Ah, Delay
Paroki St. Fransiskus Assisi Gendang, Magalau, Kalimantan Selatan menjadi tempat asistensi Paskah saya tahun 2021 ini. Setelah mendapat restu dari kepala rumah, Sdr Laurens, dan dukungan ongkos dari bendahara rumah, sdr. Aleks, saya meluncur ke bandara Soehatta tepat pukul 05.00 wib. Pesawat akan takeoff pukul 07.30 wib.
Bersama Sdr. Okki, perjalanan kami akan ditempuh selama 1 jam 20 menit menuju Syamsudin Noor Banjarmasin. Lalu transit selama 2 jam sebelum pesawat Lion jenis ATR menerbangkan kami selama 30 menit menuju Kota Baru, ibukota kabupaten Kotabaru, di mana Paroki Magalau ini berada. Di Kotabaru, sdr. Ruben akan menjemput kami dan butuh 3 jam untuk sampai di Magalau. Demikian rutenya.
Nasib sial! Pukul 01.00 wib dinihari Lion Air mengirim pesan menunda penerbangan saya ke pukul 14.00 wib. Sementara, sdr Okki telah dihubungi maskapai senja sebelumnya. Kami coba menghubungi maskapai via Call Centre terkait nasib transit kami di Banjarmasin. Tak ada jawaban. Mendengar itu, sdr Ruben pun panik. Penerbangan ke Kotabaru cuma sekali sehari. Jika dijemput di Banjarmasin, sdr. Ruben harus bertahan 10 jam Pergi-Pulang!!
Prett,,,bagaimana nasib kami di Banjarmasin? Dalam kegalauan, munculah ide. “Nes, saya belum pernah lihat kota Banjarmasin. Gimana kalo kita nginap di sana saja?” tawar sdr. Okki. Ahaa..saya kira ide bagus. Saya juga belum pernah ke Tanah Borneo.
Numpang di SPC
Ada kakak sepupu saya di Banjarmasin. Sr. Lusia SPC namanya. Setelah saya kontak, allhamdullilah! Saya dan Sdr. Okki diperkenankan untuk menginap semalam di sana. Setelah landing pukul 15.30 wita di Syamsudin Noor Banjarbaru, kami diantar ke biara mereka dengan pesan: selamat istirahat dan jika boleh persembahkan misa pagi bersama di komunitas. With our pleasure.
Oleh kebaikan para suster, kami berdua diantar ke bandara Banjarbaru yang berjarak sekitar 1 jam perjalanan keluar kota Banjarmasin. Tepat jam 12.20 kami take off dari Syamsudin Noor menuju Kotabaru. Rasanya, pedal gas pesawat baru ditarik, eh…dengar-dengar akan segera landing. Cuma sekitar 30 menit di udara, kami pun landing di Kotabaru. Tanpa menanti lama, sdr. Ruben & sdr. Adri yang menunggangi Hilux hitam telah standby mengantaar kami ke Gendang, Magalau. Tak lupa makan siang ikan bakar dulu Siring Laut, pelataran pantai Kotabaru yang eksotis.
Dari Kotabaru, kapal fery menyebrangkan kami ke daratan Borneo dan melaju selama 25 menit hingga sandar di pelabuhan Tarjun. Di samping pelabuhan ada pusat pabrik semen PT. Indocement yang terkenal itu. Dari Tarjun, kami harus melewati 3 jam menuju Magalau. Pemandangan pohon sawit sejauh mata memandang mulai tampak. Tentu, berkesan bagi pelancong perdana.
Pukul 18.30, kami tiba di stasi pertama: Karang Liwar. Ada 2 suster SFD untuk Misi Meratus tinggal di ‘pastoran’ stasi ini bersama beberapa anak asrama. Kami mampir karena ada resepsi merayakan kehadiran 100 tahun di Indonesia. Ternyata, sdr. Eras dan Sdr Banus telah menanti di sana. Lepas makan malam, kami lanjutkan perjalanan sekitar 40-an km menuju Magalau.
Pukul 22.45 kami tiba di ‘Rumah Misi’ Magalau yang menjadi pastoran ‘sementara’, tempat keempat saudara (Ruben, Eras, Adri, dan Banus) tinggal. Konon, rumah panjang sekitar 12×20 m2 ini menjadi salah satu basecamp bagi misionaris domestik khusus untuk Program Misi Meratus di Kalimantan Selatan. Sejak awal tahun 2000an, misi meratus tetap berlangsung sampe saat ini. Selama beberapa tahun itu, bersama para pastor dari paroki Batulicin, sudah tak terhitung para volunteer yg terlibat dalam misi ini, baik awam maupun biarawan dan biarawati.
