Sdr. Asep Cahyono OFM, pendamping para Saudara Muda (formator) di komunitas Beato Duns Scotus, Kampung Ambon, membagikan cerita dan pengalamannya mengikuti pertemuan AFFT di Sampaloc, Filipina. Beliau mengikuti kegiatan ini bersama Sdr. Wolf Apriliano OFM, pendamping para Saudara Muda di Komunitas St. Bonaventura, Jogjakarta. Sdr. Asep merasa bersyukur bisa mengikuti kegiatan ini. Ternyata, untuk menjadi formator mesti “memformat” diri terlebih dahulu. Simak selengkapnya!
Saya dan Sdr. Wolf OFM merasa bersyukur karena diberikan kesempatan oleh persaudaraan untuk mengikuti kegiatan pelatihan bagi para Formator di St. Anthony Shrine Sampaloc, Filipina pada 15-28 Juni 2025. Kegiatan ini merupakan bagian dari kursus Formator Asian Fransiscan Formator Training (AFFT) yang telah dimulai pada Bulan Maret 2025 dan akan berakhir pada Bulan November 2025, serta penutupannya akan diselenggarakan di Singapura.
Kegiatan ini diikuti oleh 14 saudara yang berasal dari beberapa negara, yaitu Sdr. Pio Paul Ng (Taiwan), Sdr. Sixtus Peter (Malaysia), Sdr. Crispus Mosinoh (Malaysia), Sdr. Asep Cahyono (Indonesia), Sdr. Wolfhelmus Apriliano (Indonesia), Sdr. Raymond Yim Yeung (Hongkong), Sdr. Augustine Seng (Myanmar), Sdr. Cosmas Vu (Vietnam), Sdr. Tuan Nguyen (Vietnam), Sdr. Mark Gill (Filipina), Sdr. Joey Donato (Filipina), Sdr. Mark Joey (Filipina), Sdr. Rey Silme Silangan (Filipina), dan Sdr. Leonard Chen (Cina). Para peserta bukan semuanya formator, beberapa di antaranya bertugas di Paroki dan karya kategorial. Koordinator dalam kegiatan ini adalah Sdr. Derrick Yap (Singapura) dan Dr. Josephine Chin (Singapura). Narasumber dalam kursus ini adalah Dr. Ignatius Chan (Singapura) dan Dr. Ed Caligner (Filipina).
AFFT merupakan akronim yang terdengar seperti “affect” (dari bahasa Latin “affectus“), yang menegaskan penekanan terus-menerus Spiritualitas Fransiskan pada hati dan pengalaman manusia. Kursus ini adalah program delapan bulan yang terdiri dari tiga kuartal dan diselenggarakan dalam Bahasa Inggris. Kursus ini dirancang sebagai persiapan bagi para frater dan suster Fransiskan yang saat ini bertugas atau akan bertugas sebagai formator. Secara metodologi, materi kursus ini sebagian besar diajarkan secara virtual, meliputi: pelajaran dalam bentuk video rekaman, diskusi forum dalam kelompok dan tutorial melalui Zoom. Selain itu, kursus ini mencakup dua program residensi wajib tatap muka selama dua minggu. Program residensi dirancang untuk memperkaya kursus dengan pengalaman pendampingan pribadi, pembelajaran berdasarkan pengalaman, interaksi komunitas, dan ikatan persaudaraan. Kursus di Sampaloc, Filipina merupakan bagian program pertama dari dua program residensi wajib.
