[tab name=”Berita”]
Pada mulanya adalah sebuah panggilan. Panggilan itu via telpon, dan berasal dari Kementerian Agama R.I. Si Pemanggil yang berada di ujung telpon nirkabel mengaku bernama Paulus. Saat itu adalah pekan terakhir Oktober 2013.
Inti panggilan adalah undangan untuk bergabung dalam Delegasi RI, yang hendak melawat ke Amerika Serikat dan Kanada. Tanggal lawatan adalah 22 November – 1 Desember.
Undangan itu tidak segera saya sanggupi. Sebab tahun 2012 yang lalu orang yang sama mengundang keterlibatan saya melawat ke Somalia, Afrika. Rencana lawatan ini dibatalkan tanpa pemberitahuan. Saya khawatir bahwa undangan lawatan ke Negeri Paman Sam tersebut jangan-jangan bernasib seperti undangan tahun sebelumnya.
Itulah sebabnya, saya mengatakan kepada Bapak Paulus bahwa saya tidak akan menindaklanjuti undangan termaksud jika tidak ada undangan resmi hitam atas putih. Selang satu hari setelah pembicaraan dengan Bapak Paulus tersebut, ponsel saya bergetar. Kali ini si pemanggil mengaku bernama Azis Nurwahyudi dari Kementerian Luar Negeri R.I.
IZIN DARI PROVINSIAL
Sebelum menyanggupi untuk ambil bagian dalam Delri (baca: Delegasi R.I.) saya bersopan santun di hadapan Minister Provinsi, layaknya Fransiskan yang baik. Saya mengungkapkan diri begini.
“Pater Minister Provinsi yth. Tadi saya memperoleh undangan untuk pergi ke USA dan Canada dalam rangka Interfaith Dialog, yang diprakarsai oleh Kemenag-Kemlu. Bagaimana pendapat/pertimbangan Pater Provinsial?”
Jawaban Sdr. Adrianus Sunarko sudah dapat kita duga, yakni singkat dan bernas. Beliau manyatakan dengan sangat arif, “Jika tidak ada sesuatu yang menghalangi, sebaiknya diterima”. Berdasarkan kata-kata sakti itu, saya bergerak maju, yakni menerima undangan UNTUK bergabung dalam Delri.
Kata-kata sakti itu kemudian saya pahami sebagai sebentuk izin dari pimpinan. Itulah sebabnya, saya melangkah maju tanpa gontai, mengingat Januari 2013 saya masuk Indonesia (lagi), setelah berkelana dua minggu di Eropa bersama Raptim. Bukankah Statuta Partikular Provinsi kita mengatur tentang berapa tahun sekali seorang Saudara boleh bepergian ke luar negeri?
Hal yang membuat saya tak habis berpikir sampai beberapa saat adalah mengapa dan atas dasar apakah Fransiskan ini yang dipilih? Banyak orang pintar, berwawasan luas, kemampuan berbahasa Inggrisnya cas-cis-cus, etc. Tetapi mengapa saya? Bahkan ada Saudara Muda sekomunitas yang kata-katanya tak terlupakan, “Ceramah di sana memakai bahasa apa?” Saya menyahut, “Memakai Bahasa Jawa!” Terbersit di benak saya, rupanya Saudara Muda itu meragukan Inggris. Dan hal itu sungguh beralasan!
Tetapi ada satu-dua hal yang mengganjal. Pertama, saya sudah menyanggupi untuk mendampingi pertemuan Pemimpin Komunitas dan Karya Kongregasi FSGM, 26-27 November di Pringsewu. Bahkan, tiket pesawat sudah di tangan saya. Kedua, tanggal 24-25 November ada rapat Definitorium.
Bertolak dari kata-kata sakti Provinsial tersebut, semua yang mengganjal teruraikan. Provinsial sendiri yang akan menangani pendampingan di FSGM, dan saya absen dari rapat penting tersebut dengan lebih dahulu membuat laporan hasil visitasi di Gardianat Bonaventura dan Spoleto. Semua itu demi mengingat tugas “negara” dalam Delri ini penting, perlu, langka, unik, dan tidak biasa!
URUSAN DENGAN LEMBAGA PEMERINTAH
Bapak Azis Nurwahyudi dari Kemlu memastikan bahwa rencana lawatan ke USA dan Canada itu benar. Beliau segera mengirimkan undangan resmi.
Dalam undangan itu terlihat apa-apa saja yang akan terjadi, apa yang harus saya persiapkan, apa yang menjadi tanggungan pemerintah, dan lain sebagainya. Terlebih dahulu harus disiapkan paspor untuk meminta visa masuk AS dan Kanada.
Semua urusan administrasi ini tentang visa diaturoleh Kemenag dan Kemlu. Itulah sebabnya urusan perjalanan ini sangat lancar karena bersifat kedinasan. Untuk mendapatkan visa AS, misalnya, juga tak seribet kalau mengurus sendiri.
Untuk acara lawatan ini, ternyata rombongan Delri terdiri atas 11 orang: 4 orang pembicara, 5 dari Kemenag, 2 dari Kemlu. Keempat pembicara itu masing masing Rektor UIN Sunan Kalijaga (Jogjakarta), Wakil Rektor UIN Syarif Hidayatullah (Ciputat, Jakarta), Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, dan seorang Fransiskan dari Program Studi Teologi STF Driyarkara (Jakarta).
