Sindanglaya, OFM-Bertempat di Panti Asuhan Santo Yusup, Sindanglaya, sebanyak 244 anak Sekolah Menengah Pertama (SMP) Marsudirini Bekasi mengadakan live in ekologis pada 11-15 Maret 2024 yang lalu. Live in dibagi dalam dua gelombang. Gelombang pertama diikuti oleh 121 anak (11-13/3/2024) dan 5 pendamping. Gelombang kedua diikuti oleh 123 anak (13-15/3/2024) dan 5 pendamping. Tema yang membingkai seluruh kegiatan live in adalah “Merawat bumi, rumah kita bersama dan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).” Kegiatan live in yang dirangkai dalam P5 ini merupakan pembelajaran lintas disiplin ilmu dalam mengamati dan memikirkan solusi terhadap permasalahan di lingkungan sekitar. Dengan semangat BerTani (Berjuang Tanpa Henti), anak-anak SMP ini merasakan suasana asri yang jarang dnikmati di tempat tinggal mereka.

Semangat BerTani

Hari pertama kegiatan live in dimulai dengan kedatangan para peserta serta pembagian penginapan, yakni di  Wisma Antonius Padua, Wisma Angela, dan Rumah Retret Samadi. Para peserta live in dibantu oleh para guru, karyawan Panti Asuhan, dan anak-anak Panti Asuhan. Keterlibatan para karyawan dan anak-anak Panti Asuhan membantu para peserta live in cepat beradaptasi dengan lingkungan sekitar sekaligus memperkenalkan lokasi-lokasi live in ekologis ini. Selain itu, anak-anak panti dapat belajar melayani dan mengembangkan hospitalitas terhadap orang lain.   Pada hari pertama ini, para peserta diajak  mendalami bersama semangat BerTani ( baca: Berjuang Tanpa Henti) melalui refleksi terhadap ensiklik Laudato Si’ yang disampaikan oleh Sdr Martin Harun OFM.

Kedatangan para peserta live in ke Panti Asuhan St. Yusup, Sindanglaya

Salah satu kekhasan selama kegiatan live in adalah pembacaan  renungan dan doa sebelum makan bersama. Melalui renungan tersebut, para peserta live in diajak untuk sejenak  bersyukur kepada Allah atas anugarah makanan yang diterima melalui Ibu Bumi dan tangan para petani. Doa dan renungan sebelum makan juga menjadi sikap iman yang mengingatkan para peserta live in akan ketergantungan hidup pada Allah Sang Pencipta dan keterkaitannya dengan alam semesta dan orang-orang yang berkekurangan (lih. LS 227).

Adapun renungan yang disampaikan berjumlah tujuh butir dengan merujuk pada ensiklik Laudato Si’. Pertama, memandang makanan sebagai anugerah Allah yang sediakan alam semesta. Lantas, penting untuk berterima kasih kepada mereka yang telah menyediakan makanan dengan penuh cinta kasih (lih. LS 22, 32, 40, 89, 129, dan 227). Kedua,  menyantap makanan  secara berkeadilan. Mengambil makanan secukupnya dan  menghabiskannya. Sikap ini perlu dibiasakan mengingat banyak orang yang berkekurangan dan kelaparan (lih. LS 22, 50, 95, 221, 222, dan 161). Ketiga, menyantap hidangan dengan penuh rasa syukur (lih. LS 17, 101, 222, 223, dan 227). Keempat, menyantap makanan secara perlahan dan penuh kesadaran, tidak terburu-buru. Seraya menyadari fungsi biologis zat-zat penunjang (enzim) yang turut mencerna makanan (lih. LS 19, 56, 105, 159, 218, dan 223). Kelima, menyantap makanan dengan sikap welas asih.  Semoga makanan yang diterima tidak menyebabkan penderitaan bagi makhluk lain, ikut melestarikan bumi, dan mengurangi penyebab pemanasan global dan perubahan iklim (lih. LS 67, 68, 92, dan 130). Keenam, menyantap makanan dalam semangat persaudaraan. Melalui acara makan, persaudaraan dan kekeluargaan  semakin terjalin erat (lih. LS 11, 70, 82, 92, 201, 221, 223, 227, dan 228). Ketujuh, mengucap syukur seusai makan. Memberi waktu untuk sejenak bersyukur atas makanan yang telah disantap.  Betapa beruntungnya kita sudah mendapatkan makanan. (lih. LS 96, 159, 211, 214, 220, 221, 227, dan 237).

Para peserta live in belajar berinteraksi dengan Saudara Domba di Omah Embek.

