – budaya, perjuangan hak asasi kaum lemah dan miskin (karena konteks kemiskinan di Indonesia), dan keterlibatan kaum awam yang luar biasa dalam kehidupan menjemaat.
Setelah masing-masing narasumber menyampaikan gagasan, kesempatan diberikan untuk tanya jawab dan tanggapan. Ini sesi yang tidak kurang menarik. Banyak pertanyaan dan tanggapan yang diracik dengan apik serta variatif. Tidak ada pertanyaan yang tidak dapat diuraikan oleh para narasumber. Ada permohonan tanggapan, “Mohon tanggapan para narasumber, jika dalam Ibadat resmi Gereja (litani para kudus), kita menambahkan: Gus Dur – sebutan untuk Kyai Haji Abdurrachman Wahid, alm. – ora pro nobis.”
Diangkat pula persoalan kerasulan kaum awam, yang kadang-kadang tidak dimengerti oleh petugas pastoral, terutama oleh Pastor Paroki. Ada saja yang menganggap anggota asosiasi advokat yang sangat aktif di perkumpulan itu, dianggap tidak baik oleh pastor paroki karena acapkali tidak aktif di paroki, tidak ikut kegiatan devosional, dan lain sebagainya.
Rasa-rasanya, spirit aggiornamento masih perlu dihidupkan terus-menerus tanpa kendur sedikit pun. Para petugas pastoral perlu updating, kursus penyegaran (sebagai bentuk ongoing formation), para formator perlu lebih kreatif lagi memperkenalkan dan mendalami dokumen Konsili, dan kepada kaum awam disediakan teks-teks Konsili yang lebih komunikatif dan mudah dimengerti.
Untuk hal yang terakhir ini, Komisi Teologi KWI dalam November 2012 ini akan menerbitkan Kompendium Konsili Vatikan II versi Indonesia. Penyusunan karya ini tidak mudah. Karena sudah terlalu lama para penulisnya tidak menulis dengan cara sederhana, dan untuk kalangan sederhana. Mungkin juga, karena para penulisnya sudah tidak hidup sederhana lagi. ****
Kontributor: A. Eddy Kristiyanto, OFM
setuju dengan aggiornamento / pembaruan ini. namun menurut saya hakekat pembaruan adalah: menghidupkan lagi semangat yang (hampir) redup. Jadi dengan KV II semangat, intisari katolisitas diperbarui (bukan ditambahkan yang baru). Maka jika ada usulan penambahan Gus Dur dalam litani para kudus…hmmm itu kebablasan – kecuali Gereja Katolik menetapkan beliau sebagai orang kudus dalam Gereja Katolik.
Konon di Jogja pernah didoakan “……… Santo Dewanto, …….. Doakanlah kami”. Ini diimbuhkan pada litani para kudus saat upacaya tahbisan imam. Dewanto adalah imam muda Jesuit yang menjadi korban pembunuhan di Dili, TimTim, setelah jajak pendapat. Oleh orang- orang dari kalangan tertentu, Rm Dewanto dianggap sebgai “martir”. Tetapi apakah demikian juga anggapan Gereja Setempat?
Waww, tepat dengan tanggal lahir saya ini :))