PEKAN PERTAMA DI FILIPINA
Saya dan Sdr. Wolf berangkat menuju Filipina pada 15 Juni 2025, pukul 11.10 WIB, menggunakan maskapai Malaysia Airlines MH-710. Setelah transit di Malaysia selama 4 jam, perjalanan berlanjut menggunakan Malaysia Airlines MH-804. Kami tiba di Sampaloc pada malam hari, pukul 21.30 waktu setempat dan dijemput oleh Sdr. Marki OFM. Perjalanan cukup panjang dan melelahkan tetapi kami tetap bersyukur karena tiba dengan selamat. Kami langsung diantar menuju St. Anthony Shrine, sebuah gedung agak tua yang sedang di renovasi serta menjadi tempat studi Bahasa Inggris dan pusat persiapan bagi para saudara yang akan menjadi misionaris. menempati kamar di lantai empat selama kursus di sana. Kami mesti menyesuaikan waktu karena perbedaan waktu antara Filipina dan Indonesia (Waktu Indonesia Barat) adalah satu jam.
Kursus pekan pertama dimulai pada 16 Juni 2025-20 Juni 2025. Kegiatan kursus ini diawali dengan misa pembuka yang dipimpin oleh Sdr. Derrick Yap OFM. Kemudian kami saling memperkenalkan diri dan perlahan-lahan terlibat dalam seluruh kegiatan kursus. Bahasa yang digunakan dalam kursus ini adalah Bahasa Inggris. Saya secara pribadi mampu mengikuti seluruh proses meskipun dengan Bahasa Inggris ‘seadanya’. Meskipun terbata-bata dalam menyampaikan pendapat dan sharing, para peserta sangat antusias mendengar dan memperhatikan. Setelah beberapa hari, saya mengatahui beberapa peserta juga memiliki keterbatasan dalam Bahasa Inggris, sehingga rasa minder dalam diri saya runtuh dengan sendirinya. Kami berada dalam posisi yang sama: sama-sama belajar dan saling memperkaya.

Sdr. Asep bersama para peserta pertemuan mengadakan kunjungan ke sejumlah tempat.
Pekan pertama kursus diisi oleh Dr. Ignatius Chen (Singapura) yang membahas tentang Psikologi Institusi dan Dinamika kelompok (Psychology of Institutions and Group Dynamics). Materi yang dibahas cukup menarik dan relevan bagi proses formasi. Kami diberikan penjelasan tentang memahami institusi, menjadi fasilitator, perihal cara memfasilitasi kelompok, mengatur dan memimpin kelompok, experiential learning, dan collaborative learning. Kegiatan selama satu pekan bersama Dr. Ignatius Chen tidak monoton. Kami juga diajak untuk berpraktik dan terlibat langsung di dalam proses pembelajaran.
Selama pekan pertama kami tidak hanya mendalami materi. Bersama Dr. Ignatius Chen kami juga belajar berefleksi melalui medium film. Kami menonton Film The Hundred Foot Journey, sebuah film drama komedi Amerika 2014 yang disutradarai Lasse Hallstrom dan Film Inside Out, sebuah film animasi Pixar 2015 yang disutradarai Pete Docter. Melalui kedua film ini kami diajak untuk mendiskusikan nilai-nilai penting dalam proses pendampingan. Saya merasa tertantang untuk mensharingkan nilai dan gagasan film tersebut dalam Bahasa Inggris. Saya sadar bahwa dalam proses ini, faktor bahasa menjadi bagian penting dalam sharing dan menyampaikan gagasan.
Pada pekan pertama, kami mengunjungi tempat-tempat menarik di beberapa lokasi di Filipina, yaitu: The Minor Basilica of San Sebastian Quiapo, Maynila, yang dikelola oleh tarekat Agustinian dan menjadi salah satu cagar budaya gereja tertua di Filipina dan National Shrine of Saint Jude Thadeus yang dikelola oleh tarekat SVD. Pada Jumat, 20 Juni 2025, kami mengunjungi Gereja San Pedro Bautista (dikenal juga dengan nama Gereja San Fransisco Del Monte, 1590) di Quezon City, Filipina. Tempat ini pernah disinggahi oleh St. Petrus Bautista dan kawan-kawan dari Spanyol yang kemudian menjadi salah satu martir di Jepang. Kami diajak mengunjungi museum dan Gedung gereja tersebut. Tak jauh dari tempat itu, terdapat Provinsialat OFM Provinsi San Pedro Bautista. Kami menyempatkan masuk dan mengunjungi beberapa ruang di Provinsialat, tetapi kami tidak sempat berjumpa dengan Provinsial. Setelah berkunjung ke Provinsialat, kami diundang makan malam dan rekreasi bersama di Komunitas Rumah Formasi Postulat yang berada satu komplek dengan Gereja dan Provinsialat.
