Di Sabtu sore yang cerah (9-1-2016), kami berempat (Sdr. Mateus, OFM, Sdr. Titus, OFM, Sdr. Andry, OFM dan Sdr. Berman, OFM) berangkat dari Jakarta menuju Liwa, Lampung Barat. Kami bertolak dari Provinsialat tepat pukul 16.00 WIB dengan mengendarai mobil Kijang Innova yang dikemudikan Mang Dian, mantan supir truk yang sering lalu lalang lintas Sumatera. Keberangkatan kami ini dalam rangka menghadiri undangan misa perdana imam baru Sdr. Ruben, OFM di Liwa, Lampung Barat sebagai utusan komunitas Provinsialat.
Sebelum berangkat, beberapa hal telah disiapkan dengan baik. Mobil diservis, 2 supir cadangan (Sdr. Mateus dan Sdr. Berman) stand by, dan peta perjalanan dibawa mulai dari peta Sumatera tahun ‘70-an hingga peta digital HP Samsung Galaxy Sdr. Andry. Tidak ketinggalan, tentu saja, bekal makan dalam perjalanan: nasi kotak, mie goreng, lauk daging babi kecap serta sebungkus plastik besar berisi roti dengan aneka rasa disiapkan oleh Sdr. Andry.
Pukul 19.15 WIB kami tiba di pelabuhan Merak dan langsung masuk ke dalam kapal fery penyeberangan. Sekitar pukul 20.00 WIB kapal berangkat dan kurang lebih dua jam kemudian tiba di pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan. Selama di kapal fery, kami memanfaatkan waktu untuk santap malam. Setelah keluar dari kapal, kami langsung tancap gas menuju Liwa yang diperkirakan masih sekitar 7 jam lagi. Sdr. Titus dan Sdr. Andry begitu antusias menikmati pemandangan di sepanjang jalan karena ini merupakan pengalaman pertama mereka ke Pulau Andalas. Kegelapan malam tidak menyurutkan semangat kedua saudara ini untuk terus melihat-lihat panorama Lampung di malam hari.
Persinggahan yang Menyenangkan
Hari pun semakin larut malam dan jalanan mulai sepi, tetapi Mang Dian supir kami ini masih sigap mengemudikan kendaraannya; sedangkan kami satu per satu mulai tertidur. Sekitar pukul 02.00 WIB pagi kami tiba di Kotabumi, dan memutuskan untuk istirahat sejenak di Komunitas FSGM Kotabumi. Pertimbangannya, selain karena letih, kami juga sedikit cemas akan adanya begal di tengah jalan. Setibanya di susteran, kami disambut dengan hangat, dan setelah ditunjukkan kamar, kami langsung tidur dengan lelap. Paginya (10-1-2016), sekitar pukul 06.00 WIB, kami melanjutkan perjalanan ke Liwa setelah terlebih dahulu mandi dan minum sejenak.
Rupanya ada 3 saudari FSGM Kotabumi yang pagi itu juga ke Liwa untuk menghadiri misa perdana Sdr. Ruben yang dijadwalkan mulai pukul 10.00 WIB hari itu. Mereka lebih dulu berangkat, tetapi di tengah jalan kami bertemu karena ada kecelakaan di jalan. Para suster FSGM berhenti saat melihat ada mobil terbalik, dan tergerak untuk memberi pertolongan karena di antara kendaraan yang lalu lalang tidak ada yang mempedulikan korban kecelakaan itu. Setelah memastikan semuanya diatasi oleh polisi, kami melanjutkan perjalanan secara beriringan.
