Peziarah Dan Orang-Orang Asing Bersama Dengan Segenap Ciptaan

Peziarah Dan Orang-Orang Asing Bersama Dengan Segenap Ciptaan

(Surat dari Minister General OFM untuk para Saudari Klaris pada Hari Raya S. Klara 11 Agustus 2015)

st clareSaudari-saudari yang terkasih,

Surat ensiklik Sri Paus Fransiskus tahun ini, Laudato si’, menyempatkan kita membagikan beberapa permenungan seputar “perhatian untuk memelihara rumah kita bersama” berdasarkan pada pengalaman St. Klara dari Asisi. Saya berpikir, pentinglah untuk bersama dengan kalian mendalami kembali seruan kuat kepada kita semua perihal ekologi kristiani.

Klara, kita tahu, tidaklah secara langsung berbicara perihal masalah ini, tetapi orang dapat menemukan dalam hidupnya dan dalam rulisan-tulisannya beberapa guratan yang mengungkapkan pemahamannya dan yang dapat menyajikan kepada kalian beberapa tantangan bagi para Saudari Miskin zaman sekarang ini.

Hendaknya dilahirkan dan melahirkan

Klara telah mengakarkan dirinya di dalam kesadaran bahwa dia telah dilahirkan dan terus menerus menerima kehidupan dan makanan dari tangan-tangan Bapa yang penuh belas kasihan, “yang memberikan makanan kepada burung-burung dan pakaian kepada bunga-bunga bakung di padang” (Priv 6): dia memandang dirinya sebagai seorang puteri terkasih, dan mengenal serta mengakui adanya garis kekeluargaan Allah di hadapan hamba-Nya Fransiskus.

Bapa, St. Fransiskus, adalah “tukang kebun”nya (WasKl 38) dan lagi, bila dia dalam hal ini mengacu pada dirinya sendiri, Klara memilih bagi dirinya sendiri gambaran sebutir benih, ‘tananaman kecil”nya. Menjelang akhir hayatnya, dalam Wassiatnya dia menulis, “Saya, Klara, tanaman kecil bapa yang kudus” (WasKl 37). Dia memakai gambaran ini yang mengungkapkan adanya suatu kebutuhan untuk diberi makan dan ditopang dalam kelemahannya.

Klara mengakui kebutuhan dirinya untuk menerima perhatian dan mengakui bahwa dia itu tanaman kecil, tetapi dia juga mengakui dirinyasendiri, dalam hubungannya dengan orang-orang lain, sebagai seorang ibu yang memberi makanan dan perhatian: dia mengetahui kebijaksanaan dan kesabaran petani dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan para saudarinya. Sedemikian banyak kesaksian bagi Proses Kanonisasinya mengungkapkan kemampuannya untuk mendengarkan dan perhatiannya bagi setiap suster satu per satu. Baginya, para saudari itu adalah anugerah yang diterimanya dari tangan Bapa (bdk. WasKl 25): suatu harta karun yang harus dijaga dengan kelembutan dan kekuatan, dengan menempatkan dirinya demi pengabdiannya pada panggilan seriap orang.

Klara berbela rasa dan penuh perhatian pada tubuh dan jiwa para susternya (bdk. Proc 8.3). Marilah kita mendidik diri dalam “budaya memelihara perhatian, culture of caring” ini (Laudato si’,231), marilah kita menciptakan keutuhan dalam hidup kita, tidak menempatkan tubuh kita berlawanan dengan jiwa: “Belajar menerima tubuh kita, memberi perhatian dan memeliharanya serta menghormatinya dalam arti yang sepenuhnya, itu semua merupakan unsur yang hakiki dari ekologi manusiawi sejati mana pun.” (Laudato si’, 155). Hal ini mungkinlah memanggil kalian para suster dan komunitas untuk bertanya kepada diri kalian sendiri bagaimanakah kehidupan batin kalian dicatu dan dipelihara, bagaimana hubungan antara para suster itu dipelihara dan diberi umpan. Apakah kalian mengizinkan diri kalian dibentuk dalam kebijaksanaan alam ciptaan? Apakah tindakan-tindakan yang sederhana, yang terjadi setiap hari, menjadi bagi kalian parabel-parabel Injil mengikuti teladan Yesus, yang mewartakan Kerajaan Allah dengan realitas-realitas hidup sehari-hari seperti roti, benih, buah anggur, gandum… (bdk. Laudato si’ 97).

