Spontan, bila mendengar istilah “retret” maka yang terbayang adalah kelompok atau pribadi yang berada di suatu tempat yang jauh dari keramaian untuk bermenung dengan suasana hening lalu selama 5-7 hari lalu menerima materi kerohanian yang mencerahkan budi dan menggelorakan nurani. Namun, pandemi covid-19 menghantam konsep tersebut, sehingga tidak sedikit yang berinovasi dan mencari cara baru untuk melakukan retret. Mulai dari retret pribadi, retret di komunitas, retret daring dlsb. Kami, para Saudara di Gardianat Monte Casale Lampung bersyukur karena bisa menjalani retret dengan cara dan nuansa yang berbeda dari umumnya. Cara dan nuansa apa yang membuat beda? Mari kita simak.
Awal Retret—Pertobatan Komunitas Paroki
Dari 21 s/d 22 November 2020, kami memulai retret dengan merenungkan bersama dokumen kepausan yang baru yaitu Pertobatan Pastoral Komunitas Paroki. Dua belas bab kami bagi tiga bab per orang untuk dibaca dan dibagikan dalam forum bersama. Melalui membaca dan merenungkan dokumen ini, kami ingin mengevaluasi sekaligus memperbarui kembali semangat pelayan di paroki secara khusus selama pandemi ini. Ajakan minister provinsi untuk merawat akar (hidup Injili, doa bersama, hidup bersama, komunikasi antar saudara—menjaga relasi) ternyata juga termaktub dalam dokumen ini. Mungkin bagi beberapa orang ini suatu kebetulan, namun kami maknai sebagai Penyelenggaraan Ilahi.
Retret Bersama Alam
Dari 23 s/d 25 November 2020, kami melanjutkan permenungan bersama dengan alam. Bermenung bersama dengan alam? Ya, melalui naik gunung. Sdr. Damai Wasono OFM yang sudah terbiasa naik gunung telah mempersiapkan perlengkapan yang perlu. Sementara Sdr. Bovan OFM mengajak Bapak Yackob, Babinsa Lampung Barat untuk menemani kami dalam pendakian. Dimulailah pertualangan dan permenungan kami.
Gunung yang kami daki adalah Gunung Pesagi. Gunung ini memiliki ketinggian sekitar 2.262 meter di atas permukaan laut dan merupakan gunung tertinggi yang ada di Lampung. Bukan merupakan sebuah rahasia lagi bagi para pendaki yang sudah melakukan ekspedisi di Gunung Pesagi kalau memang jalur pendakiannya cukup panjang. Bukan hanya panjang saja, namun kondisi medannya pun cukup menantang dan ekstrem.Terdapat dua rute yang bisa dilalui untuk melihat keindahan alam yang ada di puncaknya; pertama rute yang dimulai dari Pekon Bahway. Sedangkan Jalur kedua yaitu melalui Pekon Hujung. Kami memulai pendakian dari rute Pekon Hujung karena menurut Pak Yackob ini merupakan rute yang paling cepat walau ekstrem. Maka, kami membagi rombongan menjadi dua kelompok kecil. Saya bersama sdr. Bovan berangkat duluan (dengan pertimbangan sdr Bovan sudah paham rute tersebut dan jalan saya lambat pasca kecelakaan kali lalu) dan sdr Damai, sdr Didit bersama Pak Yackob menyusul dari belakang. Pukul 11.00 kami memulai pendakian dari rumah terakhir sebelum masuk hutan Gunung Pesagi.
Kami mulai memasuki kawasan hutan ditemani burung-burung yang selalu berkicau hingga sampai puncak. Tak jarang kami berhenti sejenak untuk istirahat sambil melihat keindahan alam dan kicauan burung. Selain burung, ternyata di sela-sela kaki kami sudah menempel pacet (red, lintah) yang menghisap darah. Bukan hanya hewannya saja yang kami temukan di gunung ini, namun terdapat pula beberapa tumbuhan yang cantik. Bunga Anggrek liar menjadi sebuah tumbuhan yang membuat kami terpesona dengan keindahan alam. Suasana menjadi makin seru saat hujan turun dengan derasnya hingga kami ‘kurang sadar’ kalau ternyata perjalanan kami sudah memakan waktu berjam-jam namun hingga malam tiba, kami belum juga sampai di puncak. Akhirnya pada hari pertama dua kelompok ini membuat dua keputusan berbeda; kelompok pertama melanjutkan pendakian sampai puncak karena di atas terdapat mushola dan beberapa gubuk untuk beristirahat dan kelompok dua berkemah di jalur pendakian. Keseokannya kelompok dua baru sampai di puncak.