Fransiskan itu diminta untuk menyiapkan paper sepanjang 3-5 halaman (berikut power point) yang akan dipresentasikan sekitar 15 menit. Tema yang disodorkan adalah “Interfaith Dialog in a Plural Society”. Setelah melihat tema-tema yang akan dibawakan oleh ketiga pembicara yang lain, maka satu-satunya Fransiskan dalam Delri ini menambahi anak judul supaya terlihat “menohok”.
Anak judul itu berbunyi, “From the Experiences of Catholic Minority in Indonesia”. Anak judul ini bisa membantah diskursus atau wacana yang serba apik tentang hidup beragama di Indonesia. Namun demikian, ia juga dapat meneguhkan teori nan bagus-bagus tentang dialog antar-kepercayaan.
Jadi, anak judul itu menggariskan pendekatan historis, yang eksperiensial, sesuai dengan bidang kajian yang selama ini saya geluti. Selain itu, anak judul itu “layak jual” karena akan mengangkat bagaimana kiat-kiat minoritas tetap kreatif dan tangguh di antara mayoritas yang akhir-akhir ini banyak diam di tengah maraknya tindak kekerasan, korupsi, deforestasi di negeri ini.
Direncanakan paper itu akan dipresentasikan dalam “public lecture” di University of California at Berkeley pada 25 November, dan seminar dua hari, 27-28 November di Simon Fraser University di Vancouver. Semua materi berhasil saya selesaikan tepat waktu.
Sayangnya, pihak pengundang acara ini (Kemlu-Kemenag) tidak memrakarsai pertemuan ke-4 pembicara. Bukankah pertemuan awal ke-4 pembicara dapat memudahkan persiapan materi yang akan dipresentasikan, menghindarkan tumpang tindih gagasan, dlsb.? Saya sudah mengusulkannya, tetapi ditanggapi dengan ringan, “Nanti pertemuannya di bandara saja!” Dalam kenyataannya, di bandara pun tidak terjadi pertemuan.
Inilah salah satu model acara yang diprakarsai oleh lembaga pemerintah R.I. Belum lagi urusan visa! Saya dan Bpk. Joas Adiprasetya sudah menyerahkan paspor ke Kemlu pada awal November. Tetapi mereka yang dari Kemenag baru menyerahkan paspor pada tanggal belasan. Padahal, dalam surat undangan dinyatakan bahwa paspor diserahkan ke Kemlu paling lambat 4 November.
“FULL” PUJI DAN SYUKUR
Sayalah orang terakhir yang check-in dalam rombongan Delri. Setelah itu, saya diserahi segepok uang dalam amplop sebesar 31 juta sekian ratus ribu rupiah. Uang ini harus segera ditukar dengan USD karena uang Rupiah tidak laku di USA dan Canada. Mengapa pihak pemberi uang tidak menukarkan uang di Jakarta (misalnya dalam bentuk USD), baru kemudian menyerahkannya kepada kami?
Anehnya juga, kami tidak diberi informasi secara rinci uang itu untuk apa. Lagi pula, kami menerima uang itu tanpa tanda tangan! Ternyata peruntukannya adalah sewa hotel di USA dan Canada, honor sebagai pembicara (2 x sebagai narasumber), transpor taksi, living cost di manca negara, dlsb.
Iseng-iseng Bpk Joas Adiprasetya membuka contekan tentang pedoman keuangan perjalanan ke luar negeri. Pedoman itu dikeluarkan oleh Kemenag. Makanya, kami tahu berapa kami dibayar, di kategori mana kami dimasukkan. Semestinya dan ini harapan kami di zaman yang serba tranformatif ini: ada rincian jelas tentang semua pengeluaran dan pemasukan. Itu semua demi menghindari penyelewengan uang rakyat.
Akhirnya, kami mulai lawatan kami pada 23 November dengan menaiki China Airlines. Cengkareng kami jauhi pada pk 14.40, dan Taipei kami dekati. Enam jam sedang kami lewatkan. Di sana kami transit. Kami akan menunggu sekitar dua jam, sebelum meneruskan perjalanan ke San Francisco dengan maskapai yang sama. 12 jam mengangkasa kiranya bukan hal yang serba mengenakkan.
Semua disyukuri sebagai bentuk melaksanakan tugas. Tuhan dipuji karena Dia membuka mata saya yang tak pernah bermimpi pergi ke USA dan Canada sebagai anggota Delegasi R.I. dalam forum yang sangat bergengsi ini. Seandainya saya bukan Fransiskan, pastilah tidak ada cerita ini. Terimakasih saya haturkan kepada Provinsi.
“Ingatase wong ndesa nDegolan (Pakem) mabur neng ngamerika barang!” (Ditulis dalam penerbangan Jakarta – Taipei). *****
Kontributor: Sdr. A. Eddy Kristiyanto, OFM
[/tab] [tab name=”Foto-foto”]

Tram yg menjadi trade mark San Francisco

Sdr Eddy di Bandara Taipei dlm perjalanan ke San Francisco, Amerika Serikat
[/tab][end_tabset]
Romo….kulo mboten ngapusi loh..hihihi…..baru kebaca hari ini…..semoga tidak kapok ya…..
Pater . smoga Wong ndesa ndegolan iso memberi pencerahan neng Amerika. Met jalan-jalan pater, Berkat Dalem
Sdr. Wahyudi yth.,
Terimakasih atas tanggapanmu. Salam hangat dari negeri dingin, Canada.