Sdr. Eduard Salvatore da Silva OFM, Saudara Dina yang bertugas sebagai pastor rekan di Gereja St. Fransiskus Assisi-Paroki Tentang, Keuskupan Labuan Bajo, membagikan pengalaman dan refleksinya dalam mengikuti pertemuan perdana FCAO “New Forms” Assembly di Vietnam. Cerita sederhana tentang Jahe dan Temulawak “De Beo Dite” dari Tentang menggema di Vietnam. Tentu saja bukan hanya tentang Jahe atau Temulawak tetapi tentang pelayanan terhadap mereka yang berada di wilayah pinggiran. Selengkapnya!
Pada tanggal 26 Januari hingga 3 Februari 2025, saya mendapatkan kesempatan luar biasa untuk ikut serta dalam pertemuan pertama Franciscan Conference in Asia and Oceania (FCAO), “New Forms” yang diselenggarakan di Vietnam. Pertemuan ini dipimpin oleh Sekretariat General Misi dan Evangelisasi yang dikoordinasi oleh Sdr. Francisco Gomes Vargas OFm dan Sdr. Dennis Tayo OFM. Mewakili Provinsi St. Michael Malaikat Agung Indonesia, saya diutus Minister Provinsi, Sekretaris Misi dan Evangelisasi, Tim Ekopastoral Parokial — JPIC OFM Indonesia serta para Saudara Dina yang berkarya di Komunitas Tentang untuk berkisah tentang gerakan “New Forms” sederhana yang dialami dan dihidupi selama ini, khususnya pemberdayaan kelompok tani dan UMKM Laudato Si’ di Tentang, Keuskupan Labuan Bajo.
Acara ini dimulai dengan pertemuan selama tiga hari di Thu Duc, Ho Chi Minh City. Kami disambut hangat oleh Sdr. John of God Phuoc, Minister Provinsi dari entitas tuan rumah. Kemudian, Sdr. Derrick Yap, Presiden South Asia, Australia and Oceania Conference (SAAOC), memberikan kata-kata inspiratif. Pertemuan ini juga dihadiri oleh Sdr. Taucen Girsang, Wakil Direktur General Office for Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC), serta Sdr. Gil Noriega yang membahas peran JPIC dan Franciscan Mission dalam menghidupi “New Forms” atau bentuk baru pelayanan.

Suasana pertemuan FCAO “New Forms” Assembly. Para peserta tampak menyimak presentasi dengan serius.
Sdr. Dennis Tayo membimbing kami merefleksikan dokumen Ite, Nuntiate (2017). Kami saling berbagi pengalaman terkait inisiatif “new forms” yang sedang dan sudah dilakukan, baik dalam bentuk kehadiran sederhana di tengah masyarakat maupun melalui proyek yang lebih terorganisir. Fokus utama adalah perjumpaan dan pelayanan di “wilayah periferi”, mendukung kaum miskin dan terpinggirkan, termasuk masyarakat adat, para migran dan pengungsi, dialog lintas agama, proyek perdamaian, layanan kesehatan, pertanian, dan kepedulian terhadap lingkungan. Selain itu, pelayanan tradisional seperti proyek pemberdayaan, pendampingan psiko-spiritual, pendidikan, rumah singgah, dan pelayanan kaum muda tetap menjadi perhatian utama.
Kisah perkembangan pesat karya di Vietnam dengan komunitas etnik Pleiku, narasi “Fransiskan Sopir Bus” dari Korea Selatan, dialog khas Filipina, India dan Jepang, persaudaraan sederhana di Singapura, Kamboja, dan Sri Lanka, pastoral dalam tantangan alam ala Papua Nugini, hingga cerita tentang “Gereja Bawah Tanah” di Myanmar dan China menjadi bagian dari narasi epik yang menarik. Semua ini memperlihatkan nuansa suportif persaudaraan yang kuat antarentitas.
Saya pun berkesempatan sharing tentang “New Forms” dari Indonesia mengenai Gerakan Ekopastoral Parokial, khususnya di Tentang yang nyatanya juga mendapatkan perhatian. Mereka mengapresiasi pendekatan sederhana para Saudara Dina di Indonesia yang “meng-umat”, kontekstual, dan ekologis, yang diwujudkan dalam gerakan “Pohon Sakramen”, konservasi lingkungan, serta perencanaan bersama untuk mengembangkan ekonomi umat melalui Kelompok Tani Laudato Si’ dan Sentra Orang Muda. Pengembangan UMKM berbasis kearifan lokal dan animasi ekologis yang menjadi spirit dasar gerakan ini juga mengundang banyak diskusi dan sharing pengalaman.

