[tab name=”Berita”]
P. Pius Repat Lahir di Jaong, Manggarai, 25 Desember 1933 dengan nama babtis Yakobus. Setelah sekian lama berkarya sebagai imam Fransiskan, Ia menutup usia pada pada tanggal 17 Februari 2014 pkl.09.45 Wita. Ia dianugerahi hidup oleh Tuhan selama 83 tahun. Di saat detik penghabisan ia didampingi para saudara yakni: sdr. Thobi (yang menyampaikan permintaan maaf mewakili persaudaraan Fransiskan dan komunitas serta keluarga jasmani), Sdr. Alo yang sujud berdoa, sdri. Titin yang setia merawatnya, sdr. Dus seorang saudara TOP-er (para calon imam yang sedang melaksanakan Tahun Orientasi Pastoral – red.) yang mencurahkan seluruh perhatiannya kepada sdr Pius dan juga Sdr. Kon seorang perawat yang ringan tangan membantu saudara Pius, dan masih banyak lagi umat.
Saat Akhir
Masa Kritis saudara Pius terjadi beberapa kali bahkan sebelum ia dirawat di rumah sakit umum Ruteng. Saat dia “koma” saudara Thobi yang mendampinginya saat itu melalui seorang Postulan (Sdr. Tony) meminta saudara Gardian (Sdr. Ignas) untuk memberikan sakramen minyak suci. Selama di rumah sakit, saudara Pius tidak mengalami perubahan yang berarti hingga dokter mengijinkan untuk dibawa pulang ke biara Pagal. Pada tanggal 17 Februari mulai pkl.09.00. Wita, pernapasan mulai berdenyut begitu cepat. Maka Sdr. Thoby yang memanggil seorang perawat untuk melihat kondisi pater Pius. Setelah ditensi tekanan darahnya hanya 50/30, Kami tahu saat akhir bagi saudara Pius akan segera tiba. Maka saudara Thoby berbicara dalam bahasa daerah mengatakan bahwa: Pater, Engakau tidak sendirian, kami semua disekelilingmu. Kemudian saudara Thoby juga menyampaikan permohonan maaf mewakili persaudaraan Fransiskan, komunitas terakhir, dan keluarga jasmani dalam ungkapan adat orang Manggarai.
“Denge di’a lite Pater Pius, tae daku Skae koe dite one mai Ordo Fransiskan dite pu’ung eta mai provincial sampe sangged ase ka’e Fransiskan Indonesia, eme mangas botang agu bot one curup, one gauk ge wintuk ko ba weki ngasang dami ase kae,ata toe naud, agu toe patund,kamping ite du ka’eng cama,tegi ampong lami Pater, ai ami kole ampong ite one ata bot ba wekit dite. Neka koe rokot ba le Mori Wowo lites, neka ko ba le Moring Ngaran. Ite kali nggeluk na lakod, tombo koe ata molord kali kudu nggeluk koe lako dite.
Nenggitu kole tae de ase kae ngasang roang agu nao dite silimai Jaong. Pater kudu tampang rangad le Mori Adak Neka koe ba atas salad lite, neka baro rabod Pater, neka rokot jogod. Neho tae dise Pater de di’a kali lakodga.
Setelah ucapan permintaan maaf itu, napas yang tadi berdenyut cepat, perlahan kembali teratur, kemudian hilang. Ia meninggal dalam ketenangan dan damai, tak tampak lagi padanya kegelisahan. Lonceng gereja pun digoyang panjang pertanda duka. Semua umat di Pagal dan Teruk; dari petani hingga pegawai bahkan para pelajar datang dan menangis melepas kepergian Pater Pius tercinta. Setelah dimandikan, jenasah Pater Pius disemayamkan di ruang pelajaran Postulan.
Rentetan Upacara Adat (17/02,2014)
Suatu realita yang tidak terpungkiri adalah bahwa setiap daerah yang masih menjunjung tinggi adat dan budaya local pasti memiliki ritus adat masing-masing termasuk ritus sekitar peristiwa kematian. Demikian pula Daerah Manggarai Flores memiliki banyak ritus adat sekitar kematian. Pada saat Pater Pius meninggal, sebagai putera Manggarai, prosesi sejak kematian hingga pemakaman bahkan tiga hari meninggalnya dilaksanakan dalam konteks adat istiadat Manggarai. Berikut ini saya akan membagikan kepada saudara-saudara, ritus-ritus yang dilaksanakan pada saat Pater Pius Repat meninggal dunia.
1. Ela Haeng Nai Persaudaraan Fransiskan.
Setelah disemayamkan di kelas Postulan, ritus adat pun dilaksanakan yakni Haeng Nai dari Persaudaraan Fransiskan. Ritus ini adalah sebuah Doa yang berisi ungkapan-ungkapan adat. Ritus ini bertujuan untuk memberitahukan kepada yang meninggal bahwa semua anggota persaudaraan hadir di sekitarnya, dan bahwa bukan karena kita kurang mencintai dia atau merawat dia tetapi cinta Tuhan lebih Besar. Sehingga dalam ritus ini ada doa pengharapan agar yang meninggal itu tidak membawa hal yang buruk menghadap Tuhan Yang Maha Esa tetapi hal yang baik saja. Di samping itu diungkapkan juga agar mereka yang ditinggalkan dianugerahi kesehatan jasmani dan rohani serta rejeki. Hewan Korban adalah seekor babi.
