Salah satu acara dalam rangka Dies Natalis, Senin, 16 Maret 2015, Sekolah Tinggi Filsafat “Driyarkara” mengadakan peluncuran, bedah-diskusi buku. Karya yang dibedah berjudul: SEANDAINYA INDONESIA TANPA KATOLIK. Diterbitkan oleh OBOR, milik KWI. Tebal: 300 halaman.
Setelah dua pembicara, Prof. Dr. Jan S. Aritonang dari Sekolah Tinggi Teologia, Jl. Proklamasi, Jakarta; dan Dr. Media Zainul Bahri dari Universitas Negeri Indonesia Syarif Hidayattullah, Ciputat, menyampaikan gagasan, tibalah saatnya penulis buku tersebut penyampaikan tanggapannya. Berikut ini dipromosikan tanggapan Sdr. Eddy Kristiyanto dalam acara tersebut.
PENCARIAN YANG LAMA
“Dari tempat ini saya merasa perlu mengucapkan terimakasih kepada dua pembicara: Yang Terhormat Bapak Jan Sihar Aritonang dan Yang Terhormat Bapak Media Zainul Bahri, terutama atas kesediaan Bapak untuk menjadi saksi mata bagi ziarah intelektual saya, sekaligus memberikan perhatian pada sebagian dari pertanggungjawaban CARA SAYA MERAWAT INGATAN melalui karya tulis ini. Terimakasih atas catatan yang berguna terutama untuk penajaman satu dua konsep yang sesungguhnya masih belum tuntas didiskusikan.
“Di samping itu, saya merasa perlu berterimakasih pada para mahasiswa yang selama lebih dari 15 tahun masa penyeberangan saya, telah memaksa saya melakukan loncatan inteligentia. Dikatakan “penyeberangan”, mengingat spesialisasi saya adalah Masalah Sosial Keagamaan Eropa Barat dalam Perspektif Historis, terutama pada sosok Pendiri Sosialisme Katolik dan Uskup Kaum Buruh, Wilhelm Emmanuel von Ketteler. LHA KHOQ BERANI-BERANINYA SAYA MENULIS SEJARAH PERGUMULAN KATOLIK DI INDONESIA?
“Para mahasiswa – dan sesungguhnya SekolahTinggi Filsafat Driyarkara ini – terus-menerus memberi peluang untuk berkreasi supaya spesialisasi itu diterjemahkan dalam konteks konkret di Indonesia, di mana nilai Kabar Sukacita mendapatkan lahan yang subur dan penuh humus.
“Selama lebih dari 15 tahun saya mencari, membandingkan, bertanya, meneliti, membaca, mengoleksi, mencatat, menyeleksi, dan ternyata tidak semuanya ada gunanya. Dari semangat serta kedalaman pencarian itulah kemudian lahirlah monografi ini, yang mengungkap pergumulan, kecemasan, dan harapan yang tak berkesudahan. Dalam arti tertentu, menulis buku sejarah yang baik dan benar serta bermanfaat itu tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama karena tuntutan kepersisan, objektivitas (interpretasi), konvergensi sumber, dan lain sebagainya.
“Karya yang jauh dari sempurna ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyamai atau mengungguli buah pena para sejarawan gereja baik Protestan maupun Katolik. Tidak! Sebab karya historis sederhana ini memiliki misi tersendiri. Bagi saya karya ini menjadi sarana pembebasan, bahkan media perjuangan. Bisa juga dikatakan, SEANDAINYA INDONESIA TANPA KATOLIK menunjukkan eksistensi kebermaknaan. Selirih apa pun suara Kawanan Kecil Katolik, ia patut diperdengarkan, justru karena suara ini mengungkapkan kekayaan sekaligus tantangan menjadi Indonesia.
SEANDAINYA ITU FAKTA
Kemudian, saya mencatat beberapa pokok pikiran baik dipungut dari para pembedah buku maupun dari diskusi di ruangan ini. Dalam tanggapan saya ini beberapa sorotan akan saya kedepankan.
1. Pada aras bahasan buku ini terbentang pokok pemikiran tentang Komunitas Kristen Katolik yang tidak pernah menjadi agama mayoritas sejak institusi keagamaan ini bersinggungan dengan Ibu Pertiwi, yang bernama Nusantara. Saya nyaris dibebaskan dari ikatan data statistik entah dari Badan Pusat Statistik entah dari Konferensi Waligereja Indonesia. Tentang data dari kedua sumber ini, ada perbedaan mencolok. 3 atau 6 juta? Hal ini berhubungan bantuan finansial dari pemerintah. Penghitungan BPS kecil. Mengapa? Posisi minoritas Katolik di Indonesia dalam tatapan saya “menguntungkan” karena GARAM itu sebaiknya sedikit. Konon ….. Ini cerita isapan jempol tetapi ini pun bisa bersifat historis …. sesama kita yang beragama Protestan (dengan ratusan denominasi) lebih menghayati panggilan sebagai “TERANG”. Jadi, Katolik meresap, tak mencolok, tapi efeknya terasa. Protestan mencerahkan, cenderung menyilaukan. Tetapi keduanya, minoritas dengan karakternya sendiri-sendiri.
