Refleksi ini disampaikan oleh Sdr. Gusti Nggame OFM, koordinator DPS (Dapur Penginjilan dan Spiritualitas) OFM Indonesia, di hadapan para Saudara Dina Provinsi St. Michael Malaikat Agung, Indonesia, dalam kesempatan pembukaan perayaan 800 Tahun Kidung Segenap Ciptaan dan Tahun Yubileum 2025, pada tanggal 5 Februari 2025.
Provinsi St. Michael Malaikat Agung Indonesia mencanangkan tahun 2025 sebagai tahun Kidung Segenap Ciptaan dan Peziarah Pengharapan. Langkah ini diambil untuk memadukan dua peristiwa penting yang dirayakan oleh Keluarga Fransiskan dan Gereja universal, yaitu 800 Tahun Kidung Segenap Ciptaan dan Tahun Yubileum yang mengangkat tema “Ziarah Pengharapan”. Dalam Bulla Spes Non Confundit, Paus Fransiskus memberi pendasaran teologis bagi harapan kristiani. Ia mengatakan, “harapan kristiani tidak menipu atau mengecewakan karena didasarkan pada kepastian bahwa tidak ada apa pun atau seorang pun yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah” (No.3). Paus mengutip Santo Paulus yang mengatakan: “aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita” (Rom. 8:38-39).
Iman akan kasih Allah ini juga yang bisa kita temukan dalam Kidung Segenap Ciptaan. Kita bisa memaknai kidung ini sebagai nyanyian Santo Fransiskus dari Assisi tentang kebesaran kasih Allah. Fransiskus menyusun kidung ini pada musim dingin 1225, tepatnya ketika ia mengalami penderitaan hebat dalam hidupnya. Ia berada dalam keadaan sakit, hampir buta, sudah ditandai oleh stigmata, dan dibayangi masalah-masalah yang terjadi dalam Ordo. Meskipun demikian, semua bentuk penderitaan itu tidak memisahkan Fransiskus dari kasih Allah. Sebaliknya, dengan penuh keceriaan ia menyanyikan keagungan kasih Allah yang terpancar melalui unsur-unsur alam (baik di langit maupun di bumi), melalui manusia yang mengampuni dan menanggung penderitaan, bahkan melalui kematian.
Tahun Kidung Segenap Ciptaan dan Peziarah Pengharapan mengajak para Fransiskan dan pecinta Santo Fransiskus Assisi untuk percaya pada kebesaran kasih Allah. Dalam level pribadi, percaya kepada kasih Allah membuat kita tetap memiliki harapan, kendati mengalami situasi sulit. Dalam relasi dengan seluruh ciptaan, kemampuan menemukan kasih Allah melalui ciptaan bisa memberi kita motivasi untuk semakin menjaga dan melestarikan alam semesta. Harapan untuk mewujudkan bumi sebagai rumah bersama bisa terjadi kalau kita menyadari bahwa ciptaan-ciptaan merupakan ekspresi kasih Allah kepada kita.
Menarik juga untuk mendalami makna kata peziarah. Dalam terminologi Fransiskan, kata peziarah bukan sesuatu yang asing. Sabto Fransiskus biasa menyebut dirinya dan para saudaranya sebagai pilgrims and strangers, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan sebutan musafir dan perantau. Salah satu ciri khas yang melekat pada seorang musafir dan perantau (peziarah) adalah kemiskinan. Dalam Anggaran Dasar, Fransiskus menegaskan bahwa sebagai musafir dan perantau, para Saudara Dina tidak boleh membuat sesuatu pun menjadi miliknya (AngBul VI). Hal itu berarti para Fransiskan diajak untuk hidup dalam semangat kemiskinan atau tanpa milik (sine proprio). Dalam pandangan Fransiskus, segala sesuatu berasal dari Allah dan menjadi milik Dia. Karena itu, tidak ada seorang pun yang bisa mengklaim hal-hal yang ada di dunia ini sebagai miliknya.
Hidup dengan mentalitas sebagai peziarah yang miskin (hidup tanpa milik) adalah sikap dasar untuk membangun bumi sebagai rumah bersama. Eloi Leclerc mengatakan, “dalam diri Fransiskus, Injil kemiskinan identik dengan Injil Kidung Segenap Ciptaan. Dia adalah orang miskin yang bernyanyi”. Sementara Paus Fransiskus, dalam Laudato Si, membuat hubungan antara kemiskinan sukarela Fransiskus dari Assisi dan kritik terhadap paradigma teknokratis. Ia menjelaskan, “Kemiskinan dan kesederhanaan Santo Fransiskus bukan sekadar asketisme lahiriah, tetapi sesuatu yang lebih radikal: penolakan untuk menjadikan realitas sebagai objek penggunaan dan dominasi” (LS 11).
Tahun Kidung Segenap Ciptaan dan Ziarah Pengharapan mengingatkan kita bahwa sebagai peziarah di dunia ini kita perlu mengedepankan logika anugerah dan bukan logika kepemilikan. Fransiskus telah menawarkan sebuah cara baru untuk hidup dan mendiami dunia. Mengatasi relasi yang didasarkan pada kepemilikan atau kekuasaan, kita diharapkan untuk melihat dan memperlakukan ciptaan-ciptaan sebagai anugerah yang perlu dihormati dan dijaga.
Tinggalkan Komentar