Ucapan syukur dan sharing

Aspek ke dua yang disoroti oleh sumber-sumber itu mengingatkan kita akan hubungan Klara dengan barang-barang ciptaan. Sebagai orang yang miskin, “sisa-sisa potongan daging, cuwilan-cuwilan roti yang dibawa kembali sebagai derma (kepada mereka), diterimanya dengan riang gembira, dan dia pun menerima roti-roti segar sehat dengan kesedihan tertentu; Dia lebih bersorak gembira di hadapan hal-hal yang sederhana rendahan,” demikian dicatat dalam Legenda (LegKl 9). Di dalam dirinya terdapat ungkapan syukur, penghargaan dan terimakasih atas semua yang dihadiahkan. Sikapnya yang ditengarai dengan kesederhanaan menunjukkan dengan sangat jelas adanya jarak yang luar biasa jauh dari mentalitas konsumeris dan “budaya gampang membuang, culture of waste” (bdk. Laudato si’ 16.22.43.123.220) yang sekarang ini sangat mempengaruhi relasi kita dengan orang-orang dan macam-macam benda. Remah-remah roti, yang dibuang dari meja orang-orang kaya, menjadi sumber kegembiraan baginya, karena memberi kesempatan padanya untuk lebih penuh menikmati rasa nikmat kemiskinan. Klara tahu bagaimana harus menerima pemberian sepotong roti yang diberikan sebagai derma, karena dia menemukan di dalamnya kebaikan dari sang Pemberi. Dia tidak menginginkan dan tidak mencita-citakan suatu kelimpahan: dia berbahagia dengan apa-apa yang memang sungguh diperlukan, dia sudah merasa dipuaskan dengan hal-hal yang secukupnya saja, karena dia mengetahui bahwa “bilamana suatu makanan dibuang begitu saja, itu seolah-olah makanan itu telah dicuri dari meja orang miskin” (Laudato si’ 50).

Klara tidaklah menyalah-gunakan kegunaan alam ciptaan, sebaliknya dia menerimanya dengan ramah tamah sebagai pemberian, anugerah, dengan jalan menerima barang-barang itu sebagai fungsi kehidupan yang memenuhi kebutuhannya, tetapi tanpa memiliki barang-barang itu. Karena itu dia mampu terbuka untuk berbagi secara murah hati dalam apa pun yang telahd ia terima. Suster Cecilia berkata bahwa Klara telah menyuruh memberikan setengah dari satu roti yang tersisa di biara kepada para saudara (bdk. LegKl 10). Dengan demikian dia melaksanakan dalam praktek untuk membagi dua secara sama banyak, untuk para suster – yang waktu itu ada sekitar 50 orang – dan para saudara, yang dapat jadi berjumlah empat orang (lihat RCl 12.5-7). Dengan sepenuh hati Klara membiarkan dirinya ke dalam tangan-tangan penyelenggara dari Bapa segala belas kasihan, yang tetap menjamin makanan bagi mereka yang menaruh kepercayaan pada-Nya; karena ia ingin membuktikan “Lebih baiklah kemiskinan orang-orang benar daripada harta karun besar orang yang jahat.” (Mzm 37,16). Dia membagi- bagikan apa yang telah dia terima, dengan menempatkannya demi kegunaan semua orang; dia tahu bagaimana orang harus menerima tanpa menyalah gunakan pemberian, mengembalikannya dengan penuh percaya diri dan kemurahan hati dengan membagikannya dengan para saudara.

Sosok Klara ini merupakan sebuah gaya yang mempertanyakan kalian, para Suster dan Saudara-saudara Dina, perihal penggunaan kita atas barang-barang kekayaan dan bagaimana kita mengelola sumber-sumber yang kita miliki; dibukanya kedok kita yang mencari bahkan meng-klaim keistimewaan-keistimewaan, yang mengakibatkan kita mengharapkan memiliki lebih banyak dari orang-ornag lain; hal ini menantang kita dalam hal sejauh mana kita dapat saling berbagi bersama dengan para saudara dan saudari kita. Hal itu mengundang kita untuk mengejar sikap tahu berterimakasih dan bukan sikap loba dan suka menimbun-nimbun berbagai hal.

Bukankah suatu relasi yang sehat dan patut dengan barang-barang ciptaan, akhir-akhirnya mengingatkan kita akan adanya pilihan kedinaan (minoritas) yang telah peluk itu? Tidakkah hal itu mengundang kita untuk terus menerus menjauhkan diri dari semangat menimbun, memiliki, menyia-nyiakan dan mengajak kita untuk menerima semuanya dengan penuh rasa syukur serta mengembalikannya dengan saling berbagi?