2. Sejak awal keberadaannya di wilayah yang kemudian disebut Indonesia, Kekatolikan mengalami evolusi yang sangat signifikan, dari agama tidak asli Indonesia menjadi bagian tak terpisahkan dalam rangka menjadi Indonesia. Konsekuensi daripadanya adalah nyaris agama-agama asli Indonesia tersingkirkan dengan bantuan agama-agama impor: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, terakhir Khong Hoe Tjoe. Dalam konteks ini, proses Indonesianisasi Gereja Katolik menjadi jawaban pas bagi radikalisasi dan “pemurnian” yang akhir-akhir ini dipromosikan golongan tertentu, yang menganggap “indonesianisasi” sebagai sinkretisme.
3. Dalam tatapan saya kekristenan, termasuk di dalamnya Katolik, itu multiinterpretable. Maksudnya, dapat ditafsirkan beraneka ragam, dan dengan demikian tidak ada suatu lembaga atau komunitas yang mendaku sebagai satu-satunya pemegang amanah penafsir yang autentik, yang paling benar, dan penafsiran yang lain daripadanya sebagai kekeliruan. Hal itu sangat nyata dengan eksistensi komunitas Nestorian yang diinformasikan pernah eksis di Barus. Apakah mereka itu Kristen, jika mereka menyangkal dan menolak salah satu pilar utama Kristianitas, terutama mengenai Yesus Kristus? Diskursus tentang Katolik di Indonesia dengan mendudukkan prinsip historis kontinuitas dan diskontinuitas, saya pandang tidak relevan. Tetapi, relevansi komunitas Nestorian dalam buku ini terletak dalam konsiderasi berikut ini. (1). Kaum Nestorian sendiri mengklaim diri sebagai Gereja. (2). Anggota Gereja Nestorian ditengarai – menurut kesaksian Al-Armini, yang juga disebutkan dalam karya Guillot dalam “LOBU TUA” – pernah hadir di Barus. (3). Nestorius dan gerakannya kendati pernah dikutuk dalam Konsili Efesus (431), tetapi ajarannya tak dapat dibekukan. (4). Kalau toh ada keterkaitan dengan kekatolikan, mungkin gereja itu dapat dikatakan “TELAH HADIR DI INDONESIA SEBELUM KEKATOLIKAN”. Meskipun arus besar komunitas ini dalam perkembangannya mengalami evolusi dan bergabung dengan Gereja Katolik, terutama mereka yang memiliki ritus Malabar-Malancara.
4. Sejumlah martir, yakni orang-orang yang mati syahid demi membela iman, sekurang-kurangnya karena orang-orang itu beragama Katolik dan menjadi objek kekerasan dan penganiayaan. Dionisius dan Redemptus dari Ordo Karmelit, Annunciacion dan Lorenzo Garalda dari Ordo Fransiskan, Antonio Ventimiglia dari Kongregasi Theatini, Sanjaya dari Semarang, Albrecht dan Dewanto dari Serikat Jesus, dlsb. Mereka berada di daerah rawan konflik, mempertaruhkan segala-galanya demi menjadi perisai kemanusiaan dan membela pilihannya sebagai orang beriman. Kita boleh ingat adagium Uskup Lyons, Martir, yang berbunyi, “GLORIA DEI VIVENS HOMO” Kemuliaan Allah itu nyata ketika manusia hidup layak manusiawi. Yang perlu dibela itu kehidupan yang bermartabat. Allah dalam arti tertentu tak perlu dibela dan tak perlu diselamatkan oleh manusia.
5. Kekatolikan seiring dengan proses politik, yang menjadikan Indonesia Barat sebagai pusatnya, seringkali dikaitlekatkan dengan Jawa. Indonesia terlalu luas untuk tidak hanya mengatakan tentang Jawa. Ada proses dahsyat yang membongkar ISOLASI. Jika mau jujur secara historis: bagaimana banyak daerah terpencil, ganas, pedalaman, yang serba minim sarana-prasarana ditembus oleh semangat “PEKABARAN INJIL”: Papua, Flores, Mentawai, Nias. Di banyak tempat Negara (pemerintah negeri) ini absen, tetapi Kekatolikan hadir. Dalam arti ini benarlah, bahwa wilayah-wilayah yang terisolasi itu menjadi terbuka bagi dunia karena kerja keras dalam keyakinan akan “KRISTUS YESUS INJILI”.
