Berpisah
Kamis Putih, 1 April 2021, cuaca cerah. Sdr. Okki mempersiapkan diri menuju Stasi Karang Liwar dan Guntung Tarap (stasi pedalaman Dayak Meratus), sdr. Eras menunggang motor tril menuju wilayah Rajawali (kebuh sawit yang luas pisan), sdr. Adri stay di tempat (Magalau) dan sdr. Ruben pakai Triton menuju 3 stasi terjauh (Pukung, Tamiang, dan Sesulung). Magalau – Sesulung biasa ditempuh selama 6 sampai 7 jam jika lancar. Selama 3 atau 4 hari ini, kami akan rolling dan menginap di stasi-stasi serta diperkirakan berkumpul lagi hari Senin setelah Minggu Paskah. Hadeuuhh…
Pagi ini, tampak Sr Teres SPC dan Sr Bona SPC sibuk mendekor kapela stasi Magalau. Mereka datang dari Klinik Suaka Insan Magalau yang letaknya sekitar 600 meter dari Rumah Misi. Sementara saya pusing mencari sinyal 4G untuk upload konten Youtube OFM Indonesia. Kata Aris, pegawai paroki merangkap sopir ini, jika PLN padam maka tamatlah riwayat sinyal internet. Beruntung, itu tak terjadi. Saya sempat ‘parkir’ di kaki tower untuk internet yang lancar. Puji Tuhan! Halleluya. Ups, belum!
Aris, lajang asli Lampung ini, adalah andalan Sdr Ruben dan Sdr Eras untuk membantu mengurus hampir semua hal teknis terkait pastoral. Untunglah beliau masih muda dan gesit. Tanpa beliau saya kurang yakin keseharian Rumah Misi ini bisa bertahan. Tampak ia masih sibuk. Hilux penuh dengan perlengkapan hari raya Paskah seperti Lilin Paskah, hosti, perlengkapan misa dan sebagainya. Tepat pukul 16.00 wita hilux kami meluncur, mampir di Gendang, lalu lanjut ke Kaar.
Kaar
Kaar bukanlah kampung besar melainkan sebuah dusun kecil. Barangkali RT. Jaraknya hanya sekitar 1 km dari as jalan raya Trans Kalimantan. Jalan menanjak tanpa aspal, hanya agregat (jalan yang disirami pasir dan kerikil). Hawa di sana cukup dingin. Tidak ada tiang listrik. Ada 14 rumah yang saya hitung. Termasuk rumah Misi Kaar.
Hilux hitam merapat ke halaman rumah Bapak Mansah. Beliau adalah ‘ketua umat’ (ketua stasi). Rumahnya persis di sebelah rumah misi. Anaknya bernama Desy. Kelas 6 SMP.
Selain keluarga pak Mansah, ada juga Ibu Rumy, katekis & volunteer yang menetap di Rumah Misi Kaar. Beliau yang melayani kebutuhan rohani umat di stasi Kaar. Pada hari-hari tertentu, Bu Rumi turun gunung menuju SMP Negeri di Sengayam, sekitar 7 km dari Kaar, untuk mengajar Agama.