Kekaguman Atas Dan Pujian Kepada Keindahan Alam Ciptaan

Sikap Klara yang bebas tak terikat di hadapan alam ciptaan memungkinkan dirinya terbuka untuk mengenal dan mengakui kehadiran Sang Pencipta di dalam keindahan karya-Nya. Suster Angeluccia menceriterakan bahwa ketika Klara mengutus suster-suster ke luar biara untuk pelayanan tertentu, “dia menasehati mereka supaya bila mereka melihat pepohonan yang indah, berbunga dan rimbun dedaunannya, mereka haruslah memuji Tuhan” (Proc 14,9).

Para suster kepada siapa Klara mengarahkan perkataanya itu, mempunyai sesuatu yang harus mereka kerjakan, tetapi perhatian mereka hendaknya tidak hanya ditarik dan diarahkan atau terbatas pada hal-hal yang harus mereka lakukan saja, mereka pun hendaknya memperluas pandangan mereka pada dunia dan apa pun yang Tuhan tempatkan di dalamnya. “Dengan belajar melihat dan menghargai keindahan, kita belajar mengenyahkan semangat pragmatisme yang berpusat pada diri sendiri. Bila seseorang tidak belajar berhenti dan mengagumi sesuatu yang indah, kita tidak usah heran dan terkejut bila dia memperlakukan segala sesuatu sekedar sebagai sasaran yang harus dipergunakan atau disalah-gunakan tanpa keraguan sedikit pun.” (Laudato si’,215). Inilah pandangan penuh perhatian dari mereka yang menangkap keindahan, keselarasan dan hidup barang-barang alam ciptaan: Klara mampu melihat keindahan dan kebaikan di atas kegunaan.

Dan, mengikuti ajaran Fransiskus, dia menyatakan bahwa “melihat” ini harus membawa kita ke “mempercayai”, yang diungkapkan dalam nyanyian pujian kita kepada sang Pencipta. Pujian kepada Tuhan lebih unggul daripada karya-karya-Nya, bahkan bila karya-karya itu baik, dan hidup kita hendaknya menjadi sebuah madah pujian bagi Tuhan karena anugerah alam ciptaan itu. Kita perlu memandang (alam ciptaan Tuhan itu) dengan penuh perhatian, hormat dan rasa syukur (bdk. Laudato si’, 85, 233).

Sri Paus mengingatkan kita “Bila kita mendekati alam dan lingkungan tanpa keterbukaan diri untuk terperangah dan kagum, bila kita tidak lagi berbicara dengan bahasa persaudaraan dan keindahan dalam relasi kita dengan dunia, maka sikap kita akan berupa sikap penguasa-penguasa, orang-orang penikmat, dan mengeksploitir secara kasar, tidak mampu membatasi kebutuhan-kebutuhan yang berjangka pendek. Sebaliknya, bila kita merasa diri dipersatukan secara mesra dengan semua yang ada, maka selanjutnya keugaharian dan sikap memelihara akan dengan sendirinya muncul dan berkembang” (Laudato si’,11). Hal ini menjadi rangsangan bagi setiap suster untuk mengembangkan dan memelihara suatu sikap pujian kepada sang Pemberi sebagai balasan atas semua anugerah-anugerah-Nya.

Dan di dalamnya terdapat juga undangan bagi komunitas untuk menentukan pilihan-pilihan demi kepentingan lingkungan, keugaharian dan berhati-hati untuk membuang, mengelola hidupnya secara bijak dan berpandangan jauh, demi untuk memberi makna pada alam sekitar, memelihara keindahan dan harmoni alam sekitar kita (bdk. Laudato si’, 67).

Dari Pujian ke Partisipasi dalam Karya Penciptaan Tuhan

Klara memiliki kesadaran mendalam bahwa dirinya adalah seorang ciptaan, tetapi dia juga merasa dirinya dipanggil untuk bekerjasama dalam karya penciptaan Tuhan. Bekerja adalah rahmat yang diberikan Tuhan kepadanya, dan hendaknya demi melayani semuanya: “Hendaknya para saudari yang telah diberi rahmat bekerja oleh Tuhan bekerja dengan setia dan bakti sesudah Ibadat Pagi, menekuni pekerjaan yang melingkupi berbagai bidang hidup demi kepentingan bersama” (RKl 7.1).

