25 Agustus – St. Ludovikus IX, Raja Perancis

25 Agustus
St. Ludovikus IX, Raja Perancis
1215-1270

RIWAYAT HIDUPNYA

Pelindung Ordo Fransiskan Sekular.

Raja Ludovikus dilahirkan dalam sebuah puri di Poissy dekat Paris pada 25 April 1215. Ibunya yang saleh, Blanche, sudah berketatapan bahwa dia akan dididik tidak hanya bagi kerjaan yang akan dipimpinnya, tetapi terlebih lagi bagi kerjaaan surga. Dia membiasakannya melihat segala sesuatu dalam terang iman, dan dengan demikian dia meletakkan fondasi bagi sikap kesahajaan bila mengalami nasib baik dan sikap ketekunan dalam waktu-waktu malang. Hal inilah yang menjadi sifat khas dari raja yang suci ini.

Ludovikus dimahkotai menjadi raja ketika baru berusia 12 tahun. Namun ibunyalah yang dipercayai menjalankan tugas pemerintahan yang sebenarnya selama masa mudanya itu. Sementara itu, Ludovikus dididik dalam semua kewajiban sebagai seorang putera mahkota Katolik. Di antara pengajar-pengajarnya terdapat beberapa Saudara Fransiskan, dan kemudian raja muda itu sendiri bergabung dalam Ordo Ketiga St. Fransiskus.

Baru menjalankan pemerintahan kerajaannya dalam namanya sendiri selama beberapa tahun, Ludovikus jatuh sakit keras. Dalam sakit kerasnya itu dia berjanji: bila sembuh, dia akan melancarkan perang salib ke Tanah Suci untuk merebut tempat-tempat suci itu dari tangan orang-orang tak beriman. Ketia dia menjadi sembuh kembali, dengan segera janjinya itu dilaksanakannya. Dia merebut benteng Damietta dari orang-orang Saracen, tetapi kemudian ditangkap sebagai tawanan ketika tentaranya melemah karena suatu epidemi penyakit.

Setelah selama beberapa bulan dilewatkannya dengan kecernihan kudus segala penderitaan sebagai tawanan orang-orang tak beriman, dihadapkan kepadanyalah syarat-syarat pembebasannya. Tetapi pada syarat-syarat pembebasan itu dilampirkan bahwa bila dia tidak memenuhi syarat-syarat itu, dia harus menyangkal Kristus dan menolak Kekristenan. Raja kudus itu pun menjawab: “Kata-kata hujatan semacam itu tidak akan melintas pada bibirku.” Mereka mengancamnya dengan kematian. “Baik sekali,” katanya, “kalian akan membunuh tubuhku, tetapi kalian tidak pernah akan membunuh jiwaku.” Penuh dengan ketakjuban akan keberaniannya yang kokoh itu, mereka akhirnya membebaskannya tanpa syarat-syarat yang patut diberati. Setelah memastikan adanya banyak butir-butir lain yang berkenan pada orang-orang Kristen, dia harus kembali ke Perancis, karena sementara itu ibunya telah meninggal dunia.

Dalam memerintah Kerajaannya, Ludovikus membuktikan betapa kesalehan itu sangat bermanfaat dalam segala aspeknya. Dia memajukan kesejahteraan kerajaan dan rakyatnya dengan cara yang mencolok. Hidupnya sebagai seorang Kristen dan sebagai seorang ayah Kristen sedemikian dapat menjadi contoh sehingga dia dipilih layak menjadi pelindung dan model dari para Tertiaris. Prinsip yang paling penting dari hidupnya adalah melaksanakan dan menaati hukum dan peraturan Allah dalam segala keadaan. Penulis riwayat hidupnya meyakinkan kita bahwa dia tak pernah kehilangan kesucian baptisnya karena dosa besar. Dia secara pribadi sedemikian menghayati dan menghargai rahmat baptisnya, sehingga, dalam surat pribadinya yang rahasia, dia dengan senang hati memberi tanda tangan “Ludovikus dari Poissy” karena di dalam gereja Poissylah dia telah dibaptis.

Ludovikus tidak pernah membiarkan percakapan yang bernada kutukan dan dosa, baik di antara para pelayan maupun para bangsawan; dan dari mulutnya pun tidak pernah terdengar kata yang tidak ramah atau tidak sabar. Dia menghendaki semua kemeriahan dan kemewahan yang tidak perlu dihindarkan dalam istananya, sehingga dapat diberikan lebih banyak bantuan kepada mereka yang miskin. Dia sendiri pun secara pribadi memberi makan dan melayani mereka ini. Lemari pakaiannya begitu sederhana, dan selalu dikenakannya tanda Ordo Ketiga di bawah pakaian luarnya. Pada kesempatan-kesempatan khusus, dalam penampilannya di muka umum dia mengenakan pakaian Tertiaris.

Demi mengendalikan sensualitasnya, dia tidak hanya menjalani semua masa puasa Gereja dengan luar biasa kerasnya, melainkan juga berpantang dari makanan tertentu yang sangat dia sukai. Dia adalah seorang ayah yang penuh perhatian terhadap sebelas orang anaknya, yang merupakan berkat Allah atas hidup perkawinannya. Dia sendiri setiap hari berdoa bersama dengan mereka itu, menguji mereka dalam pelajaran-pelajaran yang mereka peroleh hari itu, membimbing mereka melakukan karya-karya cinta kasih Kristiani, dan dalam wasiatnya dia mewariskan bagi mereka nasehat-nasehat yang sangat indah.

