Makin Tua Makin Menjadi

1Cel 103:

“Walaupun bapak yang mulia itu telah mencapai kesempurnaan dalam rahmat di hadapan Allah dan memancarkan sinarnya karena pekerjaan-pekerjaan suci di tengah-tengah orang-orang dunia ini, namun ia selalu berpikir untuk memulai yang lebih sempurna dan untuk selaku satria yang terlatih amat baik dalam balatentara Allah menantang musuh dan mengobarkan perang baru lagi. Di bawah pimpinan Kristus ia masih bemiat melakukan hal-hal yang besar. Meskipun anggota-anggota tubuhnya sudah lumpuh dan tubuhnya sudah mati, namun ia mengharapkan kemenangan atas musuh dalam pertempuran yang baru. Memang, keutamaan yang sejati tidak mengenal akhir, karena ganjaran yang diharapkan adalah abadi. Karena itu berkobarlah dalam hatinya kerinduan yang amat besar untuk kembali lagi kepada kehina-dinaan yang semula.

Terbawa oleh cinta kasih yang tak terhingga ia berharap dengan penuh suka-cita dan berniat mengerahkan kembali tubuhnya kepada pengabdian semula, meskipun itu sudah diperasnya sampai sehabis-habisnya. Ia menghapus kekuatiran yang merintangi dan menindas sepenuhnya setiap kesugulan yang menggelisahkan hatinya. Dan ketika karena sakitnya ia terpaksa melunakkan kekerasannya yang dahulu, maka ia berkata: “Marilah saudara-saudara, kita mulai mengabdi kepada Tuhan Allah, sebab hingga kini kita hampir tidak atau sedikit saja atau sama sekali tidak mencapai kemajuan.” Ia beranggapan, bahwa hingga kini ia tidak mencapai sesuatu pun; dan dengan tak kunjung lelah ia bertekun dalam usahanya untuk kesucian, dan lagi ia hidup dalam pengharapan untuk memulai lagi. – Ia mau kembali lagi melayani orang-orang kusta dan mau dicemoohkan lagi, seperti yang dahulu dialaminya. Ia berniat menghindari pergaulan dengan orang-orang dan mau pergi ke tempat-tempat yang jauh, agar ia lepas dari segala urusan dan bebas dari segala kesugulan atas orang-orang, sehingga ia hanya terpisah dari Allah oleh dinding tubuhnya saja”.

Dari catatan Thomas Celano tentang Fransiskus diangkat tiga hal berhubungan dengan semangat hidup St. Fransiskus, yaitu Fransiskus yang selalu bersemangat muda, selalu mengendali semangat daging untuk mencapai Kedinaan sejati dan yang menemukan makna hidup dalam pemberian diri…dengan menerobos batas-batas…maut badani. 

  1. Fransiskus selalu bersemangat-muda

Thomas Celano menampilkan dengan amat jelas tadi profil rohani seorang Fransiskus yang  selalu bersemangat-muda dalam hidupnya. Begitu bersemangat mudanya sehingga setiap kali ia mau memulai lagi: “meskipun  telah mencapai kesempurnaan… namun ia selalu berpikir untuk memulai yang lebih sempurna…”, atau untuk “melakukan hal-hal besar”. Ia tidak pernah merasa ‘cukup’ melakukan kebaikan…malah selalu merasa  belum  berbuat apa-apa (tipe orang yang ‘ambisius berbuat baik’). Begitu bersemangatnya dalam sikap selalu mau memulai lagi atau melakukan hal-hal besar itu sehingga ia melihatnya sebagai sebuah pertarungan dan ia ingin memang dalam pertarungan itu: “…meskipun anggota tubuh lumpuh…ia mengharapkan kemenangan atas musuh dalam pertempuran baru”; hanya yang bersemangat muda saja yang selalu siap bertarung dan berusaha untuk menang dalam pertarungan.

Seiring dengan gairah semangat muda yang ditandai dengan kesiapan untuk selalu mulai lagi dan kesiagaan menghadapi tantangan, terbayang juga seorang Fransiskus yang bergembira-ria menatap jelas ke depan. Sukacita-kegembiraan (dalam Tuhan) mewarnai hidup (dalam pertobatan) Fransiskus.

