Belas Kasih sebagai Tuntutan Injil: Belajar dari St. Fransiskus Assisi

Komunitas Fransiskan Biara St. Bonaventura Jogja menyelenggarakan kegiatan Hari Gardianat (Jumat, 26/11/2021). Kegiatan bulanan tersebut kali ini dipimpin oleh Sdr. Rikardus Selan OFM. Adapun tema yang diangkat pada pertemuan tersebut adalah “Belas Kasih sebagai Tuntunan Injil: Belajar dari St. Fransiskus Assisi”. Kegiatan ini dimulai pada pukul 16.00 wib, bertempat di aula Biara St. Bonaventura.

Pada poin pertama, Sdr. Rikard OFM memaparkan tentang belaskasih menurut ensiklik Paus Fransiskus, Fraterli Tutti. Dalam ensiklik tersebut, Paus Fransiskus bertolak dari kisah Injil tentang perumpamaan “Orang Samaria yang Baik Hati” (bdk. Lukas 10: 25-37). Dalam perumpamaan tersebut, dikisahkan ada seorang yang baru saja dirampok dan dipukuli. Kemudian, lewatlah seorang imam Lewi, namun ia tidak menolong orang tersebut. Setelah itu, munculah orang Samaria yang kemudian menolong orang tersebut.

Saudara Rikard kemudian mengajak semua peserta untuk merefleksikan sejauh mana para saudara telah berbelas kasih terhadap sesamanya. “Apakah kita sudah seperti orang Samaria yang berbelas kasih tanpa syarat, ataukah kita masih seperti imam Lewi tersebut?”, ungkap Sdr. Rikard dalam refleksi yang diberikannnya.

Melalui refleksi tersebut, Sdr. Rikard hendak mengajak kita untuk berbelas kasih seperti orang Samaria yang baik hati itu. Ia merujuk pada ensiklik Fraterli Tutti yang dikeluarkan Paus Fransiskus. Dalam ensiklik tersebut, Paus menegaskan bahwa manusia harus berbelaskasih tanpa syarat kepada semua orang.

Pandangan St. Fransiskus tentang Belas Kasih

Melalui hidupnya, St. Fransiskus menyadarkan kita tentang pentingnya belas kasih. Santo Fransiskus sungguh menyadari bahwa hidupnya adalah pemberian belas kasih ilahi. Pengalaman belas kasih itu, sungguh dialami oleh St. Fransiskus tatkala menyadari kedinaan dan keberdosaannya di hadapan Tuhan. Setelah menyadari bahwa Allah itu penuh kerahiman dan belas kasih terhadap dosa-dosanya, lahirlah jiwa kemanusiaan yang berbelaskasih dalam diri St. Fransiskus (bdk. 1Cel 26; AngTBul XXIII, 8).

Santo Fransiskus sendiri memandang kasih sebagai sesuatu yang tidak melihat perbedaan tentang apa, bagaimana, dan siapa yang kita kasihi. Kasih itu tidak mengenal batasan. Santo Fransiskus juga membangun persaudaraan yang dijiwai oleh sikap belas kasih tanpa syarat. Hal ini tampak pula dalam sikap St. Fransiskus yang menerima semua orang sebagai saudara dan saudari.

Membangun Persaudaraan yang Dijiwai Belas Kasih

Bertolak dari pandangan St. Fransiskus dan Ensiklik Fraterli Tutti tersebut, sebagai seorang Fransiskan, kita diajak untuk membangun persaudaraan yang dijiwai belas kasih. Belas kasih pertama-tama diwujudkan dan dibangun dari dalam persaudaraan itu sendiri. Santo Fransiskus menyadari serta membangun persaudaraannya dengan seemangat belas kasih.

Menjadi seorang Fransiskan yang berbelas kasih, pertama-tama kita diajak untuk menghormati dan menerima kehidupan orang lain apa adanya. Tuntunan untuk hidup berbelas kasih merupakan unsur utama dalam membangun hidup persaudaraan dalam komunitas religius. Selain  itu, sikpa belas kasih juga menuntut adanya pengorbanan dan kerendahan hati, serta kesediaan untuk menolong dengan ramah dan tulus.

Dalam mewujudkan persaudaraan yang dijiwai oleh belas kasih, kita perlu menhindari hal-hal yang merusak persaudaraan itu sendiri. Hal-hal yang merusak persaudaraan itu adalah permusuhan, pertengkaran, kemewahan, kebencian, saling memarahi, menggosip, saling mencela satu sama lain, dan sikap gusar terhadap dosa dan kesalahan yang dilakukan oleh sesama saudara dan saudari kita.

Dalam kesempatan tersebut, seorang saudara muda melontarkan pertanyaan tentang bagaimana menyikapi kemarahan dalam persaudaraan. Misalnya, dalam hal menegur seorang saudara yang berbuat salah. Pertanyaan ini kemudian ditanggapai dengan sharing pengalaman sesama saudara, di antaranya dari Sdr. Vitalis dan Sdr. Wolf.

Berdasarkan sharing dari kedua saudara tersebut, ditarik suatu benang merah bahwa kemarahan itu perlu untuk mengingatkan sesama saudara, sejauh itu membangun dan menolong para saudara untuk berkembang menjadi lebih baik. Selain itu, kemarahan perlu untuk membangun persaudaraan sejauh itu tidak mengandung unsur menjatuhkan sesama saudara, dan unsur dendam di dalamnya.

Acara Hari Gardianat kemudian dilanjutkan dengan ofisi, perayaan ekaristi, santap malam dan ditutup dengan rekreasi bersama. Itulah sekelumit sharing pengalaman tentang acara hari Gardianat Greccio, Yogykarata kali ini. Pace e bene.   

Sdr. Ray M. Sinaga (Postulan Yogyakarta).

Tinggalkan Komentar