OFM diundang khusus oleh Bapak Uskup Petrus B. Timang untuk terlibat dalam karya misi ini tanggal 22 Agustus 2017. Harapan beliau bahwa OFM sebagai ordo yang kental dengan semangat Fraternitas dan JPIC mampu memberi warna khas dalam reksa pastoral Misi Meratus. Setahun kemudian, 29 September 2018, Sdr Ruben dan Sdr. Eras diutus ke tempat ini. Ah…panjang nih cerita. Lain waktu yah. Waktu sudah malam. Raga melelah. Esok baru lanjut.
Briefing
Hari ini Sabtu, 27 Maret 2021. Pagi cukup cerah. Agak mendung-mendung halus. Alam menabur embun di atas rerumputan halaman pastoran yang luas. Di dapur pastoran tampak beberapa orang tengah sibuk mempersiapkan sarapan pagi. Frater Banus (TOPer) sebagai pemandu masak dan ditemani Sdr. Eras (pastor rekan), sdr. Aris (pegawai serba bisa, khususnya sopir). Juga tampak sibuk adik Eris dan Santus. Keduanya masih SMP dan tinggal di pastoran sambil mengikuti kelas secara online. Tentu dengan maksud didampingi para saudara di pastoran. Btw, Eris kan masuk seminari di Banjarmasin tahun depan. Mantap.
Sehabis ibadat pagi, sarapan pagi menu lokal (khususnya tumis jengkol dan ikan panggang) dengan cita rasa semesta ini segera dilahap. Selepas sarapan, ditemani kopi hangat, sdr. Ruben mulai memandu briefing.
Ada 25 stasi. Tersebar di wilayah dataran hutan Meratus dan kebanyakan di wilayah perkebunan sawit. Jarak antar stasi sekitar 0,5 sampai 1,5 jam perjalanan roda dua. Sekitar 4 atau 5 stasi cukup enteng dijangkau karena terletak di tepian jalan Trans Kalimantan yang mulus. Sisanya,,,Tuhan Kasihanilan Kami! Butuh stamina ekstra dan perjuangan yang berat melewati sawitan yang luas dengan jalanan kerikil batu-batu lepas serta lumpur di kala hujan.
Demi ketaatan kepada Pastor Paroki, saya menjalani perintah melayani Minggu Palma di Stasi Pusat Gendang, Kamis Putih hingga Sabtu Suci (misa 1) di Kaar, malam Paskah (misa 2) di Matalok, Minggu Raya di Matalok pukul 09.00 dan di Sangkoh pukul 15.00 wita. Siap bro!!!
Gendang Palma
Bangunan megah stasi Gendang adalah bakal gereja Pusat Paroki. Karena belum ada pastoran di sana, para pastor bertahan tinggal di rumah misi Magalau. Magalau – Gendang berjarak 28 km. Untunglah jalannya mulus.
Sebuah kehormatan bisa merayakan Minggu Palma di Gereja Pusat Paroki Gendang. Sebelum pukul 09.00 wita, umat telah berduyun-duyun merapat ke gereja membawa daun palma. Karena musim Covid 19, umat tampak bermasker. Dari penampakan motor atau sandal/sepatu mereka, sepertinya mereka tinggal di pedalaman melewati jalanan sawitan yang berlumpur tanah merah. Untunglah 5 kran air cuci tangan dan kaki sudah disiapkan. Oh yah…masuk gereja tidak boleh pake sendal atau sepatu. Awas kotor! Semua tertata rapi di pintu masuk.
Dari rekaman sapaan, mereka kebanyakan berdomisili di perkebunan sawit (PT. Alam Raya Kencana Mas) yang luasnya ribuan hektar di sekitaran wilayah itu. Btw, perusahaan ini menguasai sawit hampir separuh ¼ wilayah Kalimantan Selatan. Ada juga umat yang datang dari sebuah stasi ‘milik’ paroki Tanah Grogot, Kalimantan Timur. Lupa namanya. OMG! Paroki ini lintas provinsi!