Hal itu terjadi atas dasar pengalaman pada awal pertobatan Fransiskus. Pengalaman mencari makna kehidupan-mengalami tuntunan ilahi-menemukan arah yang jelas, mengantar dia kepada sukacita-kebahagiaan mendalam.

Salah satu peristiwa yang membawa sukacita mendalam yang tidak terlupakan atau sekurang-kurangnya diingat Fransiskus sampai pada saat akhir hidupnya (sebagaimana terungkap dalam Wasiatnya) adalah pertemuannya dengan orang kusta. Kegembiraan dari peristiwa itu diungkapkan secara padat dalam kata-kata: “mendatangkan kemanisan bagi jiwa dan badan “ (WasFr 3), “mendatangkan damai” (K3S 11). Sukacita-kemanisan bagi jiwa dan badan itu begitu mendalam sehingga membalikkan seluruh tata-nilai dalam hidup (pertobatan) Fransiskus yaitu ‘yang dulu pahit mejadi manis’; ia juga semakin terdorong (oleh belas kasih) untuk melayani orang kusta,  orang-orang tersingkir (cfr. 1Cel 17; K3S 11; WasFr 1-3).

Pertemuan dengan orang kusta itu sendiri sesungguhnya suatu pertemuan misterius (suatu mistik perjumpaan). Bertemu dengan orang kusta itu biasa. Yang tidak biasa adalah tindakan Fransiskus dalam pertemuan itu: ia merasa ada dorongan dari dalam dirinya untuk turun dari kuda…menjumpai orang kusta…bukan sekedar memberi uang melainkan juga ciuman persaudaraan…lalu mengalami kemanisan persaudaraan.  Bonaventura mengatakan bahwa orang kusta itu adalah Yesus Kristus (KB II.5).  Jelaslah betapa peristiwa itu mengendap-dalam di hati dan pikiran Fransiskus.

Sebelumnya, Fransiskus mengalami sukacita berhubungan dengan ‘peristiwa Spoleto’. Ketika ia gagal dalam usaha -karena provokasi- untuk kembali ke cita-cita lama (pengalaman mimpi Spoleto) ia/”Fransiskus bergegas kembali ke Asisi dengan sangat gembira dan sukacita sebab ia  mengharapkan bahwa kehendak Tuhan akan disingkapkan baginya dan ia mendapat nasehat perihal keselamatannya”(K3S. 6). Thomas Celano merumuskan secara lain soal sukacita ini: “Meskipun penglihatan itu …ada sangkut-pautnya dengan gerakan perang, namun sukacita atasnya, lain sekali rasanya. Sebab ia harus agak memaksa diri untuk melaksanakan rencanannya …” (1Cel 5). Penggambaran Thomas Celano tentang mimpi Spoleto  memang agak lain dari penggambaran Kisah Ketiga Sahabat tentang hal yang sama . Kisah Ketiga Sahabat memisahkan 2 mimpi: mimpi kedua mengoreksi mimpi pertama (K3S. 5-6); sedangkan Thomas Celano tidak jelas membedakan dua mimpi/penglihatan itu (1Cel 4-5); tetapi keduanya jelas menggambarkan sukacita atas kenyataan itu (Yaitu Kembali ke Asisi dan tidak meneruskan perjalanan-mengejar cita-cita lama ke Apulia).

Pada kesempatan lain diperlihatkan kepada kita betapa Fransiskus mengalami sukacita mendalam. Setelah deklarasi di depan Uskup bahwa selanjutnya ia hidup hanya untuk Allah saja dan melepaskan semuanya…ia “dengan gembira dan sukacita besar  mulai menggemakan di sepanjang hutan dengan suara nyaring lagu pujian kepada Pencipta semesta alam” (1Cel 16).