Di sekincau, sekitar 1 jam sebelum Liwa, kami singgah di biara Klaris Kapusin untuk mengambil titipan buat Sdr. Ruben. Karena buru-buru, kami tidak masuk ke dalam biara dan hanya berjumpa di halaman biara. Berhubung belum sarapan dan perut mulai keroncongan, saya menggunakan kesempatan singgah itu untuk mencari makanan “pengganjal” perut. Intuisi saya berbicara bahwa biasanya para suster selalu membawa bekal dalam mobil jika bepergian. Dengan wajah sedikit memelas, saya pun berujar pada salah seorang suster FSGM, “Aduh, lapar nih belum sempat sarapan tadi.” Rupanya perkataan saya itu dipahami dengan sangat baik oleh suster itu yang dengan segera menawarkan makanan. Ia kemudian mengeluarkan dari mobil beberapa mie cup lengkap dengan air panas di termos. Sdr. Andry dengan tangan terbuka menerimanya, dan segera setelah kami melanjutkan perjalanan, saya dan Sdr. Andry menyeduh mie cup persaudaraan untuk disantap.
Tiap Saudara adalah Anugerah Tuhan
Syukur kepada Tuhan, sekitar pukul 09.30 WIB kami tiba di Liwa dengan selamat. Hal yang masih saya ingat hingga kini, saat kami tiba di Liwa, adalah senyum lebar Sdr. Ruben menyambut kedatangan kami. Bagaikan seorang bocah cilik yang mendapat hadiah sepeda baru dari orang tuanya, begitulah kira-kira kegembiraan yang tampak di wajah imam baru Sdr. Ruben saat itu. Bahkan ia langsung berlari menyambut dan menyalaminya kami saat kami masih di dalam mobil dan belum memarkirkan kendaraan. Wajar saja, karena di Liwa Sdr. Ruben seorang diri dan hanya ditemani Rm. Agustinus Sudaryanto imam keuskupan Tanjung Karang. Meskipun Rm. Agus orangnya juga senang bercanda dan sedikit usil, kehadiran sesama saudara fransiskan di tengah kesendirian jelas membawa cita rasa kegembiraan yang tersendiri.
Misa perdana Sdr. Ruben sebagai imam baru di Liwa pun dimulai tepat pukul 10.00 WIB. Dalam pesan homilinya, Sdr. Ruben mengungkapkan kegembiraannya sebagai imam yang baru ditahbiskan, dan lebih-lebih sebagai seorang religius fransiskan yang dianugerahi Tuhan begitu banyak saudara dari berbagai daerah.
Setelah misa, acara dilanjutkan dengan ramah tamah sekaligus perayaan Natal Oikumene Lampung Barat. Umat di Paroki Liwa yang mayoritas orang Batak sangat antusias mengikuti acara itu yang dimulai dengan pelelangan patung dan salib dalam rangka pengumpulan dana pembangunan gedung serba guna paroki. Kehangatan dan kegembiraan tidak berhenti sampai di situ. Malamnya kami dijamu minum tuak di rumah Ketua Stasi Liwa, Bapak Simamora. Beliau mengisahkan suka dukanya saat pertama kali merantau di Liwa. Ia sama sekali tidak membawa apa-apa kecuali baju yang melekat di tubuhnya saat pergi dari kampungnya di Samosir ke Liwa sekitar tahun ‘80-an. Berkat perjuangannya yang gigih dan pantang menyerah, ia akhirnya berhasil dalam usahanya hingga dapat menyekolahkan kelima anaknya.
Keesokan harinya (11-1-2016), kami diajak Sdr. Ruben untuk melihat tempat wisata, dan karena keterbatasan waktu, kami mesti memilih satu dari dua alternatif pilihan: Pantai Riung atau Danau Ranau. Karena promosi Sdr. Ruben tentang Danau Ranau lebih kuat, ditambah info bahwa sepanjang jalan ke sana ada banyak penjual durian, kami memutuskan untuk melihat Danau Ranau. Namun, apa yang terjadi tidak sesuai harapan. Sepanjang jalan hanya ada satu penjual durian berukuran kecil sehingga kami tidak jadi membelinya, dan sesampainya di danau pun, tidak banyak hal yang dapat kami nikmati. Kami sungguh-sungguh datang hanya untuk melihat danau. Sambil menahan kekecewaan, kami berandai-andai kalau saja pergi ke Pantai Riung mungkin akan lebih menarik. Ya, mungkin saja suatu saat nanti kalau ada kesempatan kembali ke Liwa. Sdr. Titus sempat berujar, “Nanti kalau Sdr. Andry diakonat di Liwa, pasti banyak kesempatan ke Pantai Riung sambil berburu buah durian kesukaannya.”
