Sabtu, 25 Januari 2014, saat para Saudara Muda Fransiskan menjalani Pekan Studi Kefransiskanan, terjadi hal yang khusus bagi Sdr. Frumensius Gion OFM. Dosen Teologi Moral STF Driyarkara, yang mengampu Teologi Suara Hati ini, memperoleh kepercayaan untuk menjadi salah satu dari tiga pembicara. Bersama RD Josep Ferry Susanto dan RD Riki Maulana Bauwarsa, kedua-duanya adalah imam Keuskupan Agung Jakarta, Sdr. Frumens –begitu Sdr. Frumensius Gion kini biasa disapa– memberikan resep mentah menuju ke surga. Penegasan ini baik untuk dicatat, mengingat Saudara Fransiskan ini dulu pernah populer dengan sapaan “Ferry”.
Setelah menutup Pekan Doa untuk Persatuan Umat Kristen Sedunia, yang dimahkotai dalam pesta Pertobatan Santo Paulus, Ketua Program Studi Teologi (STF Driyarkara) pergi ke aula Katedral dengan mengendarai Vespa Tua (1983), warisan dari P. Rijper OFM. Selama dua jam pagi itu ia isi dengan perjalanan pulang pergi (Katedral – STF Driyarkara), menyapa dan menjumpai para anggota Panitia Seminar, dan para peserta acara istimewa ini, yang diberi judul “Seminar TuAK”.
BERKEBUTUHAN KHUSUS
Program Studi Teologi (STF Driyarkara) bekerjasama dengan Komisi Kerasulan Kitab Suci (KKKS) Keuskupan Agung Jakarta pada Sabtu tersebut menyelenggarakan “Seminar TuAK”. TuAK merupakan singkatan dari Teologi untuk Awam Katolik. Para anggota Staf Pengajar Program Studi tersebut bermaksud untuk memperkenalkan bagaimana berteologi di Ibukota, terutama kepada kaum awam. Oleh karena itu, kami bertindak “menyongsong bola”. Kami mendatangi dan membuka diri dengan menunjukkan apakah teologi itu; mengapa berteologi; di mana diperoleh informasi tentang teologi; untuk apa berteologi; bisa kerja apa saja dengan teologi, dlsb.
“Seminar TuAK” diminati oleh 180an peserta yang membayar tanda masuk 50 ribu rupiah, atau sekitar USD 4. Tidak mahal. Ternyata para peminat itu datang dari pelbagai paroki dan kelompok atau orang-per-orangan di KAJ. Ini semua berkat kegesitan panitia untuk menjangkau pasar, termasuk peran proaktif pembicara dalam rangka mempromosikan acara ini.
Kelompok yang paling awal mendaftarkan diri untuk ikut serta dalam “Seminar TuAK” ini adalah Effata. Kelompok ini “bermarkas” di Wilayah Rawamangun, dan terdiri atas saudara-saudara yang berkebutuhan khusus. Itulah sebabnya, kelompok ini datang ke acara ini bersama dengan “translators”. Mereka ini bertugas meneruskan secara langsung isi pembicaraan kepada para saudara tersebut dengan gerakan yang melibatkan seluruh anggota tubuh, terutama tangan dan mimik (raut muka).
Seluruh anggota rombongan Effata berkisar 30-an. Tetapi dalam kenyataannya, ada salah paham yang menyebabkan perjalanan acara ini tersandung. Ketika acara ini sudah dimulai dan peserta sudah duduk di kursi yang disiapkan panitia, lalu secara bertahap datanglah orang-orang “berkebutuhan khusus” lain yang berangkat dari Karawang, Tangerang. Mereka ini datang dengan kursi roda. Karena tidak ada fasilitas untuk naik ke lantai II Aula Katedral, tempat acara ini digelar, mereka meninggalkan kursi roda dan berjalan merangkak.
Ke telinga orang-orang terakhir ini, yang jumlahnya sekitar 50an, diberitakan tentang adanya pembagian sembako. Maka, mereka menagih “Mana sembako buat kami?” Ternyata, apa yang mereka dengar dengan yang terjadi di lantai II Aula Katedral tidak sinkron. Mereka tentu tidak siap untuk mengikuti acara “Seminar TuAK”. Dari mana mereka ini mengetahui acara ini? Rupanya pengurus sesama “berkebutuhan khusus” saling berkomunikasi tentang acara ini, dan sepekan sebelumnya memang ada pembagian sembako gratis yang dipokoki oleh PSE KAJ. Tak disangka-sangka Panitia “Seminar TuAK” harus merogoh kocek sendiri sekitar 750 ribu untuk membeli hidangan makan siang bagi mereka yang tidak pernah mendaftarkan diri dan datang belakangan ini. Salah seorang anggota Panitia berseloroh, “Mosok orang-orang yang mau datang untuk Yesus, khoq malah kita tolak?!” Itulah awal kemenduaan antara “kasihan” dan “ketidaktegasan”.
BAGAIMANA KE SURGA?
Sebelum ketiga pembicara tampil, pembawa acara mengundang Ketua Program Studi Teologi STF Driyarkara untuk menyampaikan sambutan. Beliau menyampaikan maksud dan tujuan acara “Seminar TuAK” ini, menjelaskan siapa pembicara yang akan ditampilkan, apakah Program Studi tersebut, tanpa melupakan sebuah harapan, yakni semoga acara ini bermakna dan memberi inspirasi bagi para hadirin. Setelah memberikan sambutan beliau meninggalkan Aula Katedral untuk kemudian meneruskan studi tentang Sejarah Ordo Fransiskan bersama ke-6 Saudara Muda Fransiskan.
Pembabaran dalam “Seminar TuAK” ini mengikuti pola penjelasan alkitabiah, ajaran Gereja, dan praktis-pastoral. Rm Josep mengupas tema “Ke Surga Dengan Tubuh” dalam kajian kitab suci. Kupasan itu disambung dengan paparan Rm Riki yang bercorak teologis dan doktriner. Sebagai gong penutup Sdr. Frumens menghadirkan refleksi moralnya tentang perjalanan tubuh menuju surga.
Penulis reportase ini tidak mengetahui secara lengkap dari sumber pertama bagaimana resep “tubuh menuju surga”. Sepintas kilas resep itu bagaikan tuturan teologis yang dibawakan oleh Bonaventura dengan karyanya, Itinerarium mentis in Deum. Artinya, perjalanan jiwa menuju Allah. Entah tubuh entah jiwa, tetapi kiranya kedua-duanya dalam perjalanan menuju Allah tidak pernah mengabaikan bagaimana tubuh dan jiwa itu hidup di sini dan sekarang ini.****
Kontributor: Sdr. Antonius Eddy Kristiyanto, OFM
[/tab][end_tabset]
Pater Eddy ybk, terima kasih untuk ingatan formatif ini: “…mengingat dulu saudara fransiskan ini pernah populer dengan sapaan Ferry!” salam.