Fransiskus “langsung berseru dengan gembira dalam roh Allah: ‘inilah yang kukkehendaki..inillah yang kucari, inilah yang ingin kulakukan dengan segenap hatiku’” (1Cel 22) ketika, atas bimbingan Sabda Allah, menemukan model hidup dari pengabdian kepada Allah, yaitu berkeliling meawartakan sukacita Injil tanpa mengandalkan apa-apa selain hidup Injili itu sendiri.

Jelas, dalam hidup Fransiskus bersemangat muda seperti digambarkan tadi berkaitan dengan pengalaman sukacita…damai dan itu berhubungan dengan perjumpaan personal dengan Allah (pengalaman akan Allah). Jadi perjumpaan-berhadapan dengan Allah merangsang semangat kemudaan.  Allah, seperti hidup itu sendiri, adalah kemudaan sejati.

Memikirkan kesegaran semangat  ini seorang imam muda  selalu ingat sesuatu yang terang dan segar pada awal tugasnya atau seorang religious muda pada awal perutusannya: kegembiraan dalam Tuhan yang biasa kita ungkapkan dalam mazmur pada kaki altar pada awal misa: ‘Saya akan pergi ke altar Allah, pada Allah yang memberikan kegembiraan masa mudaku’ (Mzr 43:4) – pada Allah yang dalam kehadiran-Nya kegembiraan masa muda menjdi selalu baru, karena seperti hidup itu sendiri dialah sumber kemudaan sejati.

Hidup dengan segala aktivitasnya yang terarah kepada Allah… merangsang semangat kemudaan. Kalau terjadi -dan mungkin sering terjadi- kelesuan, kita tidak bersemangat…perlu bertanya diri: apa yang saya cari? Apa yang saya cari ini benar? Pertanyaan-pertanyaan reflektif serupa itu bisa mengantar kita atau menantang kita untuk kembali ke jalan kebenaran dan dengan demikian kita bisa menemukan Kembali semangat kemudaan.

Atau perlu mengingat selalu moment-moment kesemangatmudaan yang kita alami dalam perjalanan hidup: kapan terjadi, situasi Ketika itu terjadi, gambaran kesemangatmudaan saat-saat itu, dst. Ingatan dan kesadaran akan itu semua kiranya dapat menyegarkan Kembali kesemangatmudaan kita.

  1. Fransiskus mengalahkan semangat daging…. menuju Kedinaan sejati

Fransiskus setiap kali ‘mau memulai lagi’, khususnya pada tahun-tahun terakhir hidupnya Ketika dia sesungguhnya sudah melakukan banyak hal yang baik dan Ketika tubuhnya semakin ringkih…. Apa yang mau dimulai lagi itu? Dikatakan Celano tadi bahwa ia mau melakukan hal-hal besar. Melakukan hal-hal yang besar itu diibaratkan sebagai suatu pertempuran..dan dia ingin menang dalam pertempuran baru itu. Pertempuran macam apa? Melawan siapa?

Rupanya pertempuran yang dimaksud adalah  melawan egoism, semangat daging dalam diri sendiri, semangat berpusat pada diri sendiri,  semangat mencari keuntungan diri sendiri. Justru Ketika dia telah melakukan begitu banyak kebaikan, ia sadar  bahwa ia berada dalam situasi rawan untuk  mudah  berbangga-bangga, memegahkan diri dan mencari popularitas. Bahaya itu disadari oleh Fransiskus. Karena itu Ia mau lagi dan lagi mengendali  semangat daging itu….Maka dari itu tadi Celano berkata: “ia…berniat mengerahkan kembali tubuhnya kepada pengabdian semula, meskipun itu sudah diperasnya sampai sehabis-habisnya. Ia menghapus kekuatiran yang merintangi dan menindas sepenuhnya setiap kesugulan yang menggelisahkan hatinya……; dan dengan tak kunjung lelah ia bertekun dalam usahanya untuk kesucian, … – Ia mau kembali lagi melayani orang-orang kusta dan mau dicemoohkan lagi, seperti yang dahulu dialaminya…. berkobarlah dalam hatinya kerinduan yang amat besar untuk kembali lagi kepada kehina-dinaan yang semula”.