Perihal pekerjaan muncullah garis merah yang sama: pelayanan merupakan suatu kebutuhan bersama yang menuntut dari setiap suster “kesetiaan dan kebaktian”. Ini adalah sebuah jalan memberikan pelayanan dan perhatian, cara menjadi penjaga yang baik atas sesama saudari dan saudara-saudara mereka, cara untuk mencari dan mengungkapkan keindahan sebagai sebuah “tanda” wajah Allah yang indah. Pekerjaan dimengerti sebagai jalan kehidupan dan pelayanan, melawan semua bentuk mau memiliki dan mencari pujian, (pekerjaan) merupakan tempat terhormat yang di dalamnya harus diusahakan tetap hidupnya “semangat doa dan kebaktian suci dan kepada semangat inilah hal-hal yang lain dalam hidup kita di dunia ini harus diabdikan” (RCl 7.2); mencari “perkembangan dan pengudusan pribadi haruslah dicari di dalam kait mengait antara rekoleksi dan bekerja” (Laudato si’ 126).

Mungkin bergunalah untuk mengagumi dimensi kerja dalam hidup kalian dan dalam pernik-pernik komunitas. Kita perlu bertanya kepada diri kita sendiri bila waktu kerja demi kepentingan para saudari dan saudara, bila dihidupi dengan keyakinan bw dirinya mengambil bagian dalam karya penciptaan Tuhan dan dengan tanggungjawab bahwa dirinya adalah penjaga sesama kita dan ciptaan-ciptaan lainnya. Inilah pertanyaan-pertanyan yang secara dangkal diberikan jawabannya yang mudah, tetapi bahwa dalam kenyataan menyangkut bidang bagaimana mengelola waktu, corak kehidupan komunitas, berbagai kemungkinan dari setiap suster, berbagai suasana kehidupan.

Para Suster yang sangat kami sayangi, Klara, mengikuti teladan Fransiskus, meninggalkan bagi kalian suatu gaya hidup yang dapat diringkaskan dalam beberapa patah kata: untuk menjadi “peziarah-peziarah dan orang-orang asing di dunia ini” (RKl 8.2).

Para peziarah hanya membawa serta apa-apa yang hakiki dan perlu, mereka tidak membuang apa pun, tidak juga menimbun apa pun, sebaliknya mereka menerima segala sesuatu sebagai pemberian dan mereka mengembalikan segala sesuatu dengan penuh rasa syukur. Orang asing adalah tamu, orang yang hanya lewat, mereka tidak dapat mengambil apa pun sebagai miliknya sendiri, juga mereka tidak dapat menunutut hak-hak dan keistimewaan-keistimewaan, sebaliknya mereka mempercayakan diri pada kemurahan hati orang lain dan pada penyelenggaraan Tuhan. Gaya ekologis hidup Kekristenan Fransiskan ini sangatlah laku sekarang ini! Bila kita belum memperoleh arah jelas dalam arah tujuan ini, kita minta Tuhan anugerah “’pertobatan ekologis,’ yang dengannya efek perjumpaan mereka dengan Yesus Kristus menjadi jelas dalam relasi mereka dengan dunia di sekitar mereka. Menghidupi panggilan kita sebagai pelindung karya tangan Allah adalah hakiki bagi hidupnya sebuah keutamaan; ini bukanlah sekedar pilihan tambahan atau sebuah aspek nomor dua dari pengalaman Kekristenan kita.” (Laudato si’, 217). Bila kita berhadapan dengan kebutuhan mendesak ini, kita tidak dapat tetap acuh tak acuh. Kita perlu dibentuk, sebagaimana Sri Paus mendesak kita, untuk berada dalam “kesederhanaan hidup yang bertanggungjawab, dalam kontemplasi penuh rasa syukur atas dunia ciptaan Tuhan ini, dan dalam sikap penuh perhatian dan keterikatan pada kebutuhan-kebutuhan orang miskin dan perlindungan atas lingkungan hidup” (Laudato si’, 214). Masa depan rumah kita bersama juga bergantung pada gaya hidup rumah kita! Karena itu kita perlu mendidik diri kita dalam ekologi hidup keseharian yang merupakan suatu ekspresi sebuah sprititualitas Kristiani dan Fransiskan, dengan mempercayakan kepada Tuhan komitmen kita untuk memelihara dan menyayangi kehidupan dalam segala dimensinya.

Akhirnya, saya mengundang kalian untuk berdoa dan memohon kepada Tuhan bagi semua orang yang mempunyai tanggung jawab politis sosial dan ekonomis bagi masa depan planet kita ini, sehingga alam ciptaan ini akan dicintai, dihidupi dan dijaga sebagai rumah kita bersama.

Saya ucapkan kepada kalian selamat berpesta!

Roma 15 Juli 2015
Pesta St. Bonaventura, Doktor Gereja

Fr. Michael Anthony Perry, OFM
Minister General dan hamba.

Tinggalkan Komentar