Pada Sabtu, 21 Juni 2025, setelah perayaan ekaristi dan sarapan, kami menuju Tagaytay. Kami makan siang di RSM Tagaytay Magallanes dengan menikmati danau Lawang Taal yang sangat eksotis dengan gunung apinya. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan menuju Novisiat FMM di Calamba Tagaytay. Kami berjumpa dan berbagi cerita dengan para formator dan novis FMM yang berasal dari berbagai negara. Kemudian, kami melanjutkan perjalanan menuju paroki para Saudara Kapusin dan mengunjungi “Laudato si” farm di Cavite, Tagaytay, yang dikelola oleh tarekat SVD dengan konsep ekoturisme dan ekospiritual. Pada Minggu 22 Juni 2025, kami mengunjungi Novisiat OFM Juan De Plasencia di Barangay-Liliw. Novisiat yang kami kunjungi terkesan sederhana. Terdapat 16 Novis yang berasal dari Indonesia, Malaysia, Myanmar, dan Filipina. Kami berbincang dan berbagi cerita dengan para formator, melihat-lihat bangunan novisiat dan rumah-rumah pertapaan Hermitage di dalam kompleks novisiat. Kami mengakhiri perjumpaan dan kunjungan di Novisiat dengan berenang bersama di Camp Ba-Long, Nature Farm yang terletak tidak jauh dari kompleks novisiat. Setelah selesai, kami kembali ke Sampaloc, kurang lebih 3-4 jam perjalanan.
Saya merasa bahagia dan bersyukur karena pada pekan pertama kursus saya mendapatkan materi yang bagus, menarik, serta bisa mengenal para saudara yang berasal dari negara lain. Saya merasakan atmosfer persaudaraan dan saya berusaha untuk terbuka pada saudara lain. Kami berbagi pengalaman dan cerita perihal pergulatan dan tantangan serta sukacita yang kami alami dalam medan karya kami masing-masing. Saya merasa terbantu dan dikuatkan dalam perjumpaan ini. Saya juga bersyukur karena diberi kesempatan untuk mengunjungi tempat-tempat baru dan mengenal rumah formasi di Provinsi OFM San Pedro Bautista Filipina.
PEKAN KEDUA DI FILIPINA
Pekan kedua dijalani dengan agenda kegiatan yang padat. Tidak ada outing seperti pekan pertama dan tidak ada jadwal untuk istirahat siang. Pekan kedua kursus dilaksanakan pada 23-27 Juni 2025. Pada pekan kedua ini, Dr. Ed Caligner seorang psikolog klinis mendampingi kami dalam mendalami materi “mendengarkan secara aktif” (active listening). Materi yang disampaikan menarik dan membahas banyak hal tentang metode mendengarkan secara aktif, tentang cara melakukan pendampingan pribadi, dan mendengarkan secara reflektif. Kami tidak hanya mendalami materi presentasi tetapi juga disertai dengan praktek dalam bimbingan. Dalam kesempatan ini, Dr. Ed menekankan bahwa kegiatan formasi dan pendampingan tidak terlepas dari mendengarkan. Mendengarkan menjadi bagian penting dalam proses formasi, jangan sampai terdistraksi oleh hal lain sehingga membuat formandi tidak nyaman dan tidak terbuka. Saya belajar banyak hal tentang cara mendengarkan yang baik dan proses pendampingan yang baik tanpa harus menghakimi. Keterampilan praktis ini saya butuhkan ketika mendampingi seorang formandi dalam rumah formasi. Rupanya, butuh proses dan banyak latihan untuk dapat mendengar dan mendampingi dengan baik.
