Kendati banyak pihak pada tahun 1999 masih meributkan status dan nasib Timor Timur, yang dikenal juga dengan nama Timor Leste, Saudara-saudara kita bersama dengan saudara-saudara lain, tetap tekun bekerja di ladang Tuhan itu tanpa melibatkan diri dalam hiruk pikuk dan hingar bingar masalah politik dan militer. Sebagai pendidik misalnya, tetap mencoba mengetrapkan kurikulum yang digariskan oleh Depdikbud. Salah satu butirnya ialah “cinta tanah air” dalam hal ini “Indonesia”. Sebagai ungkapannya, lagu kebangsaan pun harus diajarkan. Untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya ternyata bukan masalah berarti bagi anak-anak Timor Leste, walaupun lagu kebangsaan kita ini merupakan lagu kebangsaan yang paling panjang di dunia (ini baru bait yang pertama saja!). Rupanya penciptanya, Bp. Wage Rudolf Supratman sudah mengantisipasi kecenderungan yang kemudian berkembang subur di Indonesia, yakni: dalam percaturan internasional Indonesia harus yang paling ini dan itu.
Pada suatu hari (sebenarnya ceritera ini akan lebih hidup dan menarik kalau diceriterakan secara lesan!), seorang anak SD Kl 4 diuji apakah dia hafal menyanyikan lagi kebangsaan ini. Dengan sigap dia maju ke depan kelas, dan dengan sikap tegap dia mulai menyanyikan lagu itu dengan serius. Dengan mulus ayat demi ayat dinyanyikan. Saudara kita ini (yang menjadi pak guru) rupanya perhatiannya sesaat terpindahkan pada masalah lain yang juga menjadi tanggung¬jawabnya, sehingga dia terkejut ketika anak itu berteriak nyaris putus asa: “Padre, bagaimana saya diakhiri lagu ini?” (Menurut ceritera, orang-orang di sana sulit membedakan mana kalimat pasif mana aktif). Saudara kita dengan penuh wibawa melepaskan anak ini dari kesulitannya yang serius “ya, sudah saja. Bagus!” Apa yang terjadi? Ternyata anak ini tidak tahu lagi bagaimana lagu ayat/kalimat terakhir, yakni “Hiduplah Indonesia Raya”, sehingga dia telah berulang-ulang, entah berapa putaran menyanyikan refrennya “Indonesia Raya, merdeka-merdeka;Tanahku negriku yang kucinta” terus diulangi lagi “Indonesia Raya, merdeka-merdeka;Tanahku negriku yang kucinta” demikian seterusnya (tanpa diperhatikan oleh bapak guru yang melamun tadi!), sampai akhirnya cape dan dengan putus asa berteriak kepada sang Padre.
(dimuat dlm Taufan edisi Mei 1999)
Tinggalkan Komentar