Saya tertarik dengan sosok Pak Mansah. Pria asli Dayak Meratus. Masa kecilnya dihabiskan di hutan. Maklum, dulu keluarga peramu. Sepintas kilas, tampak sekali bahwa Pak Mansah ini sosok yang sangat teliti, tekun, cerdas dan religius. Kemungkinan besar, itu dipengaruhi oleh pengalaman beliau yang sempat melalang buana cari kerja di Jawa dan Kalimantan Tengah. “Waktu sangat berharga. Jangan sia-siakan waktu. Juga tanah dan ladang kita adalah harta yang memperanak harta. Tanam apa saja pasti jadi dan bisa berubah jadi uang. Intinya, jangan malas,” demikian komentar Pak Mansah di sebuah makan siang. Sebuah pikiran yang maju, bukan? Ah, ayo kita omong-omong tentang Tri Hari Suci sudah.hehe…
Tepat jam 18.00 wita, perayaan agung Kamis Putih dimulai. Anak-anak misdinar sudah bersiap. Para 12 rasul pun standby di posisi masing-masing samping altar. Dresscode putih mencolok malam ini. Diperkirakan, ada 60an umat yang hadir, termasuk anak-anak. Perayaan ekaristi berlangsung khidmat. Koor umat membahana tanpa iringan musik. Saya jadi teringat ke Paroki Aeramo, tempat tugas saya dulu. Dipandang dari jumlah yang hadir dan kondisi kapel ini, misa meriah sekelas Kamis Putih kali ini mirip dengan misa di KUB St. Helena di Aeramo, satu dari 60 KUB yang ada. Perayaan Ekaristi CINTA KASIH ini berlangsung teduh dan sederhana, sakral dan mengesankan. Satu catatan tambahan: dari semua yang hadir, hanya saya saja yang berambut keriting ombak-ombak.hehehe….
Keesokan harinya, Jumat Agung. Pukul 09.00 kapel telah penuh untuk jalan salib. Seperti biasa, ibadat berlangsung khidmat. Tampaknya, tidak ada yang meladang semua hadir. Setelah jalan salib, para petugas Ibadat Jumat Agung merapat ke rumah misi. Sepanjang waktu telinga saya merekam suara para pembawa kisah sengsara. Edisi latihan katanya. Tak sabar saya mengikuti ibadat sebentar. Hehe…
Petang pun tiba. Dalam keheningan umat memasuki ibadat. Kini tibalah Kisah Sensara. Kunin daan 2 temannya memohon berkat. Berbusana merah mereka naik podium. Ah…saya terkagum-kagum. Mereka menyanyikannya dengan sangat baik, walau ada perubahan nada dasar di beberapa bagian. Jika Sdr. Haward ikut, beliau mungkin terheran-kagum.hehehe.
Surya merendah di ufuk barat. Bu Rumi mengajak saya ke sebuah bukit, tempat atau lokasi Kapela yang baru akan didirikan. Jaraknya sekitar 50 meter dari rumah Misi Kaar. Katanya, ada sunset bagus di sana. Kami berdua lekas meluncur. Pasti menarik!
Lokasi bakal kapel itu cukup luas dan strategis. Saya takser, Sdr Ruben dkk. bisa membangun kapela ukuran 12×20 m dengan teras dan halaman yang cukup. Pesan dari Pak Mansah: kapela sebaiknya didesain dengan area teras yang luas (seperti kapel sekarang). Sementara Bu Rumi mengusulkan agar kapelanya dibuat sekuat mungkin agar bertahan lama. Semoga, bapak Pastor Paroki membaca ini yaa.
Sebelum balik, kami mampir di pondok sinyal. Persis dipuncak bukit. Aah…indah sekali. Dari tempat ini kita menikmati sunset seraya menikmati 4G tiga kotak. Wah, lumayan buat update status WA dan Facebook.hehe..
Sabtu pagi, saya sempatkan diri lopas pagi. Menikmati indahnya dataran tinggi Kaar. Udara sejuk mendekap bukit-bukit Meratus. Hijau terhampar menjamin hidup para makhluk. Alam ini harus dijaga oleh anak-anak alam lokal yang tangguh dan integritas. Ya…semoga.
Saat balik lopas, segelas kopi dan pisang goreng sudah tersedia di meja. Makasih yah Bu Rumi dkk. Mari kita bersiap menyambut Kebangkitan Kristus!
Karena selain Kaar, saya akan memimpin misa Malam Paskah di Stasi Sangkoh, maka itu kami mulai misa di Kaar pukul 15.00 wita. Misa berjalan baik. Seperti biasa, selalu ada sedikit lidah terkilir di koor atau solis mazmur. Beruntung saya bermasker sehingga senyum-senyum saja dibalik masker tak ketahuaan umat. Tapi, ah…Tuhan tahu. Halleluya!!!!
