Di tengah masa paceklik akibat pandemi covid-19 yang menghantam negeri Indonesia tercinta, para Saudara Muda bersyukur karena telah melaksanakan retret pembaharuan kaul sementara. Di bawah tema besar “Memaknai Tahun Persaudaraan: Hidup Bersama Para Saudara Disabilitas” retret dijalankan secara daring melalui kanal zoom. Retreat yang dijalankan selama sepekan, 25-31 Juli 2021, dipandu oleh Sdr. Eduardus Salvatore OFM. Retret saudara muda tahun ini terbilang unik karena diikuti oleh dua orang Saudara Dina Kausin. Selain itu, retret tahun ini juga menarik karena setiap komunitas turut diberi tugas dalam setiap sesi retret, seperti memimpin doa pembuka dan penutup, ice breaking, atau tampilan video kreatif.
Retret dimulai pada Minggu, 25 Juli 2021, pukul 16.00 WIB dengan diawali Ibadat Pembuka yang dipimpin Sdr. Edo, OFM. Dalam renungan singkatnya, Sdr. Edo, OFM mengajak para peserta retret untuk belajar dari teladan Santo Fransiskus Asisi dalam melayani orang-orang kecil, tersisihkan, dan mereka yang mengalami diskriminasi sosial dalam masyarakat. Sdr. Edo, OFM juga menegaskan penyandang disabilitas terbaru dalam konteks sekarang adalah orang-orang yang terpapar virus corona yang diusir dari lingkungan tempat mereka tinggal. Orang-orang seperti itu perlu kita lindungi.
Ada beragam topik yang dibicarakan menyangkut tema seputar Fransiskan dan kaum disbalitias. Misalnya, hari pertama, Sdr. Edo, OFM membingkai permenungan retret saudara muda dengan topik “Merenungkan makna diri sebagai citra Allah.” Titik tolak dari permenungan ini adalah refleksi biblis dari kisah penciptaan manusia dalam Kejadian 1:26-27. Manusia diciptakan menurut gambar dan citra Allah. Sama seperti ciptaan lain diciptakan oleh Allah baik adanya, manusia diciptakan Allah secara sempurna. Tetapi, manusia jatuh dalam dosa yang menyebabkan ketidaksempurnaan. Kendati berdosa manusia disempurnakan oleh Yesus Kristus yang mewujudkan citra Allah yang sempurna. Karena diciptakan Allah dan dipulihkan pribadi Yesus dengan sempurna, maka manusia tidak dapat membeda-bedakan satu sama lain. Tidak membedakan-bedakan antara yang sempurna secara fisik, mental, dan psikologis dengan yang tidak sempurna secara fisik, mental, maupun secara psikologis.
Hari kedua, Sdr. Edo, OFM menuntun para saudara muda mendalami topik “Disabilitas di dalam dan sekitar kita.” Dalam topik kali ini Sdr. Edo, OFM mengajak para saudara muda berkenalan lebih jauh dengan tema disabilitas. Ada pelbagai macam istilah terkait disabilitas yang perlu diketahui. Akan tetapi, terkait istilah umum dan teknis, Sdr. Edo, OFM hanya memfokuskan diri pada disabilitas dan difabilitas. Secara sederhana kaum difabilitas adalah orang-orang yang beraktivitas secara berbeda dengan orang lain secara normal dan umum akibat keterbatasan fungsi anggota tubuh dalam gerak dan sensorik, entah karena bawaan atau karena faktor-faktor lain. Sementara disabilitas adalah orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik dan mental sehingga sulit memiliki akses dalam kehidupan sosial seperti orang-orang normal pada umumnya. Sdr. Edo, OFM juga mengajak para saudara muda untuk menyadari dan berkenalan dengan kaum disabilitas di sekitar kita. Barangkali mungkin kaum disabilitas itu adalah diri kita sendiri, atau saudara sekomunitas kita yang luput dari perhatian kita.
Hari ketiga, Sdr. Edo, OFM mengajak para saudara muda sekadar merefleksikan topik “Singkirkan balok di matamu.” Sdr. Edo, OFM berusaha membongkar kemapanan refleksi dan probem teologis yang mungkin mencederai cara pandang dan hidup kita terhadap kaum disabilitas. Seringkali kita jatuh dalam pemahaman yang ekstrem yang mengobjekkan kaum disabilitias, bahwa kaum disabilitas adalah orang-orang yang perlu dikasihani atau sekadar perlu diperhatikan, tetapi kita mereduksi arti kehadiran kaum disabilitas di ruang publik. Sdr.Edo,OFM mengangkat Nancy L. Eiesland seorang teolog sebagai basis pijakan refleksi teologi dalam memandang kaum disabilitas. Menurut Eiesland aspek kebertubuhan (physically) merupakan locus theologicus. Tubuh dapat dimaknai dan direfleksikan dari dua sisi yang berbeda. Pertama, tubuh sebagai suatu “kodrat” dan kedua, tubuh sebagai “normalitas” yang telah lama menjadi referensi ideal yang dapat mempengaruhi derajat seseorang. Tetapi, di lain sisi, tubuh dapat dimaknai sebagai bagian dari pengalaman yang konkret dan unik. Tubuh adalah sarana untuk dapat mengekspresikan diri, tetapi juga dapat menjadi target eksklusi dari masyarakat jika tidak sesuai dengan nilai “normal” dan “ideal.” Oleh karena itu, pemahaman dan perhatian yang tepat terhadap nilai kebertubuhan dapat mengurangi segala potensi perendahan terhadap nilai kemanusian yang ada dalam diri kaum disabilitas.
