Doa Yesus dan Doa Kita

 

 

Artikel berikut merupakan pesan paskah tahun 2025 dari Minister General, Sdr. Massimo Fusarelli OFM. Pesan ini ditujukan kepada para Saudara Dina, para Saudari Klaris dan Suster-Suster Konsepsionis, para Saudari-Saudari Fransiskan Ordo Ketiga Regular, serta para Fransiskan Awam, dan seluruh umat. 

 

 

Saudara-saudari terkasih,

Semoga Tuhan memberimu kedamaian!

Saat kita mendekati Pekan Suci, saya ingin merenungkan unsur utama dalam sengsara, wafat, dan kebangkitan Tuhan Yesus — yaitu doa-Nya. Injil memberi kesaksian bahwa Yesus berdoa sepanjang hidup-Nya, mencari ruang keintiman dengan Bapa. Sebelum melakukan hal-hal penting Ia berdoa bersama para rasul di Bait Allah. Doa telah memenuhi seluruh keberadaan diri-Nya dan mengundang kita untuk masuk ke dalam misteri tersebut bersama dengan-Nya.

Yesus selalu berdoa, bahkan di saat-saat gelap sengsara-Nya. Pada Minggu Palma, bersama dengan orang banyak, Ia memuji Bapa. Selama Perjamuan Terakhir, Ia mengucap syukur atas anugerah roti dan anggur. Di taman Getsemani, aagar mampu melaksanakan kehendak Bapa ia berdoa begitu dalam sampai berpeluh darah. Di atas kayu salib, Ia berdoa  mempercayakan diri-Nya kepada Bapa dan mengampuni para penyiksa-Nya. Dalam keheningan Sabtu Suci, Ia tetap sepenuhnya berserah kepada Bapa.

Aku telah bangkit, dan Aku masih bersamamu. Engkau telah meletakkan tangan-Mu ke atas-Ku.” Antifon Pembukaan untuk Hari Minggu Paskah pagi menunjukkan kepada kita Yesus berdoa kepada Bapa pada saat kebangkitan, dengan suara seorang manusia yang telah menderita, terbebani oleh hari-hari sengsara-Nya. Dan sekarang “Ia hidup senantiasa untuk menjadi perantara bagi mereka” (Ibr 7:25).

Dengan tatapan terarah kepada Yesus, marilah kita ingat bahwa sumber doa sudah ada di dalam diri kita: yaitu Roh dari Dia yang Tersalib dan Bangkit serta karya-Nya yang kudus (lih. AngBul 10:8). Di dalam Dia, kita dapat menanggapi keterarahan insani kepada Allah yang bersemayam di dalam diri kita dan menampakkan dirinya secara lebih jelas dalam keheningan.

Kita mesti memulai lagi dari Tuhan, memulai lagi dari Dia yang ada di dalam kita — dan doa diperlukan untuk perjalanan ini. Tidak mudah untuk tetap setia pada doa, terutama di tengah kerumitan sejarah saat ini. Sering kali, waktu doa kita menjadi mekanis, kehilangan jalinan yang vital dengan kehidupan sehari-hari. Akibatnya, doa pribadi kita — meditasi, keheningan, permenungan Sabda —  mencapai titik terendah. Tidakkah kita tergoda untuk meninggalkannya, memaklumi diri sendiri dengan alasan kesibukan kita? Namun ketika doa pribadi melemah, perayaan Ibadat Harian dan Perayaan Ekaristi juga menjadi miskin penghayatan,  afeksi dalam hati tidak lagi berkumandang, dan ingatan akan Tuhan memudar.

Saya mengundang Anda untuk bermenung dalam meditasi pribadi Anda:

Apa yang saya alami dalam kehidupan doa? Sejauh mana saya mengalami pentingnya hidup doa, atau apakah saya tidak menganggapnya penting karena saya tidak menjalankannya secara serius? Apakah saya masih merasakan hasrat untuk berdoa secara pribadi? Apakah keinginan itu hadir dalam diri saya atau tidak? Apakah saya berjuang untuk mencari apa yang berkenan pada Tuhan dalam doa, mengenali kehendak-Nya dalam kehidupan nyata saya? Hambatan apa yang saya rasakan?

Sebagai saudara dan saudari kontemplatif dalam misi, kita dipanggil untuk memupuk keintiman terus-menerus dengan Tuhan: menemui-Nya, mencintai-Nya, dan membiarkan diri kita diubah dalam Dia, untuk melampaui diri kita sendiri menuju kepenuhan hidup di dunia ini. Saya tidak memiliki resep mudah untuk ditawarkan. Dari pengalaman, saya telah belajar bahwa perlu untuk memulai lagi setiap hari, dengan menerima undangan Tuhan untuk ada bersama dengan-Nya. Seperti Santo Fransiskus ingatkan, kita harus waspada terhadap tipu muslihat setan yang ingin mengalihkan hati kita dari Tuhan melalui urusan-urusan duniawi (lih. ER 22:9-25).