6. Ternyata catatan Gereja Katolik memperlihatkan sisi lain, yakni peran tak tergantikan Kaum Non-Klerus, Kaum Awam, yang memiliki panggilan untuk memelihara dengan sungguh iman mereka. NTT menjadi saksi, bagaimana guru-guru agama menjadi penyambung lidah Tuhan. Paulus Ong Ngie yang merawat iman sesamanya di kawasan Pangkal Pinang, ia bagaikan kisah heroik “Orang Samaria yang Baik Hati” (Lukas 10:25-37). Termasuk dalam hal ini tokoh awam seperti Barnabas Sarikrama. Juga, para biarawati, yang menjadi garda depan, menyiapkan lahan bagi pelayanan kemanusiaan tanpa merepotkan diri pertama-tama penambahan jumlah kawanan domba. Intinya, semakin disadari sepenuhnya, kepedulian dan keterlibatan orang Katolik dalam dunia Indonesia, meskipun tetap menjadi pekerjaan rumah kita semua: “MENGAPA WILAYAH YANG MAYORITAS PENDUDUKNYA BERAGAMA KATOLIK TINGKAT KORUPSI DAN KEMISKINANNYA JUGA TINGGI?”
7. Katolik Indonesia berupaya mengapresiasi dan mendalami kebudayaan. Sentuhan kemanusiaan selalu berpusat pada budaya, yang memuat pula mentalitas atau alam pikiran dan cara bertindak. Pasti tidak termasuk dalam kerangka ini budaya bisu di hadapan ketidakadilan dan kebobrokan. Di sinilah peran kenabian dalam pelbagai skala dan polanya telah dimainkan oleh warga Katolik.
Saya cukupkan di sini. Sebab Anda semua dapat menemukan harta karun dalam buku yang Anda beli dan baca. Nilai harta itu jauh melampaui daripada kekurangan yang tadi ditunjukkan. Tetapi Anda semua akan dibuat mengetahui “kebenaran mana yang tengah disingkapkan” oleh SEANDAINYA INDONESIA TANPA KATOLIK. Terimakasih.”
Kontributor: Sdr. A Eddy Kristiyanto, OFM
[/tab][end_tabset]
Rm.Eddy Kristiyanto,OFM yang terhormat.
Proficiat atas terbitnya Buku terbaru : “SENDAINYA INDONESIA TANPA KATOLIK”
Terimakasih atas ide baru yang sangat cemerlang, dalam tulisan yang dapat membantu merawat ingatan untuk menelusuri kembali jejak-jejak Kekatolikan dalam sejarah Gereja Indonesia.
Dengan terbitnya Buku baru ini, menggugah hati dan pikiran untuk memahami dan mencermati perjuangan Gereja Katolik Indonesia yang sungguh mengalami pasang surut di masa lampau sampai saat ini. Menjadi semakin jelas lewat buku ini, bagaimana kiprah para pendahulu (para misionaris), dalam memperkenankan Yesus di Bumi Nusantara ini. Meskipun sebagai ” kawanan kecil Katolik” tetapi mempunyai peran/sumbangsih yang sangat berarti bagi perkembangan Gereja dan Negara Indonesia. Gereja Katolik sungguh membawa pengaruh positif dalam kehidupan Bangsa ini. bangga menjadi orang katolik , meski kecil dan tidak kelihatan, namun seperti ” garam”, yang bisa memberi rasa dengan pasti.
Penuh harapan dengan terbitnya buku baru , “Seandainya Indonesia tanpa Katolik” ini menggunggah semangat kita sebagai Komunitas kawanan kecil Katolik ini, untuk melanjutkan perjuangan/misi para pendahulu yang tanpa mengenal lelah dan pantang mundur. Ini semua perjuangan yang harus menjadi tanggungjawab bersama.
Trimakasih Rm.Eddy, atas kerja kerasnya, kurang lebih 15 tahun untuk menggagas dan memunculkan ide baru untuk mengangkat kembali “kawanan kecil Katolik” yang sungguh penuh arti dan membawa perkembangan yang sangat berarti bagi Bangsa Indonesia. Matur nuwun
Berkah Dalem
Paula,OSF
Suster Paula OSF yang terhormat,
terimakasih atas tanggapan paripurna Suster. Saya mendengar bahwa Suster bersama kaum religius di Banyumanik merancang dan melaksanakan diskusi bersama secara khusus tentang isi buku tersebut. Kegiatan tersebut menurut hemat saya sangat langka (termasuk dan terutama di antara kaum religius): membaca, diskusi bersama, dan menarik manfaat dari karya langka tersebut. Semoga usaha Suster dan para religius lainnya bermanfaat selain untuk mengasah kemampuan nurani dengan bacaan yang berdayaguna, juga memberi teladan dan keutamaan yang pantas dipuji.Salam dan terimakasih. (Eddy Kristiyanto OFM).