Sdr. Edo OFM sedang membagikan cerita “bentuk baru pelayanan” di Tentang. Cerita tentang produk olahan jahe dan temulawak bersama para petani di Tentang menggema dalam pertemuan.
Tidak ketinggalan, oleh-oleh khas Indonesia seperti Gula Aren, Ekstrak Jahe, Temulawak De Beo Dite, serta Kopi khas Flores juga dinikmati para peserta pertemuan dengan antusias. Pada pertemuan ini, saya mendapatkan kesan personal: tidak ada nuansa “persaingan” dalam menilai karya mana yang lebih baik. Sebaliknya, saya justru merasakan apresiasi dan upaya kolaborasi antarentitas. DNA Fransiskan — yang menekankan sikap saling menghargai sebagai saudara — begitu nyata sebagai way of life dalam pertemuan ini.
Refleksi dari sesi-sesi yang kami jalani, ditambah dengan pesan dari Minister General, Sdr. Massimo Fusarelli,OFM membantu kami menyusun komitmen bersama. Sebagai peserta FCAO New Forms Assembly, kami sepakat untuk terus menghidupi inspirasi dan usulan dari Ite, Nuntiate, serta mengajak para Pelayan Provinsi dan Saudara Dina dalam entitas masing-masing untuk menghidupi semangat pembaruan demi pelayanan yang lebih otentik bagi kaum miskin di dunia saat ini.
Kami pun menetapkan dua resolusi utama:
- Para Minister, FCAO, melalui Sekretaris Misi dan Evangelisasi masing-masing, didorong untuk aktif mendukung proyek-proyek “New Forms” agar menjadi bagian dari program komunitas, baik dalam formasi awal maupun berkelanjutan, serta dalam proyek kehidupan persaudaraan di setiap komunitas dan pelayanan kami.
- New Forms Working Group, yang dikoordinasi oleh Sekretaris Misi dan Evangelisasi dari SAAOC dan East Asian Conference (EAC), akan menjajaki kemungkinan proyek kolaboratif di tingkat FCAO, berdasarkan usulan yang muncul dalam pertemuan ini dan memanfaatkan proyek yang sudah ada di setiap entitas sebagai batu loncatan.

Berkesempatan merayakan ekaristi bersama umat katolik di Vietnam.
Setelah sesi pertemuan, kami melanjutkan perjalanan ke dataran tinggi Pleiku untuk bertemu dengan para Saudara Dina yang berkarya di komunitas etnis. Kunjungan kami diawali dengan mengunjungi Ethnic Boys’ Boarding House di Paroki Dien Phu dan Vuon Mit Friary, di mana kami mendalami budaya lokal serta mengakhiri hari dengan misa dan makan malam di Paroki Sedang. Keesokan harinya, kami mengikuti festival gong yang meriah di Paroki Chusan, dilanjutkan dengan misa inkulturatif dinamis (pakaian adat, tarian khas dan lagu liturgis Vietnam Pleiku yang mirip gending Jawa) dan makan siang bersama komunitas setempat. Kami juga mengunjungi Paroki Iato untuk melihat klinik dan sekolah taman kanak-kanak di sana, sebelum menikmati pertunjukan budaya di restoran ayam panggang khas etnis.

Para peserta pertemuan berkesempatan mengunjungi komunitas-komunitas adat di Vietnam.
Pada hari terakhir di Pleiku, kami merayakan misa di Paroki H’neng, disusul dengan festival gong lainnya saat makan siang. Kemudian, kami mengunjungi Paroki Groi untuk mengenal lebih dekat komunitas etnis lainnya. Perjalanan ini ditutup dengan makan malam penuh kehangatan di Hotel Hoâi Thúong sebelum kembali ke Thu Duc dengan hati yang penuh syukur dan inspirasi.
Tentunya, kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Provinsi St. Fransiskus di Vietnam yang menjadi tuan rumah dan yang tahun ini merayakan 20 tahun pelayanan luar biasa di Highland. New Forms Assembly ini benar-benar menjadi momentum untuk memperbarui komitmen kami dalam menerjemahkan wawasan dan pengalaman menjadi tindakan nyata di komunitas masing-masing. Semoga semangat pembaruan ini terus berkembang dan membawa perubahan bermakna bagi Fransiskan Asia dan Oseania serta umat yang dilayani! Mari kita menjangkau yang tidak terlayani – melayani yang tidak terjangkau. Pace e Bene!
Kontributor: Sdr. Eduard Salvatore da Silva OFM
Tinggalkan Komentar