Kata ‘berperang, mengobarkan perang’ dipakai Celano untuk menunjukkan kewaspadaan tinggi, kesiapsiagaan…melawan ‘musuh’ semangat daging…mencari kemuliaan di balik perbuatan-perbuatan baik…hal-hal baik yang dijalankan atau dihasilkan…juga melalui kesalehan…devosi. Fransiskus tentu ingat akan yang dikatakan dalam Injil tentang orang-orang mencari keuntungan dari berdoa panjang-panjang…berdiri di pinggir jalan atau berpuasa dengan muka sayu. Fransiskus menyadari bahwa hal-hal itu bisa terjadi pada dirinya. Maka ia selalu waspada.

Dalam kenyataannya Fransiskus pernah mengalami pahitnya akibat hidup menurut semangat daging, mencari keuntungan diri, berpusat pada diri sendiri. Dalam semangat itu ia tidak menghayati nilai-nilai Injil dalam kehidupan sehari-hari, tetapi sebaliknya mencari kemuliaan duniawi, terjun dalam perang, mengalami pahitnya hidup dalam penjara, sakit…kehampaan makna hidup. Semangat itu, kemudian dikenalnya sebagai semangat hidup dalam dosa (WasFr. 1). Periode itu boleh dikatakan sebagai periode di mana Fransiskus menjalankan hidup sebagai seorang atheis praktis.

Fransiskus juga tentu ingat akan sikap ‘menghaki’ (apropriatif) manusia pertama, yaitu menghaki kehendak sendiri untuk menentukan apa yang baik bagi diri sendiri..…”menyombongkan diri atas apa yang baik, yang diucapkan dan dikerjakan  Tuhan di dalam dirinya…”(Pth II). Akibat ulahnya manusia jauh dari Allah, dari kehidupan-kebahagiaan itu sendiri.

Dalam skala besar, ego disadari (oleh para spiritualis, seperti Albert Nolan) sebagai penyebab utama ketidakseimbangan multidimensional dalam dunia zaman ini. Itu juga ditegaskan oleh Paus Fransiskus dalam LaudatoSi.  Ego itu adalah aku/manusia yang berpusat pada diri sendiri, mencari keuntungan diri sendiri; ego itu posesif dengan keinginan yang tak terpuaskan akan pujian, kekuasaan, uang dan harta milik..maka ego cenderung dominatif…menguasai dunia, orang lain. Maka ego yang demikian menciptakan ketidakseimbangan, ketidaknyaman, pertengkaran, persaingan tidak sehat dalam dunia.

Manusia dengan ego yang demikian sesungguhnya tidak nyaman dengan diri sendiri, penuh ketakuakan, kegelisahan dan kekuatiran. Maka Dengan semangat dominatifnya itu ia menyebarkan ketakutan, kegelisahan…kekuatiran kepada yang lain/dunia.

Memang ego yang demikian adalah ilusi, palsu; manusia tidak otonom, individu yang terpisah, sebab kenyataannya aku adalah bagian dari semesta di mana segala sesuatu saling bergantung dan terhubungkan secara mendalam. Kita adalah produk evolusi, produk dari Pendidikan social budaya kita dan produk dari pengkondisian psikologis kita. Kita tidak juga mulai menjadi bebas sampai kita mengenali hal itu  ketika kita membayangkan bahwa sebagai umat manusia  kita berdiri di suatu tempat di luar dan di atas semesta seraya memandang ke bawah kepadanya (seperti dibayangkan Nietschze, seorang filsuf eksistensialis dan kritikus budaya); itu suatu kesadaran keliru; kita tidaklah bebas dan merdeka, kita tertipu.

Semua perpecahan, konflik, permusuhan di antara manusia serta antar-manusia dan alam muncul dari ilusi ego akan kererpisahan dan ketidaktergantungan.

Selama berabad-abad ego manusia telah menjadi daya penggerak yang sangat kuat ke arah pencapaian-pencapaian manusia dalam segala bidang…tetapi di pihak lain ego itu telah menjadi destruktif….menghasilkan ketidakseimbangan…ketidaknyaman…seperti dikatakan di atas.