Lilin Kedua di Matalok
Mas Aris sudah menunggu di ruang tamu rumah Misi Kaar. Waktu menunjuk pukul 17.15 wita. Umat Matalok, kata Sdr. Banus, sangat tepat waktu. Tanpa panjang lebar, saya bergegas pamitan dengan Pa Mansah, mama Desi, bu Rumi dan seluruh umat. See you all. Next time I will be here. I promise!
Hilux nan perkasa meninggalkan Kaar pukul 17.30 wita. “gimana Ris? Berapa menitkah kita ke Matalok?” tanyaku. “ya…1 jam lah Pater”. Hmm…sudah telat. Tak apa. Kata orang, pastor tak pernah terlambat. Adoohh.
Berbeda dengan Kaar yang 100% penduduk asli Dayak Meratus, stasi Matalok dan Sangkoh adalah stasi divisi. Maksudnya, stasi ini (pemukiman dan kapela) terletak di dalam area sawitan dan merupakan fasilitas yang disediakan perusahaan bagi para pekerja untuk beribadah.
Tiba di Matalok, tepat pukul 18.30. On time! Umat sudah berkumpul. Jika di Kaar semua rambut lurus dan kulit putih, maka di Matalok hampir 90% berambut keriting dan hitam manis. Bisa tebak, mereka dari mana? Ya, Stasi Matalok mayoritas orang Flores, khususnya suku Lio (Ende). Itu kelihatan dari sarung dan motif kain yang akrab di mata saya.
Pak Yanto, Pak Johan, dan Ibu Teres tampak sibuk. Mereka pengurus stasi yang amat aktif. Misdinar mulai mempersiapkan diri. Lampu-lampu dipadamkan. Untuk kedua kalinya, saya menyalakan lagi lilin paskah. Hening.
Sehabis misa, kami ‘kuman’ (makan) bersama. Belum pernah kualami sebelumnya: seluruh umat, dengan rapi teratur, menikmati prasmanan yang disiapkan bersama. Kami makan malam sampe kenyang. Penuh sukacita. Tak terasa sudah pukul 24.00 wita. Saya dan Aris tidur di kamar pastoran sederhana di samping sakristi. Nyamuk yang ganas tak sanggup mengganggu lelapnya tidur.
Tepat jam 09.00 wita, misa Minggu Raya dimulai. Meriah dan suasannya mirip seperti semalam. Ramai dan gempita. Makan bersama juga begitu. Ah…ingin lama-lama di sini. Tapi, nanti saja yah. Sore ini pukul 15.00 wita ada misa lagi di Stasi Sangkoh. Halleluya! Pujilah Tuhan yang Bangkit Jaya!
Sangkoh
Beberapa anak SEKAMI stasi Matalok bergabung. Mereka ingin ikut ke Sangkoh. Jarak Matalok – Sangkoh kurang lebih 10 km dan ditempuh selama 1 jam. Maklum, jalanan aspal bergelombang ala kebun sawit.
Di Sangkoh belum banyak umat yang datang. Hanya pak Sony dan beberapa lainnya. Anak-anak misdinar sudah siap. Oh, ternyata ada 6 divisi di stasi ini cukup jauh dari kapela. Mobil angkut pekerja milik perusahaan hanya ada 2 unit yang dipakai untuk menjemput umat. Setelah 30 menit menunggu, upacara cahaya dan misa Minggu Raya dimulai. Koor dan petugas liturgi tak kalah meriah dengan Matalok. Dan satu lagi, semua sandal ditanggalkan di pintu.hehe..