Misa berlangsung meriah. Petugas koor tampil heroik dan membahana walau tanpa iringan musik. “Pastor, jangan lupa sebentar puji kami yah” kata mama Nanda. “Eh, sabar dulu. Kalo nyanyi mantap baru saya pandu tepuk tangan” kata saya. Syukurlah semua petugas bekerja baik. Tepuk tangan meriah pun terlaksana. Saya yang pandu itu.
Sehabis misa dan resepsi sederhana, saya dan Fr Banus harus lekas kembali ke Magalau karena Sdr Ruben menunggu di Magalau lantaran ia butuh motor tril menuju stasi Rajawai 3 dan 4, di tengah perkebunan sawit.
Cuaca kurang bersahabat tatkala pulang ke Magalau. Baru jalan sekitar 5 km, di pengkolan KEL (gerbang masuk perusahaan tambang batubara PT. Kalimantan Energi Lestari) hujan membasahi saya dan Frater Banus. Tak bisa dielak, kami pun menepi ke sebuah warung. Bermodal mantol yang kekecilan, Frater Banus meneruskan perjalanannya sementara saya menunggu hujan reda bersama Sdr Adri yang beberapa saat kemudian juga berteduh di tempat yang sama. Beliau pulang dari stasi Kaar, 30 menit dari Gendang, arah Kaltim.
Di warung teduhan itu, tampak juga ibu Sitohang memegang daun palma bersama puterannya yang juga bernasib sama dgn kami. Kehujanan. Kata beliau, rumah mereka masih berjarak 2 km masuk ke tengah hutan sawit. Yah…kita sabar yah. Jimmy, OMK Magalau juga di situ. Ia tawarkan kami kopi hangat. Akhirnya, setelah menunggu 2 jam, hujan deras itu reda. Kami lanjut. Senja hari yang redup saya menikmati lagi kopi manis seraya menyaksikan 2 motor trail kembali. Sdr. Eras dan sdr. Ruben kembali dari stasi. Kotor dan penuh lumpur. Sudah biasa katanya. Hehe…Smangat bro!!!
Imamat & Janji
Sadar akan identitas dan martabat luhur imamat dalam diri kami, Selasa, 30 Maret 2021, pukul 04.00 wita, hilux perkasa itu mengantar kami ke Banjarmasin untuk mengikuti misaa Pembaruan Janji Imamat. Tiba di Banjar pukul 14.00 wita. Pinggang pegal hebat. Untunglah, para saudari SFD di depan Gereja Kelayan, Banjarmasin, menyediakan makan siang dan ruang rehat bagi kami berlima. Lumayan 2 jam baring.
Misa senja itu meriah. Sekitar 20-an imam berdiri gagah dengan kasula putih cerah. Di sekitar altar bersama di hadapan Uskup memperbarui janji imamat. Bapak Uskup Timang berpesan: jadilah imam yang SETIA seperti Yesus, kesetiaan yang TOTAL. Ah…amat meneguhkan. Energi keimamatan mendadak mendidih. Smangat!!!
Btw, katedral Banjarmasin tidak besar. Disebut juga dengan nama ‘Gereja Batu’. Konon, bangunan yang seluas Gereja St Petrus Cianjur atau Gereja Bidaracina ini menjadi satu-satunya bangunan batu/beton di Banjarmasin, kota seribu sungai. Yah…kata orang sih begitu.
Resepsi persaudaraan imamat berakhir. Setelah bersendasapa dengan bapak uskup, kami berlima pamit balik ke Magalau. Guys, 10 jam!!! Sdr. Eras dan sdr. Adri nebeng di avansa Romo Puji, pastor paroki Batulicin. Dua mobil ini melaju meninggalkan Banjar. Pukul 01.30 sdr Ruben minta gantian nyetir. Saya ambil alih. Satu menit berselang, terdengar sdr Ruben mengorok pulas menemani Sdr. Okki yang telah mendahului. Duet maut menemani. Hehe..
Perjalanan santai dini hari. Pukul 04.30 wita kami tiba di Batulicin. Setelah rehat sejenak, kami lanjutkan perjalanan. Mobil Triton milik Romo Puji dipinjamkan kepada kami di Magalau untuk nanti dipakai selama Tiga Hari Suci. Sdr. Ruben menyusul karena harus membetulkan rem Hilux yang error.
Siang hari, kami tiba di Magalau. Semangat Imamat itu terang menyala walau Saudara Keledai sudah penyok keletihan. Tempat tidur memanjakan kami. Pulas. Siap untuk Trihari Suci.
(Bersambung…)
Sdr. Yornes OFM
Tinggalkan Komentar