Selama menjalani rangkaian kegiatan live in, para peserta diajak  berinteraksi dengan alam lingkungan dan sesama. Sejumlah kegiatan disiapkan guna mendukung interaksi tersebut, mulai dari mengolah tanah hingga berdoa secara ekologis.  Di Omah Embek, para peserta diajak untuk dekat dengan domba. Mereka dipandu membersihkan kandang, mengolah kotoran domba menjadi kompos padat dan cair. Tak lupa juga, mereka diajari cara ngarit rumput untuk pakan domba. Selanjutnya, di  Omah Mawar,  para peserta diajak  merawat tanaman mawar mulai dari menyiram, membersihkan gulma, memanen bunga mawar, membersihkan duri mawar, hingga mempersembahkannya kepada Bunda Maria dalam doa Rosario bersama.

Para peserta diajak untuk berkenalan dengan buah labu di Omah Labu. Di situ, mereka belajar  menanam labu, membersihkan pohon labu, hingga memanen buah untuk dibawa pulang sebagai buah tangan. Mereka diperkenalkan juga pada proses pengolahan tanah menggunakan cangkul dan garpu tanah serta pada proses penanaman dan pemeliharaan tanaman lain seperti sayuran dan kopi. Selain diajak berkebun dan bertani, para peserta juga diajak untuk peduli pada kondisi alam sekitar. Mereka diajak menyusuri sungai di sekitar lingkungan panti seraya membersihkan sampah-sampah plastik yang mencemari.

Para peserta live ini belajar mengolah tanah menggunakan peralatan-peralatan tradisional, seperti cangkul dan garpu tanah. Hujan tidak menyurutkan semangat mereka untuk belajar bertani.

Menjaga Keseimbangan hidup

Pada hari kedua, para peserta diajak untuk menjalani serafik. Serafik merupakan format doa ekologis yang berasal dari tradisi Fransiskan. Setiap orang yang menjalani serafik akan berdoa dan membangun relasi dengan Tuhan dengan perantaraan alam ciptaan. Setelah itu, mereka diajarkan teknik memasak menggunakan kayu bakar — yang dicari sendiri —  di atas tungku api. Mengisahkan pengalamannya tinggal bersama orang-orang Dayak Iban di Kalimantan Barat, kepada para peserta live in, Sdr. Trimur menjelaskan demikian. “Jika seorang anak bisa menghidupkan tungku api menggunakan kayu bakar, hal itu  berarti  anak tersebut telah mulai dewasa.”  Selepas acara memasak, para peserta diajak berkenalan dan belajar secara singkat alat musik tradisional Jawa Barat, degung dan angklung. Mengisi acara makan siang, para peserta diperkenalkan dengan tradisi ngeliwet atau makan bersama khas tanah Sunda. Melalui tradisi ngeliwet, para peserta diajarkan untuk bekerja sama dan bertanggung jawab dengan saling berbagi makanan dan  membersihkan perlengkapan makanan sendiri.

Kegiatan lain yang tidak kalah serunya adalah permainan uji keseimbangan. Para peserta ditantang untuk menyeberangi kolam ikan dengan berjalan di atas sebatang bambu yang melintang. Sedikit peserta yang mampu menyelesaikan tantangan tersebut. Menurut Sdr. Martin Kowe, OFM, melalui permainan ini para peserta belajar perihal keseimbangan hidup. “Fokus dan ketenangan dibutuhkan agar tetap seimbang berjalan di atas titian bambu. Demikian juga dengan hidup, fokus dan ketenangan adalah kunci memelihara keseimbangan dalam hidup,” ujarnya.  Menjelang senja, para peserta kembali ditantang untuk membuat konten-konten media sosial bertemakan ekologis. Konten-konten tersebut diunggah pada kanal media sosial mereka masing-masing, seperti Tiktok, Youtube maupun Instagram sebagai sarana pewartaan ekologis.  Pamungkas dari seluruh acara adalah pentas seni  di alam terbuka. Para peserta live in dan anak-anak panti menampilkan atraksi yang menghibur ditemani cahaya dan kehangatan api unggun.

Sertifikat Ekologis

Acara pada hari ketiga diawali dengan doa serafik. Seperti pada hari pertama dan kedua, setelah sarapan para peserta kembai diajak mengikuti rangkaian kegiatan interaksi dengan alam dan sesama. Seluruh acara kegiatan live in ditutup dalam misa syukur di Kapel St. Yusup. Misa dipimpin oleh Sdr. Martin Kowe OFM dan Sdr. Martin Harun OFM. Setelah perayaan ekaristi, para peserta menerima sertifikat ekologis serta buah tangan berupa hasil kebun untuk dibawa ke rumah masing-masing.***

Kontributor: Sdr. Nasarius Trimuryanto OFM

Ed.: Sdr. Jimmy HR Tnomat OFM

Tinggalkan Komentar