Pater Fructuosus Goedhart OFM almarhum, seorang misionaris kita yang sangat dekat dengan umat dan anak-anak karena dia suka dan pandai berceritera. Ini terjadi pada tahun limapuluhan. Maklumlah, zaman itu orang Indonesia masih tergolong miskin. Radio belum banyak, hanya orang yang sungguh kaya memilikinya. TV apalagi, belum ada sama sekali; di Eropa saja waktu itu TV (hitam putih!) masih dalam tahap percobaan. Koran hanya 4 halaman. Dengan demikian pengetahuan umum orang-orang kebanyakan pun masih sangat terbatas. Apalagi pengetahuan mengenai daerah-daerah yang jauh-jauh, sangat tergantung pada apa yang didengarnya dari orang lain.
Dalam berceritera Pater Fruk (demikian panggilannya) suka memberi bumbu-bumbu penyedap sehingga kedengaran menarik. Bila berceritera pada anak-anak, maka penyedapnyapun semakin bertambah. Anak-anak tetap percaya pada ceriteranya dan mendengarkan dengan sepenuh hati, seolah-olah mereka bergantungan pada bibirnya. Atau lebih tepat pada jenggotnya yang panjang memutih itu.
Pada suatu hari diapun berceritera tentang Gereja Santo Petrus di Vatikan, Roma. ‘Gereja itu bukan main besarnya’ demikian ceriteranya. ‘Saya kira lebih dari sepuluh ribu kali gereja kita ini’. Maklumlah, gereja Cicurug waktu itu tak lebih dari salah sebuah ruangan di Biara Padua Cicurug. ‘Di dalamnya banyak kapel-kapel yang besarnya jauh lebih besar dari kapel kita ini. Kendati demikian, bila disalah satu kapel itu dirayakan perayaan misa meriah dengan nyanyian-nyanyian, kapel di sebelahnya tidaklah terganggu’. Anak-anak mulai mengembangkan imaginasinya masing-masing, betapa besar kapel-kapel itu dan betapa besar seluruh Gereja St. Petrus di Vatikan, tempat Sri Paus bertakhta. ‘Apa benar Pater, katanya ada patung St. Petrus. Tentu besar sekali juga’ tanya seorang anak berumur 5 tahun penuh kebanggaan akan pengetahuannya. ‘Tentu…’, kata Pater Fruk, ‘besarnya sepuluh kali saya ini’. ‘Hah…’ anak-anak berlomba terperangah. Untuk dia pater ini sudah begitu gede, apalagi patung St. Petrus yang sepuluh kali lipat itu! ‘Tentu saja altar utamanya besar sekali dihiasi dengan sangat indah. Di sebelah kanannya ada sebuah lampu Tuhan yang sangat besar dan bagus. ‘Berapa kali dengan lampu Tuhan gereja kita ini?’ kata seorang perjaka berumur 7 tahun yang paling suka kalau disuruh Pater Fruk meniup mematikan lampu Tuhan. ‘Lampu Tuhan kita ini hanya sebesar sumbunya yang bernyala; Padahal di dalamnya ada 12 buah, yang melambangkan 12 Rasul; dan jarak antaranya masing-masing tujuh meter, yang melambangkan sakramen’. Mulut anak-anak ternganga keheranan. Sang pater pun semakin leluasa memberi bumbu-bumbunya. ‘Karena itu, bejana lampu Tuhan itu harus sangat besar supaya dapat memuat semua sumbu lampu-lampu itu. Sangking besarna bejana itu hingga menyerupai danau kecil. Pak Koster yang akan menyalakan lampu-lampu itu harus naik perahu kecil, mendayung dari satu lampu ke lampu yang lain …’ lanjut pater Fruk, sementara mulut anak-anak itu terperangah, matanya menatap tajam pada muka sang pater yang begitu serius berceritera … ‘Ya, ya, ya… Gereja St. Petrus di Vatikan, tempat Sri Paus yang agung itu… nun jauh di sana… pasti harus besaaaaar sekali’ konfirmasi anak-anak itu dalam hatinya. ‘Hiii… saya takut naik perahu untuk meniupnya …’ fantasi si perjaka muda itu.
(seperti diceritakan oleh alm. P. Remedius Wijbrands OFM, dimuat pada Taufan edisi Juli 1999)
Tinggalkan Komentar