2. Ela Haeng Nai ASe-Kae Roang agu Nao dari Jaong
Keluarga Jasmani Pater Pius tiba di Pagal pada Pukul 15.00 Wita. Mereka membawa beras dan Satu ekor babi (cukup besar) untuk haeng Nai dari keluarga Jasmani. Kedua acara Haeng nai ini disaksikan banyak orang dan disampaikan oleh tetua adat yang disebut Sando. Kemudian dilanjutkan dengan misa oleh Sdr. Adri Nahal (sekretaris Gardianat Flores). Pada malam penjagaan jenasa (toko bako), semua umat hadir dan berjaga sampai pagi.
3. Tekang tana (penggalian lubang kubur)
Upacara ini dilaksanakan sesaat setelah Jenasah Pater Pius disemayamkan di ruang pelajaran Postulan. Ritus adat ini dilaksanakan sebelum penggalian lubang untuk makam dimulai. Tujuan ritus ini agar dalam penggalian makam ini tidak menghadapi rintangan yang dapat memperlambat proses penggalian. Hewan korban untuk ritus ini adalah ayam.
18/02/2014
Hari ini tidak ada ritus adat yang dilakukan karena menunggu saudara Narko, sebagai pimpinan persaudaraan Fransiskan Indonesia tiba. Sdr. Narko tiba di komunitas Pagal pada pkl 14.30. Wita, yang disambut oleh semua saudara dan umat yang hadir. Setelah minum, dan berdoa di depan Jenasah Pater Pius, acara Ritus adat pun dimulai.
1. Po’e woja-latung (menahan padi dan jagung)
Ritus ini dilaksanakan dengan tujuan agar rejeki di dalam persaudaraan kita atau pun karya yang pernah ditangani Pater Pius tidak terbawa bersama dia ke dalam kuburan. Sebaliknya agar rejeki itu tetap tinggal bagi orang yang masih hidup. Hewan korban bagi acara ini adalah ayam.
2. Ancem Peti (Tutup Peti)
Setelah acara ritus po’e Woja-Latung, dilanjutkan dengan upacara Ancem Peti. Perlu diketahui bahwa empat hari sebelum Pater Pius meninggal, peti sudah disiapkan atas inisiatif saudara Fridus. Demikian pula perlengkapan pemakaman dan kuburan. Ritus Ancem Peti dilakukan dengan menggunakan ayam sebagai hewan korban. Ritus ini bertujuan agar paku yang dipakukan pada peti tidak terlepas. Setelah ritus ini dilaksanakan, acara selanjutnya adalah penutupan peti dan dipaku. Sdr. Provinsial dan Sdr Sekretaris Gardian memaku salah satu paku pada peti, demikian pula saudara lain, utusan dewan Paroki, Ordo ketiga dan semua anggota keluarga jasmani yang hadir. Tindakan ini merupakan ungkapan simbolis tentang kasih sayang kepada pater Pius yang tidak pernah hilang. Ritus ini juga merupakan bentuk keikhlasan keluarga yang ditinggalkan bagi kepergian Pater Pius ke hadirat Allah yang Maha Esa.
3. Penyerahan Jenasah kepada gereja lokal
Upacara ini sebagai bagian dari tradisi gereja lockl agar semua imam yang meninggal harus disemayamkan di gereja terdekat. Karena sepanjang hidup saudara ini berkarya bagi dan di dalam gereja sebagai imam. Maka pantaslah kalau seorang imam itu harus disemayamkan di gereja. Sebelum jenazah Pater Pius diantar ke Gereja Paroki Kristus Raja Pagal untuk disemayamkan, ada upacara penyerahan dari Ordo yang diwakili oleh Sdr. Narko, Sdr Adri dan sdr Thobi sebagai Jubir adat. Sedangkan dari Gereja Sdr. Tauchen sebagai pastor paroki, Ketua dewan paroki Pagal dan Bapak Ignasius Marut sebagai Jubir adat. Setelah upacara ini selesai, jenazah Pater Pius diantar ke dalam gereja untuk disemayamkan di sana, kemudian dilanjutkan dengan perayaan Ekaristi. Sepanjang malam banyak umat yang datang untuk berjaga dan berdoa.
19/02/2014. Pemakaman.
Perayaan Ekaristi untuk melepaskan jenazah Pater Pius dilaksanakan pada pkl.10.00. wita. Misa dipimpin oleh Sdr. Narko, Rm Vikjen Keuskupan Ruteng, dan Rm. Vikep kevikepan Manggarai tengah dan didampingi oleh 21 orang imam. Setelah perayaan Ekaristi, seluruh umat menghantar jenazah Pater Pius ke tempat peristirahatannya yang terakhir di belakang Biara St. Yosep pagal, tepat di samping kuburan P. Flori sebagai sahabatnya.
