Seandainya Indonesia Di Palangkaraya

bersama panitia penyelenggara, Diskusi Buku SEANDAINYA INDONESIA TANPA KATOLIK, Palangkaraya, 3 April 2016

Bersama panitia penyelenggara, Diskusi Buku SEANDAINYA INDONESIA TANPA KATOLIK, Palangkaraya, 3 April 2016

Rencana awal adalah diskusi buku yang ditulis oleh Eddy Kristiyanto OFM berjudul SEANDAINYA INDONESIA klTANPA KATOLIK (OBOR 2015). Setelah sepakat dengan Panitia akhirnya penulis buku mendarat di Palangkaraya pada Sabtu, 2 April 2016.

Mendiskusikan buku tanpa buku? Itu nonsense. Bekerjasama dengan Penerbit OBOR, buku segera disediakan dan bisa hadir di Palangkaraya, Kal-Teng, tepat waktu.

PEMUDA KATOLIK

Dua mobil menjemput saya di Bandara Tjilik Riwut. Saya perlu menunggu beberapa saat karena penjemput belum berada di sekitar bandara.

Dari bandara, kami menuju warung ikan bakar. Sebab waktu makan malam telah tiba. Menu beragam dipesan: ikan patin, terung bakar, sayur rebung berkuah, daun singkong rebus, tempe, sambal, dan teh panas.

Kami semua bersembilan dan makan “tanpa ampun”. Kata ini sinonim dengan “makan bunuh”, sambil diskusi aneka macam topik, tetapi terutama budaya Dayak.

Setelah yang berkewajiban menunaikan tugas pembayaran, saya diantar ke Pastoran Katedral Santa Maria di pusat kota Palangka. Rm Patricius, imam diosesan menyambut kami, dan sendiri mengangkat koper saya ke kamar ber-AC yang telah disiapkan.

Kami masih agak lama mengobrol di ruang makan pastoran bersama “tim penjemput”. Topik pembicaraan pun melebar ke mana-mana, bahkan sampai Ahok.

Turut bergabung kemudian Ketua Komisariat Pemuda Katolik yang beberapa jam sebelumnya terpilih, Rm Sil. Subandi, putra Dayak, Vikjen Keuskupan Palangka, yang tinggal di Paroki Katedral ini.

Kepada kedua penjasa: Rm Patricius dan Rm Subandi, Panitia menyerahkan buku SEANDAINYA INDONESIA TANPA KATOLIK. Disebut “penjasa”, karena yang terdahulu memberikan akomodasi yang memungkinkan saya melepas 2 malam di pastoran. Yang kemudian berkenan melantik Pengurus Inti Komisariat Pemuda Katolik Provinsi Kalteng.

Di KNPI

Minggu, 3 April, kami awali dengan Ekaristi, yang didahului dengan sarapan di pastoran. Pada Minggu Kerahiman Ilahi itu tak ada yang istimewa.

Paduan suara nyaris tidak ada. Lagu yang dipilih pun lazim-lazim saja. Langgam menyanyi sangat lamban. Loudspeaker sangat peka dan bagus. Rupanya pemasang alat itu memperhatikan faktor akustik.

Vikjen, selebran utama Ekaristi ini, berhasil menangkap pesan bacaan-bacaan, dan menyampaikannya secara kontekstual dan tepat. Dalam ekaristi ini dilantik jajaran pengurus inti Komisariat Pemuda Katolik Provinsi Kalteng. Hadir di sini Sekjen Pemuda Katolik Pusat, Jakarta.

Dalam surat undangan, cara Diskusi Buku mulai pk 10.00 – 13.00. Tetapi entah disebabkan oleh alasan apa, acara diskusi tersebut dialihkan ke pk. 13.00. Acara sebelum makan siang adalah sosialisasi tentang pemberdayaan desa.

Mengingat perubahan jadwal tersebut, saya minta diantar ke Gedung KNPI, tempat acara berlangsung pk 12.00. Sebelum pk 13.00 saya isi dengan mematangkan materi ceramah di Denpasar, Bali, 4-5 April 2016.

Diskusi buku diawali dengan presentasi Dr. Marko Makrim, tamatan UI Bidang Sosiologi – seorang Protestan. Presentasi saya menyusul. Sebab Dr. Usman, Dosen Pasca Sarjana STAIN, Palangka masih dalam perjalanan dari Pekanbaru.

Para pembedah buku SEANDAINYA INDONESIA TANPA KATOLIK, Palangkaraya, 3 April 2016. dari kiri: Dr. Marko Nahim (Protestan), Eddy Kristiyanto (penulis buku), Dr. Usman (Islam).

Para pembedah buku SEANDAINYA INDONESIA TANPA KATOLIK, Palangkaraya, 3 April 2016. dari kiri: Dr. Marko Nahim (Protestan), Eddy Kristiyanto (penulis buku), Dr. Usman (Islam).

MENYISAKAN PEKERJAAN RUMAH

Diskusi buku tentang SEANDAINYA INDONESIA TANPA KATOLIK di Palangkaraya ini menarik perhatian. Sebab organisasi-organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan pada mengutus wakil-wakilnya untuk hadir.

Nyaris tak ada pandangan mencela dari para pembedah. Masih terbersit harapan akan munculnya buku berikutnya yang secara substansial menjawab soal: Bagaimana seandainya Indonesia tanpa Katolik.

Terminologi “minoritas” atau “kawanan kecil” juga disoroti berikut kontribusi kaum penyandang terminologi tersebut. Tetapi, terasa tak ada pertanyaan yang tidak dapat dijawab secara terurai.

Pokok yang diuraikan oleh R. Girard tentang struktur mimesis dalam mekanisme “kambing hitam”, tak luput dari rujukan penulis buku. Kaum “minores” acapkali menjadi tumbal dalam format kekerasan yang dilakukan kaum yang merasa mayoritas.

Meski demikian kaum minores atau kawanan kecil hanya akan segera punah jika tidak memiliki spirit (elan vital) yang kokoh. Arus evolutif yang terjadi dalam kehidupan ini menyatakan, bukan yang kuat yang selalu menang, melainkan yang mampu menyesuaikan diri (beradaptasi).

Tidak lupa disebutkan adanya beberapa pekerjaan rumah yang masih perlu digarap oleh kawanan kecil Katolik dengan intensif. Pekerjaan itu menyangkut inkulturasi, katekese, kaderisasi, JPIC, preferential option for the poor, Komunitas Basis Gerejawi (KBG), dan pemberdayaan.

Sejauh pekerjaan rumah menuntut dilaksanakan, maka kolaborasi dengan banyak pihak, termasuk masyarakat setempat dan bahkan pemerintah, merupakan keniscayaan. Kolaborasi ini tidak bisa tidak jika “kawanan kecil” mau tetap eksis dan berkontribusi.

(Pertukaran gagasan tentang) SEANDAINYA INDONESIA (TANPA KATOLIK yang didiskusikan) di Palangkaraya ini membuka cakrawala baru bagi banyak pihak. Sekali lagi terbukti, menulis-diskusi-berjumpa-belajar-berefleksi bersama merupakan penajaman kemanusiaan kita.****

Kontributor: Eddy Kristiyanto OFM

Tinggalkan Komentar