Tak banyak waktu di Sangkoh. Pukul 19.30 kami pun kembali. Setelah menurunkan ‘asisten-asisten cilik’ di Matalok, saya dan Aris melanjutkan perjalanan. Saya dan Aris tampak lelah. Namun, berbagi cerita suka-duka selama perjalanan membuat perjalanan tak terasa. Tepat pukul 23.30 wita kami tiba di Magalau. Letih raga tak bisa dibendung. Segera istirahat. Kami tepar hingga pagi.
Sampe Tatamu Lagi
Perayaan Paskah berakhir. Saatnya berkisah dan evaluasi. Beragam pengalaman kami ceritakan bersama.
Ada suka ketika kami berjumpa dengan umat yang amat antusias mengikuti seluruh rangkaian Paskah Suci ini. Ada sedih ketika laher motor pecah. Ada putus asa ketika jembatan putus dan harus cari rute lain. Ada tahan tawa ketika mendengar solis menyanyikan mazmur dengan versinya sendiri. Ada harapan ketika melihat anak-anak bercerita tentang cita-cita dan masa depan. Ada doa dan optimisme ketika saling meneguhkan dalam iman.
Mengesankan!!! Paroki ini amat mengesankan dan menantang bagi saya. Dari kacamata medan pelayanan, bagi saya dan sejauh pengalaman kami, pelayanan pastoral paroki Magalau adalah yang terberat dari. Dulu, sdr. Stefan (mantan Pastor Paroki Baradatu, Lampung 2015-2020) juga berujar yang sama. Boleh dibayangkan: para saudara (Ruben, Eras, dan Adri serta Banus) sering berkumpul bersama hanya hari Selasa, Rabu, dan Kamis. Sisanya, semua sedang tourne. Jika tak ada CINTA dan KESETIAAN, siapakah dapat tahan?
Hari ini, selasa 6 April 2021, matahari belum lama naik. Triton dan Hilux mengantarkan kami menuju Pantai Gedambanan, Pulau Laut, Kotabaru. Ya, rekreasi komunitas! Sebelumnya, kami mampir dulu di Puncak Meranti, sebuah tempat agrowisata kebanggaan Kabupaten Kotabaru. Dari sana kita melihat 1/100 hamparan tanah Borneo, dari Batulicin hingga pegunungan Meratus. Indah guys. Dari sana kami menuju Pantai Gedambanan dan sebuah villa telah dipesan jauh hari oleh Sdr Ruben. Yeah…akhirnya mandi di laut dulu dan rehat.
Keesokan harinya, Rabu 7 April 2021, kami berpisah dengan Sdr. Okki. Beliau harus terbang lebih dulu ke Jakarta. Sementara, saya berencana untuk semalam dulu di Banjarmasin, mengunjungi adik bungsu bapak saya yang lama tak berjumpa.
Setelah saya dititipkan pada Romo Puji CM (pastor paroki Batulicin), Sdr Ruben sekomunitas kembali ke Magalau. “Tetap semangat bro semuanya. Kapan waktu tatamu lagi,” kataku kepada mereka.
“Ok bro. Lu jalan bae-bae sampe Jakarta la. Jangan lupa saya punya tutipan pesan untuk Pater Provinsial ya!” kata Sdr. Ruben dengan logat Bajawa-Atambua. “Siap bro, btw pesan apa yah?” gangguku. “Kau pu nenek moyang! Yang itu tuu!” kata Sdr Ruben dan disambut tawa kami semua. See you all!
Waktu sudah senja dan saya harus menunggu mobil travel jam 21.30 wita menuju Banjarmasin. Raga yang lelah pun nyenyak dalam Terrios tua Bang Arul. Dan, Rabu, 8 April 2021, pukul 05.30 wita, saya tiba di Kota Seribu Sungai: Banjarmasin. Esoknya, jam 15.20 pesawat Batik ID 6213 mendaratkan saya di Soekarno-Hatta. HALLELUYA: SELAMAT PASKAH 2021.
Selesai
Tinggalkan Komentar