Jangan Takut; Kegelapan Tidak Menguasai Terang!
(bdk. Mat. 28:5; Yoh. 1:5)
Saudara dan saudariku yang terkasih,
Semoga Kristus yang hidup memberi engkau damai!
Perayaan Paskah tahun ini dilatarbelakangi oleh dunia yang diliputi ketakutan karena menyebarnya virus corona jenis baru. Ratusan ribu orang terinfeksi, puluhan ribu orang meninggal; dan masih banyak lagi yang akan menjadi korban sebelum vaksin yang ampuh ditemukan. Kita bahkan tidak bisa memulai untuk berbicara tentang dampak virus ini bagi kehidupan perekomomian secara lokal, regional dan global. Angka pengangguran melesat dengan cepat, keluarga-keluarga sudah harus mulai memutuskan makanan apa yang mampu dibeli dan mana yang harus mereka tinggalkan. Selain itu, virus ini juga sudah tersebar sampai ke negara-negara di Afrika dan Asia yang belum memiliki infrastruktur kesehatan memadai untuk menerima mereka yang menderita penyakit serius.
Dalam perjalanan ini, Kristus yang bangkit menghampiri setiap kita, menerangi kita dengan sabda-Nya, dan membakar hati kita dengan kasih-Nya: “Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?” (Luk. 24:32). Teks tentang kebangkitan ini mendorong kita kepada kasih, rahmat dan keintiman dengan Tuhan dalam momen-momen kehidupan kita, terutama ketika hidup kita terancam. Tepatlah pada saat-saat seperti ini Tuhan Yesus melakukan hal yang sama terhadap kita, sebagaimana yang ia lakukan terhadap dua murid yang berjalan ke Emaus dengan hati yang remuk-redam, pikiran yang diliputi kebingungan, dan harapan yang terpecah-pecah. Apa yang mereka saksikan di Yerusalem terlalu sulit untuk diterima.
Tanpa dikenali, Yesus mendekati mereka dalam perjalanan, bertanya kepada mereka tentang kecemasan mereka. “Apakah yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?” (Luk. 24:17). Pertanyaan ini lebih dari sebuah pertanyaan informatif tentang situasi terkini. Yesus mulai mendengarkan, dan membiarkan kedua murid tersebut fokus pada kegelisahan mereka: kegelapan dan keputusasaan akan kengerian penyaliban yang menghantui mereka. “Adakah Engkau satu-satunya orang asing di Yerusalem, yang tidak tahu apa yang terjadi di situ pada hari-hari belakangan ini?” (ay. 18). Pertanyaan yang diajukan oleh kedua murid ini menyentuh makna terdalam solidaritas manusia, di samping sudut padang biblis dan tafsir Kitab Suci. Ketidaktahuan terkadang bisa disamakan dengan ketidakpedulian untuk tahu. Paus Fransiskus menyebutnya sebagai budaya acuh tak acuh. Ketika seseorang mengetahui kebenaran akan suatu hal, ia memiliki kewajiban untuk menyatakannya dalam cara yang radikal, berkomitmen untuk melakukan apa yang diperlukan dan yang benar dalam rangka menjawab kebutuhan yang mendesak dan hidup secara konsisten. Inilah hakikat pertobatan: ia memanggil kita untuk bangkit dan menata hidup kita. Pertobatan menuntut kita untuk selalu berdialog dengan kisah Tuhan ini, dan bagian utama dari kisah ini adalah inisiatif Allah untuk selalu mengajak kita kembali kepada-Nya, menyelamatkan kita, dan mengantar kita kepada kehidupan kekal.
Barangkali, karena dikuatkan oleh teman seperjalanan semacam Yesus, kedua murid terus melanjutkan cerita tentang apa yang sebelumnya terjadi di Yerusalem. Mereka menceritakan kembali bagaimana Yesus dari Nazaret menuntun mereka keluar dari hidup mereka yang biasa-biasa saja, dari ketidaktahuan mereka tentang Allah, dan tentang apa yang Ia maksud dengan mereka yang mencari-Nya dengan hati yang rendah dan terbuka. Ia akan membebaskan mereka dari perbudakan –seperti penjajahan yang mereka alami karena pendudukan bangsa Romawi, dan juga persekongkolan mereka yang bekerjasama dengan pemerintahan Romawi demi kepentingannya sendiri. “Tetapi imam-imam kepala dan pemimpin-pemimpin kami telah menyerahkan mereka untuk dihukum mati dan mereka telah menyalibkan-Nya.”(Luk. 24;20).