Hari keempat, Sdr. Edo, OFM menuntun para saudara muda mendalami topik “Mengimani Allah yang cacat, Miskin, dan Tersalib.” Pengakuan serta pelayanan kita terhadap kaum disabilitas mesti bertolak dari iman dan pemahaman yang benar dan tepat. Pribadi Yesus Kristus dalam pewartaan serta pelayanan-Nya terhadap orang kecil menjadi patron atau simbol keberpihakan dan pelayanan kita terhadap kaum disabilitas. Arti penting dari kehadiran dan penerimaan Yesus terhadap orang-orang kecil dan terpinggirkan pada zaman-Nya adalah upaya rekonsiliasi sosial terhadap mereka yang tersisihkan. Bagi Yesus semua orang adalah sama di hadapan Allah, pun dalam konteks sosial tetap sama. Oleh karena itu, arti penting panggilan kita sebagai saudara dan dina adalah berusaha menghayati bahwa pribadi setiap orang adalah sama di hadapan Allah. Dengan iman yang benar terhadap Allah yang satu dan sama kita memandang orang lain sebagai saudara seciptaan.
Hari kelima, Sdr.Edo,OFM mengajak para saudara muda mendalami tema “Memeluk kelemahan-pastoral solidaritas berbasis cinta persaudaraan.” Setelah berkelana jauh dari pelbagai macam pandangan dan refleksi tentang keberpihakan kita terhadap kaum disabilitas, tema hari kelima mengajak saudara muda untuk melihat kembali karya-karya atau pengalaman-pengalaman keberpihakan kita terhadap kaum disabilitas. Kita sebagai anggota gereja juga kadang lemah tak berdaya dalam melayani kaum disabilitas. Kita sebagai anggota persekutuan umat Allah berusaha untuk keluar dan terbebas dari kecenderungan yang eksklusivitas. Kelemahan kita terutama pemahaman yang salah terhadap kaum disabilitas mesti menjadi titik berangkat untuk selalu bertobat. Kita sebagai fransiskan perlu mengupayakan pertobatan terus menerus sebagai wujud kedinaan kita.
Dalam mengendap topik-topik yang dibahas, setiap komunitas berusaha membuat sebuah karya kreatif berupa lagu atau nyanyian, puisi, video kreatif dan singkat, goyang, dan tik-tok. Hasil kreativitas ini dibawakan sebagai rekreasi akhir permenungan retret selama sepekan. Hari keenam adalah hari penutup dan evaluasi mengenai dinamika retret sepekan. Penanggungjawab ibadat penutup adalah dari setip komunitas.
Walaupun karena dilaksanakan secara online dan menimbulkan kesan monoton, membosankan, melelahkan, layaknya kuliah online yang sudah dijalani selama masa pandemi ini, para saudara muda menilai tema retret tahun ini sangat kontekstual. Pertanyaan reflektif filosofis dan teologis “Siapakah aku/siapakah Allah yang aku imani / dan siapakah sesamaku” menuntun permenungan pribadi para saudara muda selama retret berlangsung. Pertanyaan eksistensial di atas diharapkan dapat menyadari arti panggilan kita sebagai saudara dan dina terutama terhadap orang-orang sakit, kecil, dan terpinggirkan.
Berangkat dari pertanyaan fundamental “Siapakah aku/Siapakah Allah yang aku imani dan Siapakah sesamaku”, dalam konteks tema disabilitas, para saudara muda merefleksikan bahwa kita semua adalah kaum disabilitas itu sendiri. Kaum disabilitas itu ada di komunitas kita masing-masing. Dan kita semua selalu membutuhkan kehadiran saudara lain di komunitas. Hal ini berangkat dari permenungan pribadi dan refleksi bersama para saudara di tiap kelompok dalam komunitas.
Para saudara muda juga bersyukur karena retret tahun ini dapat melihat kembali pengalaman-pengalaman melayani para saudara dan saudari di Rumah Singgah, atau pelayanan terhadap orang kusta selama menjalani masa live in di Rumah rehabilitasi St.Damian Cancar. Serpihan pengalaman itu sangat berharga dan perlu direfleksikan secara terus-menerus.
Dalam sharing bersama para saudara mengungkapkan segala kekurangan dan kelebihan dalam diri masing-masing. Para saudara menyatakan segala kelebihan diri yang ada digunakan sebagai sarana penyalur rahmat Allah kepada para saudara yang membutuhkan, sedangkan pelbagai kelemahan diri yang ada menunjukkan ketergantungan pada saudara lain. Kita ada bersama untuk saling melengkapi, pun kaum diabilitas sangat membutuhkan arti penting dari kehadiran kita.
Sdr. Efrem Dianto Agundi, OFM
Tinggalkan Komentar