22/02/2014. Misa mengenang tiga hari pasca pemakaman: lengka saung ta’a.
Perayaan ekaristi untuk tiga hari meninggalnya Pater Pius dilaksanakan pada pkl 11.30.Wita. Perayaan Ekaristi dilaksanakan di gereja paroki Kristus Raja pagal dan dipimpin oleh saudara Tauchen sebagai guardian, dan didampingi oleh Sdr. Adri, Sdr. Alsis, Sdr. Fridus, Sdr. Thobi dan Sdr. Andre Bisa.
Sebelum perayaan Ekaristi, pada pkl. 09.00, dilaksanakan upacara/ritus adat manggarai yakni: Lengka Saung Ta’a. Upacara ini terdiri dari doa/mantra adat (tudak) yang disampaikan oleh seorang tetua adat (sando), dengan hewan korban adalah babi. Dalam upacara ini dilakukan penumpahan air (Cok Wae), dan pembersihan ruangan tempat jenasah disemayamkan dengan daun hijau segar. Ini adalah tindakan simbolis sebagai tanda selesainya masa berkabung dan kita kembali hidup secara normal serta music dan bunyi-bunyian boleh diperdengarkan lagi dan masyarakat kembali bekerja seperti biasa di kebun. Sebab dalam tradisi orang Manggarai, setiap kali ada orang yang meninggal, masyarakat setempat akan libur dari pekerjaannya sebagai petani sejak orang meninggal hingga hari ketiga yang disebut: ceki telu.
Demikian sharing saya tentang upacara sekitar meninggalnya Pater Pius Repat, OFM. Selamat jalan saudara Pius semoga kamu menemukan kerinduanmu seperti rusa yang merindukan air sungai. Amin.
[/tab][tab name=”Refleksi”]
REFLEKSI – MENATAP TITIK BATAS KEHIDUPAN MANUSIA
…”Tubuhmu yang dulu kekar, legam terbakar mata hari, kini kurus dan terbungkuk…” (lagu Ebiet G. Ade). Menjumpai Pater Pius pertama kali ketika tiba dari Jakarta, hati saya sangat terenyuh. Mengenang kembali waktu saya masih SD dan Pater Pius sebagai pastor paroki Ri’I, kontras benar dengan apa yang tampak di depan mata saya. Mulut yang dulu lantang berkotbah, kini bahkan satu kata pun tak mampu terucapkan, tangan dan kaki yang dulu lincah pergi melayani umat, kini malah bergerak saja butuh bantuan orang lain. Kaki yang dulu gagah melangkah bahkan sekarang tak mampu menopang tubuh yang tidak segemuk dulu. Semua ini terpampang nyata di depan mata saya. Dan bagi saya ini lah realita titik batas kehidupan seorang manusia.
Menatap tubuhnya yang terbaring lesu di atas tempat tidur, dengan tabung oksigen di atas kepala, serta berbagai selang imfus dan bubur masuk ke tenggorokan membuat saya tak mampu menolak ketika kesedihan itu menyelinap ke dalam kalbu. Dia diam, hanya bunyi pernapasannya membuat kita tahu dia masih hidup. Lama terbaring kaku di atas tempat tidur selama di rumah sakit membuat luka menganga leber di punggungnya. Saya bertanya: Tuhan, haruskah saudaraku ini melewati penderitaan yang tak terkatakan ini untuk datang kepada-Mu. Saya berdoa pasrah.
Menanti saat-saat akhir, ketika napasnya berdenyut tidak teratur, adalah saat yang memilukan tatkala saya mengenang kembali saat dia masih bertugas di paroki Ri’i. Aku sudah cukup banyak menyaksikan orang saat menghembuskan pernapasan yang terakhir. Kesemuanya seperti aku sedang menatap titik batas kehidupanku sendiri. Suatu realita yang tidak terhindarkan. Akan tetapi meskipun demikian, aku menemukan kedamaian saat mereka menghembuskan napas yang terakhir. Ini lah titik batas. Di saat itu tampak bahwa keberadaan “ sesame” yang lain adalah sebuah kebutuhan yang melebihi segala kebutuhan yang pernah ada sewaktu muda. Keberadaan orang lain memberikan keyakinan bahwa ia tidak pernah ditinggalkan sendiri. Pengalaman ada bersama Pater Pius di detik akhir hidupnya membuat aku bersykur kepada Tuhan atas anugerah persaudaraan yang melampaui persaudaraan keluarga jasmani. Terima kasih Tuhan. Terimakasih Saudara Pius, engkau telah mengajarkan aku tentang titik batas kehidupan ini.
Kontributor : Sdr. Thobi, OFM.
[/tab][tab name=”Foto-foto”]
[/tab][end_tabset]
Menharukanmmbaca tulisan diatas/.Seapnjang hidupnya PaterPius Jarang terliaht mara
Adat Manggarai sungguh luar biasa kidmatnya untuk orang yang sudah meningggal.