Di Universitas California (Bagian 3)

[tab name=”Berita”]

Jarak antara KJRI (Konsulat Jendral Republik Indonesia) San Francisco dan Universitas California tidak jauh. Dibutuhkan waktu 45 menit untuk sampai di pintu gerbang “Institute of East Asian Studies, University of California, Berkeley”. Delri disambut oleh Sarah Maxim, Wakil Ketua Pusat Studi Asia Tenggara, dan kemudian Jeffrey Hadler, Ketua Pusat Studi Asia Tenggara dan Asia Selatan.

Kami langsung santap siang. Saat itu pukul 12. Nasi kuning, ayam bumbu kari, salad, jus, buah. Sederhana. Ternyata, Sarah itu Katolik. Suaminya orang Indonesia, yang tinggal di Paroki Santa, Blok Q. Sarah sendiri seorang Amerika. Beberapa bulan sekali mereka bertemu. Sementara itu, Jeffrey sudah puluhan kali ke Indonesia. Isterinya seorang Jepang. Kedua orang Amerika itu dapat berbicara dalam Bahasa Indonesia dengan baik sekali.

INTERFAITH DIALOG
Diskusi bertema “Interfaith Dialog in a Plural Society” dimulai tepat pukul 14.00. Kapasitas ruangan hanya 148 kursi. Hadirin sekitar 100, dan tidak lebih. Acara diawali dengan sambutan dari Konsul Jendral R.I. San Francisco dan Sekjen Kemenag R.I.

Acara utama selama 2 jam dilangsungkan dalam bentuk diskusi panel. Empat orang pembicara dari Delri diturunkan: Prof Dr Musa Asy’arie; Dr Joas Adiprasetya, saya, dan Dr Jamhari Makruf. Semua pembicara menyiapkan paper (3-5 halaman), dan power point. Jatah waktu presentasi masing-masing panelis 15 menit.

Musa membawakan gagasan tentang “religious diversity and character building: an Indonesian perspective”. Sedangkan Joas mengedepankan “befriending strangers and the beauty of unknowing”. Saya menggelar, “interfaith dialog in a plural society: from the experiences of a Catholic minority in Indonesia”. Sedangkan Jamhari membicarakan tentang “justice in an interfaith context: the significance of Indonesia”. Berperan sebagai moderator: Jeffrey.

Begitu selesai presentasi dan dibuka kesempatan untuk berdiskusi, seorang bapak (bukan berwajah Melanesia, melainkan Timur Tengah) langsung menunjukkan jari. Beliau mengangkat presentasi saya yang mengedepankan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok kecil Islam fundamentalis. Akan tetapi, diujung pertanyaan itu dia menyebut nama Benny Moerdani, yang Katolik, yang melakukan kekerasan dalam kaitan dengan peristiwa Tanjung Priok, Prancis Katolik yang melarang perempuan memakai jilbab di ruang publik, dan lain sebagainya.

Tentu saja, bukan hanya Peristiwa Tanjung Priok yang dapat dirujuk, tetapi juga Timor Timur. Bagaimana Jendral Katolik itu juga dicap sebagai “jagal” terhadap orang-orang beragama Katolik. Kalau demikian halnya, pastilah itu bukan karena kekatolikan yang memotivasi beliau melakukan kekerasan.

Secara faktual tidak ada ajaran Gereja yang mengajarkan dan mendorong agar “penguasa Katolik” melakukan kekerasan kepada siapa pun juga dengan alasan keagamaan. Itu semua terjadi karena politik kekuasaan, terutama pada era Orde Baru. Bukankah dalam tata prosedural ketentaraan, semua diatur dan diperintahkan oleh pimpinan tertinggi. Jika pemimpin bertitah, maka semua bawahannya harus taat.

Ditanyakan pula tentang kekerasan yang dilakukan oleh FPI. Bagaimana konsep pemerintah RI tentang kebebasan beragama. Ternyata kebebasan itu berarti orang Indonesia bebas memilih agama yang diakui oleh pemerintah, dan bukan bebas untuk tidak memilih agama mana pun. Dibuka pula perspektif tentang bagaimana menjadi sahabat orang asing, yang berarti memperbesar sikap hospitalitas pada sesama. Kesempatan untuk berdiskusi tidak banyak. Hanya sekitar 1 jam.

MENINGGALKAN SAN FRANCISCO
Sejauh saya tahu, lawatan ke Universitas California ini tidak disertai rencana tindak lanjut entah dari pihak universitas tersebut entah dari pihak Delri. Oleh karena itu, begitu acara ini selesai kami bermaksud ke toko buku universitas. Tetapi ternyata kami tidak sampai ke toko buku, melainkan ke toko suvenir khas (Universitas) California (Berkeley).

Ketika kami selesai dengan acara di toko suvenir, kami hendak berjalan kaki menuju toko buku. Tetapi toko itu tidak pernah ditemukan dan kami mengurungkan niat. Setelah minum kopi di warung, kami kembali ke San Francisco dengan pesan pada pukul 18.30 Delri akan dijemput pihak KJRI untuk makan malam bersama.

Rencana penjemputan untuk makan malam ternyata batal tanpa alasan yang jelas. Maka itu, kami harus mencari makan malam sendiri. Sementara kami mempertimbangkan makan apa dan di mana, Bpk. Bahrul Hayat, SekJen Kemenag, turun dari kamar untuk mencari makan. Jadi, makanlah kami bersama Pak SekJen di Resto Thailand.

Inilah malam terakhir di San Francisco. Sebab, Selasa (26 November) pk. 8.30 pagi Delri check out dari Hotel Powell dan diantar ke Bandara SFO. Semua anggota Delri membayar sendiri biaya penginapan, 129 USD/malam.

SFO kami tinggalkan dengan Canada Air. Agak aneh rasanya di benak ni, bahwa bagasi harus dibayar min. 25 USD. Ini berarti, bahwa harga tiket SFO – Vancouver belum termasuk harga tiket. Di Bandara SFO ini, keberangkatan Delri ke Vancouver dalam tatapan KonJen R.I. dan stafnya.

Saya pribadi merasakan bahwa lawatan Delri ke San Francisco tidak sebanding samasekali dengan signifikansi lawatan ke Vancouver, Canada. Seperti apa kisah lawatan Delri ke Canada, itulah narasi Bagian 4 berikut ini. *****

Kontibutor: Sdr. A. Eddy Kristiyanto, OFM
[/tab][tab name=”Foto-foto”]

Salah satu pusat belanja elit di SFO, yang mendulang dan mengagungkan keagungan konsumerisme.

Salah satu pusat belanja elit di SFO, yang mendulang dan mengagungkan keagungan konsumerisme.

Sdr Eddy Kristiyanto OFM diabadikan menjelang diskusi panel di Univ. California, Berkeley.

Sdr Eddy Kristiyanto OFM diabadikan menjelang diskusi panel di Univ. California, Berkeley.

Di San Francisco (SFO) ada pula Jalan Eddy.

Di San Francisco (SFO) ada pula Jalan Eddy.

[/tab][end_tabset]

Tinggalkan Komentar