Bahkan di tengah kegelapan keputusasaan manusia, ketika sepertinya tidak ada ada lagi alasan untuk berharap, kedua murid yang mengadakan perjalanan ke Emaus mampu melihat secercah cahaya. Mereka tidak memiliki keinginan untuk menyerah, mereka tidak mengizinkan keputus-asaan menguasai mereka dan menghancurkan harapan yang ditawarkan kepada mereka melalui “sang nabi agung yang berkuasa dalam pekerjaan dan perkataan di hadapan Allah dan di depan seluruh bangsa kami.” (Luk. 24:19). Akan tetapi, mereka tidak berhenti di sana. Mereka hendak menyampaikan sesuatu yang lain kepada teman misterius dalam perjalanan tersebut: “Tetapi beberapa perempuan dari kalangan kami telah mengejutkan kami: Pagi-pagi buta mereka telah pergi ke kubur dan tidak menemukan mayat-Nya. Lalu mereka datang dengan berita, bahwa telah kelihatan kepada mereka, malaikat-malaikat yang mengatakan, bahwa Ia hidup.” (Luk. 24:22-23). “Ia sudah bangkit!” Betapa sulitnya memadamkan harapan dan kasih manusia, bahkan ketika berhadapan dengan situasi-situasi yang luar biasa. Juga, di dalam keputusasaan, kedua murid itu tetap menantikan kemungkinan bahwa Allah mampu membuat suatu kebaruan, bahwa Allah tidak meninggalkan mereka.
Dalam perayaan Vigilii Paskah, terdapat satu teks Kitab Suci yang erat dikaitkan dengan arti dari kesetiaan dan harapan yang Allah tawarkan kepada seluruh umat manusia melalui Yesus, Putera-Nya yang terkasih. Injil Matius mengisahkan figur Maria Magdalena dan seorang perempuan lain bernama Maria, yang pergi ke kubur untuk meratapi kematian Ia yang mereka yakini sebagai Mesias yang dijanjikan. Terjadilah gempa bumi yang hebat sehingga batu yang menutupi kubur terguling dan seorang malaikat menampakkan diri dan berbicara kepada perempuan-perempuan itu: “Janganlah kamu takut… Ia tidak ada di sini, sebab Ia telah bangkit, sama seperti yang telah dikatakan-Nya” (bdk. Mat. 28:5). Jelaslah bahwa dalam teks tersebut perkataan malaikat menghadirkan sukacita sekaligus kebingungan di dalam hati mereka. Akan tetapi, mereka “segera” pergi, berlari menuju Yerusalem untuk menyampaikan pesan yang mereka terima kepada sebuah komunitas yang bersembunyi dalam ketakutan. Seperti yang dialami oleh para murid dalam perjalanannya ke Emaus, Yesus menjumpai kedua perempuan itu, menyapa mereka, dan membiarkan mereka mendekati-Nya dan memeluk kaki-Nya. Yesus berkata kepada mereka, “Jangan takut. Pergi dan katakan kepada saudara-saudara-Ku, supaya mereka pergi ke Galilea, dan di sanalah mereka akan melihat Aku.”(28:10).
Beragam situasi secara terus-menerus menyingkap ketakutan kita, sebab situasi-situasi tersebut menyambut kita dengan keadaan-keadaan yang tidak pasti dan yang tidak diketahui. Kembali ke tema awal, Epidemi Virus Corona telah menggugah kecemasan, kegelisahan, dan ketidakberdayaan mutlak dalam diri kita. Gambaran akan orang sakit yang menderita kesendirian, karena mereka tidak bisa berkomunikasi dengan anggota keluarganya, menyentak kita. Teks Kitab Suci tentang kebangkitan yang kita jumpai dalam perayaan Paskah mengajak kita untuk menghadapi realitas kejam yang menjadi ancaman bagi hidup manusia: hidup Yesus dirampas oleh sebuah tindakan kekerasan yang kejam; hidup umat manusia kini dihadapkan dengan virus yang mampu membunuh dan melukai jutaan orang di planet yang kecil ini. Kita tahu bahwa virus ini bukan satu-satunya yang mengancam umat manusia, tetapi merupakan sesuatu yang paling mendesak saat ini. Mari kita sekali lagi mendengar pesan dari malaikat dan Yesus yang datang untuk memberikan penghiburan kepada kita di tengah kesulitan yang sedang melanda seluruh umat manusia.