Dinamika yang dijalani sungguh memperkaya kami dalam menjalani tugas sebagai formator. Kami menghadapi tantangan dalam proses formasi yaitu kesetiaan dan kesabaran dalam mendengarkan. Tidak banyak yang mampu mendengarkan secara baik, bahkan lebih cenderung untuk menghakimi yang membuat formandi tidak berkembang. Kami merasa dikuatkan karena berada dalam satu panggilan yang sama sebagai Fransiskan. Saya bersyukur boleh berjumpa dengan para saudara lain yang membuka wawasan dan hati saya. Rupanya pergulatan sebagai formator tidak hanya saya alami tetapi juga dialami oleh saudara lain, bahkan pergulatan mereka dalam mendampingi formandi lebih besar. Menjadi formator adalah tugas mulia tetapi juga tidak mudah, karena formator sendiri bukanlah manusia yang sempurna dan masih perlu memformat diri agar menjadi lebih baik.

Menutup rangkaian pertemuan dengan acara makan bersama dan sayonara.
Pada pekan kedua, kami menonton film berjudul “Inside Out 2” sebuah film animasi Pixar 2024 yang disutradarai oleh Kelsey Mann. Film ini menarik dan berisi pesan-pesan perihal aspek-aspek emosional dalam diri manusia pada fase pubertas. Kami mendiskusikan berbagai nilai dan emosi yang muncul dalam proses pendampingan. Kami mengakhiri kursus pekan kedua pada 27 Juni 2025 dengan makan malam bersama di Yacht Club. Kami mensyukuri seluruh proses yang telah dilewati selama kurang lebih 13 hari di Sampaloc, Filipina.
KEMBALI PULANG KE INDONESIA
Perjalanan kami pulang kami ke Indonesia terasa tidak nyaman karena harus berlari-lari mengejar pesawat menuju Indonesia di Bandara Kuala Lumpur, Malaysia. Kami berlari dan tergesa-gesa karena di tiket yang kami dapatkan kami hanya memiliki waktu transit 1 jam dan pesawat dari Filipina delay 30 menit. Pada Sabtu, 28 Juni 2025, kami mengakhiri kursus dengan penuh syukur. Pada pukul. 08.00 kami diantar ke Bandara Internasional Ninoy Aquino oleh Sdr. Jeremy. Kami kembali ke Indonesia pada pukul 13.30 menggunakan pesawat Malaysia Airlines MH-807 dan transit di Malaysia selama 30 menit sebelum terbang menuju Indonesia menggunakan Malaysia Airlines MH-725. Kami tiba di Bandara Internasional Soekarno Hatta pada pukul 20.30 WIB. Sialnya, karena waktu transit yang begitu pendek, bagasi kami tertinggal di Malaysia. Bagasi baru diantar oleh pihak maskapai pada Minggu sore.
Meskipun demikian, saya bersyukur atas seluruh proses perjalanan dan pengalaman yang saya dapatkan selama mengikuti kursus di Filipina. Kursus selama tiga belas hari membantu saya untuk belajar lagi menjadi formator yang baik. Saya bersyukur atas pengalaman menjadi pendamping bagi formandi di provinsi ini. Saya menyadari bahwa diri saya tidak sempurna dan butuh banyak belajar dan berproses. Semoga melalui pengalaman ini saya menjadi lebih baik serta menunjukkan teladan dalam mendampingi dan menemani para saudara untuk menapaki panggilan hidup mengikuti Kristus sebagai seorang Fransiskan. Menutup sharing ini saya mengutip dari Ratio Formationis Fransiscanae (RFF) no. 140, “Hendaknya para pendidik lebih mengandalkan teladan daripada kata-kata dalam menjalankan tugas untuk membantu para calon untuk semakin menyesuaikan dirinya dengan gambaran Kristus, Guru mereka satu-satunya.”
Kontributor: Sdr. Asep Cahyono OFM
Ed.: Sdr. Rio OFM
Tinggalkan Komentar