Siang hari itu, sepulang dari Danau Ranau, kami bersama Sdr. Ruben dan Rm. Agus diundang makan siang di rumah Bapak Manalu. Makanan khas Batak pun dihidangkan. Sambil menikmati babi panggang dan ikan arsik, kami pun asyik bercengkerama dengan tuan rumah. Setelah kenyang makan siang, kami disajikan lagi buah durian yang besar-besar untuk disantap. Kerinduan Sdr. Andry untuk menikmati durian Lampung akhirnya terpuaskan. Saat acara mandok hata (‘penyampaian kata-kata’ secara bergiliran yang biasanya dilakukan dalam pertemuan orang Batak) sebelum kami pulang, Sdr. Ruben lebih dulu pamit pulang ke pastoran untuk menyiapkan diri karena sore itu ia mesti berangkat ke Tanjung Karang.
Saat pulang ke pastoran, kami masih sempat bertemu dengan Sdr. Ruben yang menunggu jemputan travel. Ketika mobil travel tiba, kami pun berpamitan dengan Sdr. Ruben karena sore itu juga kami akan berangkat ke Baradatu untuk mengunjungi Sdr. Bovan, OFM dan Sdr. Stefan, OFM. Tampak jelas kesedihan di wajah Sdr. Ruben yang murung saat ia melangkahkan kaki menuju mobil travel dan harus berpisah dengan kami. “Semangat Bro, jangan lupa SMS atau WA,” kata Sdr. Andry berusaha menghibur. Tidak lama setelah Sdr. Ruben pergi, kami pun melanjutkan perjalanan ke Baradatu.
Dalam perjalanan ke Baradatu, pikiranku masing terbayang akan wajah Sdr. Ruben yang gundah gulana saat berpisah dengan kami. Dalam perbincangan kami di mobil, kami sependapat jika sebaiknya ditambah seorang lagi saudara fransiskan untuk ditugaskan di Liwa sekaligus menemani Sdr. Ruben. Di Liwa, saya belajar apa artinya saudara ketika melihat ada saudara yang tinggal seorang diri. Malam hari sekitar pukul 20.00 WIB kami tiba di Baradatu dan disambut dengan hangat oleh Sdr. Bovan dan Sdr. Stefan serta Romo Thomas Jamalean Pastor Kepala Paroki Baradatu. Malam itu kami makan bersama sambil berbincang-bincang seputar profil Paroki Baradatu diselingi canda tawa khas fransiskan.
Keesokan harinya (12-1-2016), kami pun berpamitan untuk kembali ke Jakarta. Berangkat pukul 08.00 WIB dari Baradatu, kami singgah di Kotabumi sekitar 1,5 jam untuk mengambil titipan para suster FSGM untuk para saudara OFM di Jakarta. Kesempatan singgah itu juga dimanfaatkan untuk mempersiapkan bekal di perjalanan. Sdr. Andry yang jago memasak, dibantu 2 saudari FSGM, membuat mie goreng dengan lauk telur dadar dan ikan teri. Setelah semuanya siap, sekitar pukul 11.00 WIB kami melanjutkan perjalanan dan tiba di pelabuhan Bakauheni pukul 15.45 WIB. Akhirnya, kami tiba di pelabuhan Merak pukul 19.00 WIB, dan Puji Tuhan, sekitar 3 jam kemudian tiba di komunitas kami masing-masing dengan selamat.
Kontributor: Sdr. Berman Sitanggang OFM
Tinggalkan Komentar