Rekoleksi bersama bertema “Arti Kekristenan dalam Fransiskanisme.” Sdr. Ferry Suharto, OFM selaku penyaji materi menekankan ciri khas kekristenan dalam memandang Allah. Bahwasannya tidak seperti dalam agama–agama lain yang semata-mata memandang Allah yang transendens tetapi kristianisme juga memandang Allah sebagai yang imanen. Allah diyakini hadir dalam realitas manusia. Immanuel, Allah yang hadir di tengah-tengah umat manusia.
Tetapi ditegaskannya bahwa panggilan kita pertama-tama bukanlah untuk menjadi Kristen. Kristen adalah predikat yang terberikan. Sebutan yang dialamatkan oleh orang-orang non Kristen untuk menyebut para pengikut Kristus. Panggilan kita yang utama adalah menjadi Gereja. Kristus tidak memanggil kita menjadi Kristen. Ia memanggil kita untuk membangun Gereja! Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus. Dengan demikian menjadi kristen seharusnya dan pertama-tama adalah pilihan untuk menjadi gereja, tubuh mistik Kristus. Sebuah pilihan untuk senantiasa menjalin reasi personal dengan-Nya.
Kekristenan dan Fransiskanisme
Fransiskanisme tidak menambah sesuatu yang sama sekali baru pada kekristenan. Gerakan yang dimulai oleh Fransiskus Asisi ini sebetulnya sebuah cara menghayati Kekristenan secara baru yang pada saat itu kurang nampak dalam gereja. Ia menggali, menemukan dan menghayati sedapat-dapatnya kekayaan-kekayaan spiritual gereja yang tenggelam dan luput dari perhatian gereja dan kurang dihayati dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian Fransiskanisme menjadi cara tertentu dalam menghayati Kekristenan. Dan kesempurnaan Fransiskan sebetulnya adalah juga kesempurnaan Kristen. Menjadi fransiskan tulen serentak menjadi kristen tulen. Kefransiskanan dengan demikian menjadikan orang semakin kristiani.
Kekristenan telah menjadi rahim bagi lahirnya Fransiskanisme. Fransiskanisme tidak bisa melepaskan diri dari rahim yang melahirkannya. Akan tetapi, sesuatu yang selalu manantang adalah bagaimana para Fransiskan menata diri untuk melibatkan diri dalam ordo, gereja, dan dunia secara kontekstual?
Menjadi Tanda-tanda Fajar
Fransiskus menghayati kekristenan secara baru dengan bertitik tolak pada sabda perutusan salib San Damiano, “Francis, Go and Repair My Church!”. Kehadirannya menjadi berita gembira bak fajar yang meluapkan warta suka cita bagi kita setelah melewati kepekatan malam. Para saudara muda pun dipanggil untuk menjadi tanda-tanda fajar bagi dunia. Menjadi tanda yang memberi kehidupan dan suka cita bagi dunia. Bagaimana hal ini bisa dilakukan?
Pertama, harus ada kehausan untuk mencari. Kualitas yang meski ada pada jiwa muda adalah keinginan mencari hal-hal baru sesuai trend zaman. Dalam konteks itulah kita mengeksprseikan semangat kefransiskanan kita. “ Jika saudara berhenti mencari hal-hal baru, saudara bukan muda lagi!” tegas Sdr. Fery. Kedua, daya juang serta radikalisme. Orang muda meski memiliki daya juang serta radikalitas dalam menjalankan visi dan misi bersama sebagai satu persaudaraan. Ketiga, kreativitas dan kejelian menemukan celah-celah baru dalam melayani dunia. Dunia (baca gereja) membutuhkan pribadi yang kreatif, yang mampu memanfaatkan berbagai sarana dalam mewujudkan visi misi cinta kasih persaudaraan. Keempat, semangat yang berkobar dan mudah terpicu. Semangat yang pantang menyerah juga menjadi kualitas yang meski mengisi jiwa muda. Di samping itu, kepekaan dan tanggap dalam bertindak juga menjadi keutamaan yang meski dibangun terus-menerus.
Di atas semua itu, yang juga perlu diperhatikan adalah; clarity (kejernihan), audacity (keberanian/motivasi), ketekunan dan keteguhan. Kejernihan dibutuhkan ketika harus membedakan berbagai tawaran untuk menentukan pilihan yang tidak sesat. Kejernihan dibutuhkan untuk menemukan nilai-nilai yang berguna. Keberanian dan motivasi yang teguh juga semestinya menjadi kekuatan yang menopang konsistensi dalam pengejawantahan visi dan misi persaudaraan.
Menjadi tanda-tanda fajar tidak lepas dari upaya untuk selalu menemukan wajah Allah dan menjadi tanda kehadiran Allah dalam realitas dunia. Di sinilah letak ciri kefransiskanan sebagai perantau yang sejati. Pengembara yang menjeajahi dunia dalam penziarahan menemukan wajah Allah-yang tersamar dalam diri mereka yang terpinggirkan, menderita, dan menjadi korban persaingan tidak sehat-sekaligus menjadi saksi kebaikan Allah di tengah dunia.
Menjadi tanda-tanda fajar berarti panggilan untuk menjadi gereja, tubuh mistik Kristus yang menjadi tanda kehadiran Allah di dunia. Menjadi gereja berarti masuk dalam sebuah persekutuan hidup dengan karakter masing-masing. Namun yang penting dalam hal ini adalah kerja sama dalam upaya untuk mencapai idealisme yang sama. Di samping itu, menjadi tanda-tanda fajar juga menjadi undangan untuk memasuki realitas dunia, memperbaiki gereja-Nya yang roboh. (Sdr. Johnny Dohut)

Tekun mengikuti jalannya rekoleksi

Sdr. Ferry Suharto sedang membimbing rekoleksi saudara-saudara muda.
Tinggalkan Komentar