Jangan takut! Ya, Kristus yang bangkit sungguh “menjadikan segala sesuatu baru” (Why. 21:5) dan Ia hendak memperbarui hidup kita dan memperbarui cara kita menghadapi segala macam ancaman. Ia, sebagaimana ditegaskan oleh Santo Bonaventura, “mengalahkan sumber kematian, mengajarkan kita cara hidup” (Tree of Life 34). Yesus mendorong kita untuk meninggalkan kubur ketakutan kita, kecurigaan kita, kenyamanan kita; untuk melampaui situasi-situasi yang menghalangi kita untuk menghidupi panggilan kita secara penuh, yaitu untuk bangkit, untuk menjadi manusia baru. Saya teringat akan perkataan Paus Fransiskus dalam Kapitel General terakhir yang mendorong kita untuk “memperbarui rasa saling percaya sehingga dunia melihat dan percaya, mengenali kasih Yesus yang menyembuhkan luka dan menyatukan semuanya”. Ini adalah sebuah permintaan untuk menguatkan kepecayaan kita kepada kekuatan yang mengalir dari peristiwa Paskah.
Perjumpaan dengan Kristus yang bangkit, yang membebaskan kita dari segala ketakutan yang membuat kita tidak berdaya, mendorong kita untuk melampaui diri kita sendiri, melampaui keamanan dan kenyamanan diri kita, dan hal itu memang demikian adanya. Kita ditantang untuk memilih jalan yang ditunjukkan oleh Injil yang adalah suatu kebaruan karena jalan itu adalah “perkataan hidup yang kekal” (Yoh. 6:68). Perjumpaan dengan Dia yang bangkit menjadi misi dan pewartaan akan hidup baru. “Mereka yang sudah menjumpai-Nya, yang hidup sebagai sahabat-Nya dan mengenali sabda-Nya, mau tidak mau harus mewartakan Dia dan mewartakan kepada orang lain tawaran-Nya akan hidup baru: Celakalah aku bila aku tidak mewartakan Injil!” (Querida Amazonia 62).
Jadi, apa yang harus kita wartakan? Tanpa lelah; dengan segenap suara, kesaksian, dan dalam keseluruhan hidup, kita harus senantiasa mewartakan bahwa Yesus Kristus hidup dan dengan kebangkitan-Nya, Ia mengalahkan maut. Kita harus memaklumkan bahwa kematian, kebencian, dan rasa takut bukanlah akhir dari segala-galanya, tetapi hidup Kristus yang bangkit adalah sabda yang menentukan sejarah hidup umat manusia dan kisah hidup diri kita masing-masing. Kita harus dengan lantang mengucapkan, ”Kegelapan tidak menguasai terang” (Yoh. 1:5), tetapi terang Paskahlah yang menyinari setiap kegelapan dan memancarkan permulaan hari tanpa matahari yang terbenam. Allah tidak akan pernah meninggalkan mereka yang Ia ciptakan dan yang Ia takdirkan untuk hidup, untuk mengasihi, dan untuk berharap! Dunia, Gereja, dan persaudaraan kita perlu mendengar pesan ini: Kita adalah pembawa kabar gembira, maka dengan murah hati kita membawa kabar baik yang timbul dari perayaan Paskah.
Selamat Paskah untuk kita semua
Roma, 5 April 2020
Minggu Palma
Sdr. Michael A. Perry, OFM
Minister General dan Hamba
Diterjemahkan dari https://ofm.org/blog/easter-letter-2020/ oleh Sdr. Vincent Gabriel, OFM
Tinggalkan Komentar