Dia mendukung devosi khusus kepada sengsara Kristus; dan merupakan penghiburan besar baginya ketika dia dapat memiliki Mahkota Duri Kristus; dan untuk menyimpannya dengan layak, diperintahkannya mendirikan sebuah Kapel Kudus nan indah. Ketika keluhan yang serius perihal penindasan orang-orang Kristen di Tanah Suci sampai ke telinganya, dia melancarkan perang salib yang ke dua pada 1270. Tetapi di tengah jalan dia meninggal dunia karena wabah. Penyakit itu menularinya ketika dia mengunjungi serdadu-serdadunya yang sedang menderita sakit.

Di tengah kegembiraan kudus karena dia di ambang pintu rumah Tuhan, dia menyerahkan jiwanya kepada Allah pada 25 Agustus. St. Ludovikus dikanonisasi oleh Paus Bonifacius VIII pada 1297.

DOSA BESAR ADALAH KEJAHATAN YANG TERBESAR

1.      “Lebih baik mati daripada dosa besar!” St. Ludovikus acap kali mengatakan kata-kata ini bila dia mengingat apa yang dikatakan ibunya kepadanya. Dia benar, karena dosa besar itu lebih jahat daripada kematian. Itu adalah kejahatan yang paling besar yang terdapat di dunia ini karena hal itu berarti kehilangan kebaikan yang terbesar, yakni Tuhan Allah itu sendiri. Yang melakukan sebuah dosa besar itu telah melanggar salah satu perintah Allah dalam hal yang penting dengan pengetahuan penuh dan kemauan bebas, bahkan sekalipun itu hanya terjadi dalam pikiran, lalu mendengar ancaman Allah padanya karena Tuhan tidak berkenan, namun dia tetap berkata: “Saya tidak mau menaati-Nya.” Dia memisahkan dirinya dari Allah, jatuh terlepas dari rahmat, dan diubah dari obyek cinta Allah, menjadi sebuah obyek kebencian: “Yang Mahatinggi membenci orang-orang pendosa” (Eccli 12:7). – Dapatkah kita membayangkan sebuah kejahatan yang lebih besar daripada ini?

2.      Renungkanlah bagaimana Raja St. Ludovikus senyatanya melaksanakan prinsip yang paling agung dalam tingkah lakunya. Dia lebih memilih tetap menjadi seorang tawanan orang Saracen, – termasuk kehilangan kerajaannya dan bahkan hidupnya sendiri – daripada mengucapkan sumpah yang menghujat. Tidak ada kehilangan dalam barang-barang duniawi dapat dibandingkan dengan kehilangan Allah sendiri; padahal semua penderitaan yang sementara ini, sungguh bisa ditanggung, bila kita tetap berada dalam rahmat Allah. Sebenarnya, penderitaan itu menjadi manis bila kita memikulnya karena kita tidak mau menghina Allah. Tetapi, menghina Allah hanya supaya terhindar dari penderitaan badani, berarti melemparkan diri sendiri ke dalam penderitaan yang lebih berat lagi. “Kejahatanmu akan menghajar engkau, dan kemurtadanmu akan menyiksa engkau! Ketahuilah dan lihatlah, betapa jahat dan pedihnya engkau meninggalkan TUHAN, Allahmu” (Yer 2:19). – Karena itu, katakanlah berulang-ulang: “Lebih baik mati daripada dosa besar!”

3.      Renungkanlah bahwa St. Ludovikus tidak dapat berbahagia memiliki kerajaannya seandainya saja dia untuk itu harus mengucapkan sumpah yang menghojat Allah. Dapatkah seorang Kristen menikmati harta milik dan kehormatan duniawinya bila dia untuk memperolehnya harus melakukan dosa besar? Dapatkah dia sungguh menerima dan menikmatinya, sementara dia selalu dihadapkan pada kenyataan bahwa pada masa depan dia akan dijebloskan ke dalam api neraka? Dia tidak lebih dari Damocles yang tidak dapat menikmati pesta meriahnya, ketika dia melihat sebilah pedang terhunus di atas kepalanya, tergantung pada sehelai rambut. Tentulah, lebih baik mati bersama St. Ludovikus di negara asing di antara orang-orang yang terserang wabah, dan mempersembahkan hidupnya dengan melakukan kaya cintakasih.

DOA GEREJA

Ya Allah, yang telah mengangkat St. Ludovikus, Pengaku Iman-Mu, dari kerajaan duniawi ke dalam kebahagiaan Kerajaan surgawi, kami mohon kepada-Mu, anugerahkanlah kepada kami, berkat jasa dan pengantaraannya, supaya kami dapat dipersatukan dengan Raja segala raja, yakni Putera-Mu, Yesus Kristus, yang hidup dan meraja kini dan sepanjang segala masa. Amin.

Sumber: The Franciscan Book of Saints, ed. by Marion Habig, ofm., © 1959 Franciscan Herald Press. Diterjemahkan oleh: Alfons S. Suhardi, OFM.