Konsultasi Teologi

Pada 15-19 April 2013 PERSETIA (Perhimpunan Sekolah-Sekolah Tinggi Teologi se Indonesia) menyelenggarakan pertemuan nasional di Samadi Klender, Jakarta Timur.

Tema utama yang digumuli dalam pertemuan itu berada di bawah rumpun diskusi ini: Konsultasi Nasional Pendidikan Teologi. Selama hari-hari itu saya terlibat aktif dalam acara itu, bukan hanya aktif dalam diskusi kelompok dan intervensi kritis pasca pemrasaran menggelar gagasan, tetapi juga aktif sebagai salah seorang narasumber.

Sebelum sesi presentasi pagi hari dan sesudah rangkaian acara berakhir pada hari yang bersangkutan, selalu ada doa bersama. Yang tidak terlewatkan adalah pembawaan firman da kidung pujian. Bapa atau Ibu pendeta selalu berperan dalam acara terbut.

Jadi, dapat ditebak bahwasanya PERSETIA merupakan “asosiasi” perguruan tinggi protestan, baik yang beraliran Calvinis, Lutheran, maupun pentakostal, evangelis.

Hadir dalam pertemuan ini 90 utusan, tidak termasuk anggota panitia, yang berasal dari Sekolah Tinggi Amanat Agung – Reformed Injili Indonesia.

VISI DAN PESAN

Sebagai Ketua Program Studi, saya diundang khusus untuk berbagi bagaimana Program Studi Teologi STF Driyarkara mengelola Pendidikan Teologi. Visi program studi ini pun sangat jelas, ringkas, mudah disadari. Begini bunyinya: Komunitas akademik, pencerah budi, pengasah nurani, penggerak aksi berdasarkan iman Kristiani. Visi itu teruraikan antara lain dalam kurikulum, utamanya matakuliah yang ditawarkan berikut komponen-komponen pendukungnya.

Melalui pertemuan ini saya pribadi diperkaya dengan wawasan dan pengetahuan baru. Hal itu terutama karena input yang disampaikan oleh Jan S. Aritonang, E. Gerrit Singgih, Tabita Kartika Christiani. Dalam dinamika pertemuan itu, perjumpaan dengan pelaksana STT, anggota Persetia, yang hampir semua. Pendeta, sangatlah menarik, terutama karena perjumpaan itu pada prinsipnya membangunjembatan, dan bukan tembok.

Salah satu butir terpenting yang merupakan “pesan” pertemuan ini adalah teologi sebaga i”ilmu yang terbuka”. Artinya, sebagai ilmu yang bersifat kritis-reflektif, teologi itu siap dan dapat dikaji, dipelajari oleh siapa pun juga tanpa memprasyaratkan agama atau iman tertentu. Penegasan ini juga membawa dampak: secara teoritis dan praktis STT semestinya terbuka bagi siapapun yang hendak dan mau mempelajari teologi.

Wakil-wakil dari STT yang berkumpul di Klender tersebut membawa pulang pesan tersebut dan mengkomunikasikan pada Sinode masing-masing sebagai pihak yang mengelola STT. Apakah “pesan” itu akan dengan mudah diterima oleh Sinode-sinode gerejawi Kristen Protestan, yang di Indonesia ini tidak kurang dari 300 Sinode? ***

Kontributor : Eddy Kristiyanto, OFM

Tinggalkan Komentar