Maka perlu Langkah besar untuk mengatasi keserakahan ego…demi pengembangan diri manusia yang lebih besar..utuh, lebih universal dan lebih terkembangkan, dengan mengembangkan kerinduan besar yang lain, kerinduan alamiah akan kesatuan, komunitas dan cinta.

Fransiskus menangkap dengan baik ‘tanda-tanda zaman’nya dalam masyarakat-gereja, berhubungan dengan ego yang perlu dikendalikan ini. Ia sendiri mengalaminya (ego yang tidak terkendali), seperti dikatakan di atas. Maka ia menetapkan Langkah untuk dirinya sendiri dan saudara-saudaranya, yaitu mengikuti kedinaan-perendahan Yesus. Di jalan itu ia menemukan dirinya yang begitu dina berhadapan dengan Bapa yang begitu baik-serba baik. Di situlah ia menemukan kebahagiaan-sukacita yang sejati  dan sempuna. Dalam kondisi itu, perendahan dari luar/manusia tidak membuat dia kehilangan harga diri; sebaliknya pujian dari luar/manusia tidak membuat dia berbangga-bangga. (Bacalah dengan baik Petuah XIX). Ketika direndahkan serendah-rendahnya, ia tidak marah, tetap sabar, teguh. Di situlah dia mengalami sukacita sejati dan sempurna. (Bacalah dengan tenang-cermat Sukacita yang sejati dan sempurna).

  1. Fransiskus menemukan hidup dalam pemberian diri…menerobos batas-batas…maut badani

Celano menulis tadi bahwa rupanya Fransiskus sering mengalami kekecewaan, kekuatiran, kesugulan dalam hubungan dengan saudara-saudaranya; karena itu ia mau melepaskan diri dari segala urusan (langsung) dengan saudara-saudara: ia ingin “lepas dari segala urusan dan bebas dari segala kesugulan atas orang-orang..”.Ia mau dalam keheningan batin lebih mengarahkan diri pada-menyatukan diri dengan Allah: “ia mau pergi ke tempat-tempat yang jauh..”. Dengan mengarahkan diri pada-pemberian diri dalam persatuan dengan Allah ia menemukan hidup yang penuh, “sehingga ia hanya terpisah dari Allah oleh dinding tubuhnya saja”. Hidup yang penuh dalam kondisi demikian membuat Fransiskus memberikan kesaksian nyata akan Kedinaan sejati dan menggairahkan dia untuk mengajak saudara-saudaranya (yang tidak sedikit dari antaranya mengecewakannya) untuk selalu memulai lagi “Marilah saudara-saudara, kita mulai mengabdi kepada Tuhan Allah, sebab hingga kini kita hampir tidak atau sedikit saja atau sama sekali tidak mencapai kemajuan.” Fransiskus mengajar saudara-saudaranya terutama dengan kesaksian hidupnya.

Hidup Fransiskus yang demikian menunjukkan bahwa hidup yang penuh dapat dialami manusia di dunia ini walaupun ia masih “terpisah dari Allah oleh dinding tubuhnya”. Pengalaman hidup penuh yang demikian membuka mata hati dan budi Fransiskus bahwa kematian badani bukanlah sebuah batas tegas-keras antara hidup dan mati (seperti dipandang oleh banyak orang), melainkan malahan sebuah pintu masuk ke kehidupan sempurna definitif.

Ketika dia semakin yakin bahwa hidupnya berkenan pada Allah dan bahwa dia akan segera memperoleh kehidupan kekal, ia menyapa maut badani sebagai Saudari (KdgSM. 12) dan malahan mengajak dia (maut) untuk memuji Allah (2 Cel 217).

Seperti telah diperlihatkan di atas, bahwa pemberian diri adalah pra-kondisi untuk kehidupan yang penuh itu. Kehidupan penuh itu adalah anugerah Allah…tetapi anugerah itu mengandaikan atau mensyaratkan keterbukaan manusia dan keterbukaan manusia itu adalah pemberian diri manusia. Manusia mesti mengarah kepada Allah dengan tangan terbuka dan pandangan terarah ke depan…

Pemberian diri telah menjadi pra-kondisi hidup pertobatan Fransiskus. Ketika sakit dan kehilangan makna hidup Fransiskus terbuka hati untuk mengevaluasi hidup dan jawabannya adalah bahwa dia tidak tertarik mengejar cita-cita lama.