Untuk itulah, doa merupakan bagian penting dari perjuangan rohani. Setiap relasi otentik memiliki pergumulannya sendiri, termasuk dengan Tuhan. Doa menghubungkan kita kembali dengan diri kita sendiri dan dengan Roh yang tinggal di dalam diri kita, membantu kita untuk menjumpai wajah sejati Allah sebagai Abba dan, pada saat yang sama, diri kita yang sejati.

Doa bukanlah pilihan, tetapi kebutuhan vital. Kualitas “ekologis”, kristiani, dan fransiskan dari kehidupan kita sebagai manusia bergantung pada kehidupan doa. Doa memampukan kita, bersama Maria, untuk memelihara firman dan karya Tuhan. Tidak akan ada pembaruan yang otentik dan berdaya tahan bila kita tidak berpaling kembali kepada Allah melalui ketekunan doa yang menyentuh kehidupan konkrit kita

Santo Fransiskus menasihati kita untuk berdoa bersama: “Marilah kita senantiasa membuat rumah dan tempat kediaman bagi Dia, yaitu Tuhan Allah Yang Mahakuasa” (ER 22, 27). Persaudaraan yang berdoa benar-benar menjadi tempat yang benar-benar layak huni dan tidak menjadi padang gurun Rohani. Itu adalah suatu tempat di mana kasih dan harapan injili diejawantahkan —bukan sekadar tempat persinggahan di antara kesibukan kegiatan pastoral atau sosial.

Marilah kita memasuki Pekan Suci dengan semangat doa, untuk rehat dari keletihan yang mungkin kita rasakan. Janganlah kita menipu diri sendiri dengan anggapan, kita dapat menggantikan doa dengan komitmen apa pun, betapapun mulianya itu. Hubungan pribadi dengan Tuhan tetap menjadi pusat pilihan kita untuk mengikuti Yesus dalam semangat Santo Fransiskus, Klara, Beatrice da Silva, dan Elizabeth, yang mana mereka telah menjadi doa yang hidup itu sendiri.

Marilah kita mengalami Paskah sebagai suatu komunitas yang berjaga-jaga. Doa memungkinkan kita untuk hidup di bumi ini dengan pandangan yang terarah ke surga dan dengan hati yang peka pada jeritan kemanusiaan. Dengan cara ini, kita dapat membawa senyuman Tuhan ke dunia berkat pancaran cahaya harapan di tengah-tengah begitu banyak tanda-tanda kebinasaan — perang dan persenjataan, ketidakadilan, krisis lingkungan, penolakan terhadap mereka yang lemah, pengungsi dan migran, serta arogansi segelintir orang kaya yang acuh tak acuh terhadap nasib orang miskin.

Apakah kita masih merindukan pengalaman jatuh cinta akan Tuhan sebagai anugerah dari doa dengan menciptakan lingkungan yang menumbuhkan semangat doa itu dalam persaudaraan kita? Pada Paskah ini, saat kita menerima Sakramen Rekonsiliasi marilah kita mengakui hambatan-hambatan yang menghalangi kehidupan doa kita, dan memulai lagi dengan semangat baru. Marilah kita memberi ruang bagi Tuhan dan mengalami keindahan wajah-Nya dan dengan demikian, kita akan menemukan jawaban atas kerinduan banyak orang.

Sukacita yang dialami Fransiskus adalah buah matang dari perjalanannya menemukan Tuhan dalam doa. Jika kita tekun mencari wajah Tuhan, kita dapat menjadi pribadi yang penuh damai, berpusat pada hal yang benar-benar bernilai, mampu menjalin hubungan otentik ketika memperhatikan orang lain, bahkan di tengah kerja keras kita sehari-hari.

Inilah harapan saya saat kita merayakan 800 Tahun Kidung Segenap Ciptaan, salah satu ekspresi tertinggi dari doa Santo Fransiskus dalam memuji dan mengagungkan Tuhan. Semoga pada Paskah ini kita juga ingin berkata kepada Tuhan:

O, Engkau yang kudus dan rendah hati, kami memuji-Mu bersama segenap ciptaan-Mu. Kami memuji Engkau juga atas hal-hal yang menakutkan kami, seperti kelemahan insani dan kematian. Kami memuji Engkau atas mereka yang mengalami kesuraman dengan pengampunan. Kami memuji Engkau bersama segenap ciptaan dan mengembalikan segalanya kepada-Mu, Tuhan, sumber kehidupan.

Melalui buah-buah refleksi  ini, saya mengucapkan Selamat Paskah yang kudus dan damai bagi Anda sekalian. Salam persaudaraan,

Sdr. Massimo Fusarelli OFM

Minister General

 

alih bahasa: Sdr. Rio OFM

Ed.: Sdr. Fery Kurniawan OFM

Tinggalkan Komentar