Gunung Pesagi ternyata bukan hanya sebuah kawasan yang digunakan untuk mendaki saja, namun juga sering digunakan oleh banyak orang sebagai objek wisata religi. Di sana akan kita temukan mushola yang akan dijadikan tempat untuk ibadah. Suatu pertanda bahwa puncak Pesagi bukan semata-mata untuk ditaklukkan, tapi juga untuk dijadikan tempat berdoa. Ini merupakan pertanda bahwa berdoa merupakan intense dari sebuah pendakian menuju Pesagi. Selain itu, terdapat sumber sumur di atas puncak gunung. Sumber Sumur yang ada di gunung ini pun juga cukup unik dikarenakan memiliki tujuh sumber. Terdapat sebuah kepercayaan kalau sumur ini memiliki kekuatan yang magis. Konon katanya hanya sedikit dari para pendaki yang bisa menikmati air dari tujuh sumber sumur tersebut, karena jika memiliki hati yang buruk, maka sumurnya tidak akan mengeluarkan airnya. Diperlukan hati yang baik untuk bisa mendapatkan kesegaran air dari ketujuh sumur ini.
Di puncak gunung, Kami pun menyempatkan diri sejenak untuk merayakan ekaristi di tengah kecangnya tiupan angin gunung. Kami merayakan ekaristi dengan khusyuk mengingat puncak pesagi ini memang bukan semata-mata tempat untuk ditakklukkan para pendaki, tetapi merupakan alam untuk berdoa, tempat di mana kami mengagumi dan merayakan keutuhan ciptaan. Setelah berdinamika bersama selama dua hari di puncak Pesagi, pada 25 November 2020 pukul 10.00 kami turun menuju rute yang menuju Pekon Bahway menuju Pekon Hujung. Retret kali ini bukan hanya untuk mengolah dimensi kerohanian, tetapi juga mengolah fisik lantaran medan pendakian yang cukup menantang. Biasanya butuh kira-kira 6 jam pendaki bisa melalui perjalanan pulang-pergi. Dan kami bisa melakukan pendakian ini selama 10 jam perjalanan ke puncak dan 7 jam perjalanan turun. Kalau dihitung berdasarkan kemampuan mendaki, kami memang payah. Namun, keinginan kami memang bukan untuk menaklukkan puncak Pesagi, tapi terutama untuk menaklukkan diri kami sendiri, dan sekaligus melakukan semacam sowan-silaturahmi dengan alam demi memaknai persaudaraan semesta.
Gunungan—Kayon
Selama perjalanan menuju puncak maupun turun, saya bersama sdr Bovan mengisinya dengan ngobrol santai tentang pewayangan mulai dari epos Ramayana sampai Mahabarata. Mulai dari kisah para raja sampai punakawan. Hingga sampai pada cerita tentang Gunungan dalam yang menjadi sentralitas dunia pakeliaran. Sejauh saya tahu, Gunungan wayang atau kayon adalah wayang berbentuk seperti gunung dengan aneka detail tumbuhan, hewan dan bentuk lain di dalamnya. Digunakan oleh dalang ketika membuka pertunjukan wayang, di sela-sela pertunjukan wayang dan di akhir pertunjukan tersebut. Ada banyak sekali nilai luhur yang ada di dalamnya termasuk makna dari tiap detail gambar yang ada.
