Ciwidey, OFM ― Mengakhiri tahun perkuliahan periode 2023/2024, komunitas formasi St. Antonius Padua, Jakarta mengadakan kegiatan rekreasi. Selama tiga hari (23-25/06/2024), 22 Saudara Muda dan 3 Saudara Tua bertolak ke Glamping Legok, Ciwidey. Bukan hanya bersenang-senang, kami juga sejenak menepi, berefleksi, dan mengevaluasi dinamika panggilan dan hidup berkomunitas selama setahun. Satu tujuan hendak diraih, yakni agar semangat menghidupi spirit “jubah coklat” tetap bernyala.
Hari pertama di Ciwidey kami isi dengan aneka lomba, seperti lomba berenang, lomba menyelam, dan lain sebagainya. Selepas perlombaan yang berlangsung sepanjang hari, kami mengatur acara malam dengan mengadakan barbeque. Aroma daging panggang dan obrolan hangat menyempil di sela-sela udara sejuk Ciwidey. Acara hari pertama kami tutup dalam sesi evaluasi pribadi dan komunal. Sesi ini menjadi momen penting memperkuat ikatan persaudaraan di antara kami. Setiap saudara berkesempatan menyampaikan ungkapan syukur, permohonan maaf, dan menyatakan harapan terkait hidup bersama dalam komunitas. Berbagai aspek hidup bersama disoroti, seperti rutinitas doa, perihal cara menegur saudara lain, sense of belonging terhadap komunitas, serta upaya bersama dan personal dalam merawat panggilan Tuhan. Berbagai sharing dan kritikan menjadi bahan pelajaran berharga. Evaluasi berakhir pada pukul 22.00 WIB.

Mengakhiri perjalanan selama setahun dalam evaluasi bersama. Ada rasa syukur, maaf, dan optimis yang terungkap
Kegiatan pada hari kedua adalah menjelajahi keindahan alam sekitar Ciwidey. Tempat pertama yang dikunjungi adalah Kawah Putih. Kami tidak melewatkan kesempatan ini untuk berfoto-foto, merekam keindahan alam dan kenangan akan kunjungan ini. Tempat singgah selanjutnya adalah Rengganis Suspension Bridge. Pemandangan indah tersaji dari atas jembatan gantung yang menghubungkan dua bukit. Butuh keberanian ekstra bagi beberapa saudara yang phobia ketinggian (plus goncangan) untuk menyeberangi jembatan ini. Beberapa saudara mencoba wahana flying fox dan yang lain sibuk merawat kulit memakai lumpur belerang khas kawah Rengganis.“Skincare alami,” kata salah satu saudara.
Perjalanan kami mencapai puncaknya di Situ Patenggang. Di situ, kami asyik mengagumi keindahan alam yang terpampang di hadapan kami. Kekaguman itu memancing kami untuk saling berbagi cerita dan pengalaman perihal rasa syukur dalam hidup. Topik pembicaan lain menyusul. Mulai dari cinta kasih terhadap Allah dan sesama hingga pembicaraan perihal kedekatan kepada Tuhan melalui alam ciptaan. Perlahan kami menyadari, ini bukan sekadar perjalanan rekreasi. Ini adalah perjalanan spiritual. Bukan hanya perjalanan spiritual personal tetapi juga komunal.

Foto bersama dengan pose yang sama selalu jadi andalan. Terkesan old style tetapi dibaliknya terdapat makina persaudaraan.
Perjalanan ini membantu kami membangkitkan kembali semangat hidup dan relasi kasih antarsaudara. Rutinitas dan aktivitas sehari-hari, kesibukan studi serta kegiatan lain yang dijalankan secara terjadwal dan berulang, memang kadang kala menuntun kami pada suatu banalitas makna hidup dan panggilan. Perjalanan panggilan terasa minim makna dan dijalankan tanpa semangat membara. Maka, perjalanan ini menjadi titik henti. Kami sejenak menoleh ke belakang dan merefleksikan kembali perjalanan selama setahun yang telah dilalui. Kami dihantar untuk menemukan kembali makna hidup dan panggilan sebagai Saudara Dina.
Perjalanan ke Ciwidey bagi kami bukan sekadar kegiatan wisata. Kami menemukan kembali kekuatan menjalani panggilan sebagai Saudara Dina. Kekuatan yang dapat menjadi pijakan kokoh dalam dunia modern yang kian bergejolak dan cepat berubah ini. Kekuatan untuk terus bertahan dan memberi kesaksian hidup sebagai pengikut Santo Fransiskus Assisi ― bukan hanya dengan kata-kata tetapi juga dalam tindakan. Perjalanan sejauh 181 km dari Jakarta menuju Bandung Selatan adalah momen penguatan tekad dan pembinaan kesetiaan untuk hidup sebagai Saudara Dina dalam cinta kasih.

Sesekali mencoba wahana permainan. Menemukan sukacita dałam cara sederhana dan polos seperti anak-anak.
Bukan itu saja. Perjalanan ini kian mengajarkan kami perihal keterkaitan dan keterikatan dengan alam ciptaan. Kiranya mustahil, sebagai seorang Fransiskan, berbicara perihal pengalaman spiritual jika terputus (disconnected) dengan alam ciptaan. Hal ini berarti, kami juga dipanggil untuk senantiasa merawat alam ciptaan. Ciwidey menjadi saksi dari transformasi spiritual kami, memperkuat kesadaran akan keindahan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari, menginspirasi untuk terus memelihara dan merayakan hubungan yang berarti dalam hidup ini, khususnya dalam hidup sebagai Saudara Dina di Komunitas Padua.
By: Sdr. Beatus Elfrid Yosmen OFM
Ed.: Sdr. Rio OFM
Tinggalkan Komentar