Dalam sebuah podcast di kanal YouTube Gita Wiryawan, Gita mewawancarai Sharlini Eriza Putri, co-founder startup Genomika Nusantica, sebuah perusahaan rintisan lokal yang bergerak di bidang teknologi genomika (genomics technology). Salah satu topik pembicaraan mereka dalah tentang “entrophy”, yaitu sebuah konsep ilmiah tentang pengukuran terhadap ketidakteraturan pada alam semesta. Kesimpulan dari pembicaraan tersebut adalah bahwa entropi di alam semesta tidak akan kurang, namun akan terus bertambah.
Dari pembicaraan tentang entropi tersebut, Sharlini mengaitkannya dengan pandemi Covid-19 yang hingga saat ini belum sungguh hilang. Jika kita ingat, varian dari virus Covid-19 terus berkembang menjadi Delta, Omicron, dan varian lain. Belum selesai pandemi Covid-19, telah muncul akhir-akhir ini penyakit Cacar Monyet. Tampaknya, entropi atau ketidakteraturan alam semesta memang terus berkembang dan bersifat niscaya.
Namun demikian, hal yang menarik adalah, menurut Sharlini, ketidakberaturan dan keanekaragaman memang merupakan sifat dasar alam semesta. Untuk lebih memahami hal ini, Sharlini mengambil contoh limbah pabrik di suatu industry di area tertentu ternyata tidak mudah diolah oleh alam. Limbah tersebut lama berwujud limbah dan tidak terdegradasi menjada tanah. Setelah diteliti, ternyata entropi dalam limbah tersebut rendah; artinya limbah tersebut hanya ‘dihuni’ oleh satu dua macam bakteri. Setelah ditambahkan feses (kotoran manusia) dan substansi lain yang mengandung banyak bakteri, ternyata limbah tersebut dapat terurai dengan sangat baik secara alami. Alam, menurut dia, tidak dapat membaca keseragaman hasil olahan campur tangan industri manusia.
Diskusi pun bergeser ke manusia, yang Sharlini jelaskan ‘bukanlah milik manusia sendiri’. Ia menyatakan bahwa tubuh manusia adalah sebuah ekosistem yang terdiri dari triliunan mikroorganisme. Dalam artikel yang dimuat di majalan online TIMES INDONESIA, di bawah judul ‘Manusia Sebagai Ekosistem”, ekosistem dapa diartikan sebagai komunitas makhluk hidup yang berinteraksi satu sama lain dan lingkungan fisik; contohnya adalah hutan, danau, dan gua. Ekosistem terdiri dari campuran unik antara kompnen hidup (makhluk hidup) dan komponen tak hidup, seperti udara, sinar matahari, batu dan air.
Tubuh manusia juga adalah sebuah ekosistem. Dalam tubuh manusia hidup ribuan jenis bakteri, virus, jamur, dan organisme mikroskopis lainnya. Makhluk mikroskopis tersebut bersama-sama membentuk komunitas yang membentuk mikrobioma manusia yang bersifat unik per individu. Hal menarik adalah bahwa manusia membutuhkan mikrobioma untuk tetap sehat, dan mikrobioma membutuhkan lingkungan yang disediakan oleh tubuh manusia untuk bertahan hidup.
Mungkin selama ini kita berpikiran bahwa makhluk microskopis seperti bakteri bersifat ‘jahat’ dan dapat menyebabkan manusia sakit. Penjelasan dari Sharlini dan TIMES INDONESIA memberi kita pemahaman bahwa tidak semua mikroorganisme bersifat merugikan manusia. Justru yang merugikan manusia adalah jika ekosistem tubuh kita tidak bersifat ‘entropis’ atau beraneka ragam. Ketidakseimbangan ekosistem tubuh kemungkinan justru akan merugikan manusia.
Sharlini mengambil contoh keefektifan vaksin untuk menanggulangi Covid-19, yang keefektifannya paling tinggi mungkin sekitar 50%. Ia mengatakan bahwa dalam beberapa kasus terdapat individu-individu yang tubuhnya membuat efektifitas vaksin tinggi; sebaliknya terdapat banyak orang yang tubuhnya tidak mendukung keefektifan fungsi vaksin tersebut. Ia menjelaskan bahwa pola makan sehari-hari menjadi salah satu faktor yang memengaruhi keanekaragaman ekosistem tubuh. Individu-individu yang mengonsumsi beraneka ragam makanan, mulai dari buah, sayur, daging, kacang-kacangan, dan lain sebagainya, kemungkinan memiliki daya dukung lebih baik terhadap efektifitas vaksin.
Akhir dari podcast tersebut adalah sebuah pernyataan bahwa kita beruntung hidup di Indonesia yang tropis. Sebagai daerah tropis dan lembab, Indonesia adalah rumah bagi berbagai macam jenis mikroorganisme, termasuk virus, bakteri, dan jamur. Namun demikian, justru kondisi ini menguntungkan orang Indonesia yang terbiasa hidup dalam ekosistem yang beraneka ragam yang membantuk system imun kita. Mungkin perlu penelitian lebih dalam tentang bagaimana orang-orang di daerah tropis akan memiliki kekebalan lebih terhadap penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme.
Mengonsumsi pangan lokal, menurut Sharlini, akan membantu kita memiliki ketahanan ekosistem tubuh yang lebih baik. Selain itu, dampak ekonomi dari konsumsi pangan lokal lebih banyak menguntungkan petani dan pengusaha kecil di negara kita. Jadi, mau mulai dari mana kita? (Sdr. Titus, OFM)
Sumber referensi:
https://www.timesindonesia.co.id/read/news/360568/manusiasebagai-
ekosistem
https://www.youtube.com/watch?v=KX81rmSiWy8
Tinggalkan Komentar