Gunungan pada Wayang Kulit berbentuk kerucut (lancip) melambangkan kehidupan manusia; semakin tinggi ilmu kita dan makin bertambahnya usia, kita harus semakin mengerucut manunggaling jiwa, rasa, cipta, karsa dan karya dalam kehidupan. Singkatnya, kehidupan manusia adalah perjalanan “menuju ke atas”, yakni kepada Tuhan. Gapura dan dua penjaga pada Gunungan Wayang Kulit (Cingkoro Bolo dan Bolo Upoto), lambang hati manusia baik dan buruk. Pohon besar yang tumbuh menjalar ke seluruh badan dan puncak gunungan melambangkan segala budi-daya dan perilaku manusia yang harus tumbuh dan bergerak maju (dinamis) sehingga bermanfaat dan mewarnai dunia dan alam semesta. Di dalam Gunungan juga tersimpan falsafah sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan hidup), jagad gedhe (alam semesta beserta isinya) dan jagad cilik (pribadi manusia).
Penyebutan namakayon sendiri memiliki makna yang dalam. Kayon berasal dari kata kayun (kehendak, kajeng, karep), sehingga kayon mewujudkan kehendak manusia yang berubah (tidak tetap) dan menuruti apa yang dibutuhkan. Ini sama halnya dengan gunungan yang meskipun hanya satu dan isinya digonta-ganti, namun tetap disebut dengan gunungan. Tapi setelah dipegang oleh dalang bisa menjadi kehendak bermacam-macam, sesuai kehendak dalang. Masih banyak simbol sebenarnya yang tergambar dalam Gunungan seperti; burung, benteng, kera, harimau, banteng, rumah joglo (gapuran), dll. Namun intinya sekali lagi, bukan kebetulan pula sepanjang perjalanan, refleksi pendakian kami terbantu dengan obrolan santai tentang Gunungan sebagai gambaran alam semesta yang oleh St Bonaventura disebut sebagai Kitab Suci pertama yang Tuhan tulis dan yang bisa kita baca jejak-jejak ilahiNya.
Akhirnya…….
Rencana tak selalu sesuai dengan kenyataan.Bila kenyataannya lebih baik, tentunya itu tak menjadi masalah.Tapi kalau kenyataannya menjadi lebih jeblok dari rencana, nah itu yang membuat yang empunya rencana menjadi tepok jidat. Awalnya, kami merencanakan untuk menutup rangkaian retret dengan evaluasi bersama di daerah pantai Pesisir Barat sambil menikmati keindahan Pantai Krui dan sekitarnya. Namun, kami tidak jadi ke daerah Pesisir dan memutuskan ke Danau Ranau. Bagaimana pun, Tuhan memang yang menentukan. Man proposes but God disposes, manusia berencana Tuhan yang menentukan, menungsa gadhah engkrengan Gusti ingkang nentokaken. Begitulah kami menutup dinamika retret kami dengan evaluasi bersama di pinggir pantai Danau Ranau. Sekali lagi, bukan kebetulan pula Tuhan mengarahkan kami menutup kegiatan di tempat ini. Sehingga, dalam evaluasi kami menyimpulkan retret kali ini sungguh proporsional: ada saat merenung, ada saat bersama, ada saat dekat denga alam, ada saat membaca (buku dan alam), berdoa, mengolah fisik-mental, dan rekreasi. Ditambah lagi hari terakhir paket buku dari Sdr. Andre Atawolo OFM, “Ekaristi Sakramen Persekutuan Semesta” yang akan menjadi bahan studi kami juga tiba. Sebuah Paket Komplit dari Allah.
Tidak keliru Persaudaraan memilih Lampung sebagai salah satu tempat berkarya. Baik Liwa (Lampung Barat) maupun Baradatu (Way Kanan) memiliki pesona alam yang menyejukkan jiwa, mengingat lokasinya yang berada di punggung Bukit Barisan dan perbatasan dengan Sumatera Selatan. Jadi tidak salah, kalau para saudara hendak mencoba meluangkan waktu sejenak untuk retret bersama dengan alam yang eksotis, yang tentunya sayang untuk para saudara lewatkan.
Sdr. Epa Prasetya OFM
(Baradatu, Lampung)
Tinggalkan Komentar