Ketika karena provokasi ia tergoda untuk Kembali ke cita-cita lama dan disuruh dalam mimpi untuk tidak meneruskan cita-cita itu, ia pulang ke Asisi dengan gembira…ia mulai menemukan arah hidupnya yang baru.

Selanjutnya Ketika ia memberikan diri ke dalam tuntunan Roh Allah dan mendobrak sekat-sekat relasi sosial dan membangun kasih persaudaraan, misalnya dengan orang kusta, ia mengalami kebahagian mendalam dalam kemanisan persaudaraan.

Pengalaman pemberian diri, lepas dari ego yang berpusat pada diri sendiri, keluar menjumpai orang lain tanpa peduli batas-batas, didorong oleh belas kasih…sungguh membahagiakan Fransiskus, di mana dia menemukan kemanisan persaudaraan kristiani. Pola ini mewarnai seluruh hidup (pertobatan) Fransiskus sampai akhir hidupnya. Dengan memberi (diri) dia menerima kehidupan.

 

Bacalah Mrk 10:28-31

 Petrus berkata kepada Yesus: ‘Tuhan, kami telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikuti engkau’. Mateus menambahkan pertanyaan yang jelas menggarisbawahi hal ini: ‘lalu apa yang kami dapat? (Mat 19:27). Jawaban Yesus mengherankan, tidak mengabaikan persoalan Petrus, seperti diharapkan orang. Yesus tidak menolak Petrus karena ia mengharapkan balasan melainkan mengiyakannya: ’Sesungguhnya, Aku berkata kepdamu, tidak ada orang yang telah meninggalkan rumah atau saudara-saudara atau saudari-saudari atau ibu atau ayah atau anak-anak atau ladang, demi Aku dan Injil, yang tidak menerima seratusganda sekarang rumah dan saudara-saudara dan saudari-saudari dan ibu dan anak-anak dan ladang, dengan penganiayaan dan di masa akan datang hidup abadi’ (Mrk 10:29-30). Tuhan sungguh agung dan jika kita dengan jujur melihat kehidupan kita, kita tahu dalam kenyataannya ia telah menanggapi seratusganda setiap tindakan pemberian. Ia tidak membiarkan kita melebihi dia dalam keagungan. Ia tidak membiarkan dunia datang dengan jawabannya; Ia telah memberikan kepada kita di sini dan sekarang seratusganda, juga ketika dunia ini tetap sebagai dunia penindasan, penderitaan dan kekerasan. Theresia dari Avilla mereduksi, menyederhanakan kata-kata Yesus ini dengan rumusan sederhana: ‘Malah dalam dunia ini Allah membalas kita seratus kali lipat’. Kita hanya perlu mempunyai keberanian awal untuk mulai memberi satu hal, seperti Petrus, yang keluar lagi pada satu pagi karena sabda Tuhan –memberi satu dan menerima seratus ganda (menangkap banyak ikan Luk 5:1-11).

Maka dalam seluruh keredupan hati kita, kita harus terus-menerus meminta Tuhan keberanian, untuk percaya, untuk keyakinan di dalamnya. Dan kita harus berterima kasih kepadanya atas mereka yang telah dia berikan keberanian ini dan atas mereka yang dia berikan kepada kita sebagai suatu tanda pengobaran semangat (seperti Fransiskus dan banyak fransiskan-franiskanes penghayat sejati semangat Fransiskus) untuk mengundang kita melakukan lompatan ke dalam tangan belaskasih-Nya.

Bagaimana pengalaman, pendapat…komentar Saudara-Saudari?

Sdr. Vitalis Nonggur, OFM

Bitora-Papringan-Jogjakarta,  September 2020.

Tinggalkan Komentar