Situasi Covid 19 yang sedang melanda umat manusia saat ini tidak menyurutkan semangat para musafir muda Komunitas Duns Scotus dalam upaya pendakian jiwa ke dalam Allah. Pendakian jiwa ke dalam Allah, bukan sekadar usaha manusia, tetapi hasrat Allah akan jiwa manusia. Di sinilah letak relasi antara manusia yang berkapasitas ilahi (homo capax Dei) dan Allah.
Dalam ret-ret yang berlangsung antara 24-28 Juli 2020, Sdr. Andreas Atawolo, OFM, selaku pemberi ret-ret mengantar kami (para peserta ret-ret) pada tujuh tangga perjalanan jiwa ke dalam Allah. Tujuh tangga ini bertolak dari Itinerarium Mentis In Deum, karya Bonaventura. Dalam usaha mengantar kami ke dalam tujuh tangga tersebut, Sdr. Andre di awal ret-retnya memperkenalkan kepada kami latar belakang Itinerarium. Itinerarium ditulis oleh Bonaventura di La verna, 33 tahun setelah wafatnya St. Fransiskus Assisi. Mengapa La verna? Karena La verna merupakan tempat bersejarah perjalanan spiritualitas Fransiskus Assisi sebelum saudari maut menjemputnya. Di sanalah tempat ia memperoleh karunia stigmata, sehingga La verna dapat dikatakan sebagai puncak spiritualitas.
Tangga pertama: Alam semesta sebagai jejak Allah (vestigia Dei). Pada tangga pertama ini, kami diajak untuk melihat dan merenungkan jejak Allah dalam alam semesta. Bonaventura menguraikan tujuh ciri alam semesta, yakni memiliki asal-muasal, besar/agung, beranekaragam, indah, utuh, berjalan dan teratur. Dalam ketujuh ciri-ciri ini tersingkap gambaran Allah sebagai Kebaikan Tertinggi. Alam semesta itu ibarat sebuah karya seni. Mengagumi hasil seni sama artinya dengan mengagumi sang seniman. Oleh karena itu, alam semesta itu bukan sakadar benda, melainkan tanda kehadiran Allah melalui ciptaan-Nya yang begitu mengagumkan.
Tangga kedua: Mengindera Kehadiran Allah Melalui Jejak-Nya. Kemampuan indera memungkinkan kita pada pengenalan akan Allah. Bonaventura melihat pancaindera sebagai pintu masuk kontemplasi ke dalam jiwa. Dengan pintu inderawi, pengenalan kita akan Allah membentuk kepekaan spiritual (spiritual senses). Spiritual senses ini mengarahkan kesadaran kita akan kehadiran jejak Allah dalam ciptaan. Dalam arti yang lebih sederhana, pancaindera tidak sekadar melihat, mencium, mendengar dan merasakan sesuatu, tetapi mengalami Allah sendiri dalam hal-hal yang bersangkutan.
Tangga ketiga: Manusia Sebagai Citra Allah. melalui tangga yang ketiga ini, kami diajak untuk masuk lebih jauh ke dalam diri dan merefleksikan kodrat kita sebagai citra Allah. Dari semua ciptaan Allah, manusia adalah makhluk yang istimewa. Keistimewaannya itu, dilukiskan pada daya ingatan, intelek dan kehendak. Ketiga kemampuan ini membentuk manusia sebagai makhluk yang berkapasitas Ilahi (Homo Capax Dei). Oleh karena itu, Bonaventura mengajak kita untuk mensyukuri anugerah tersebut, yakni martabat kita sebagai makhluk yang secitra dengan Allah.
Tangga keempat: Menjadi Citra Allah yang Dibaharui Rahmat. Pada tangga keempat ini kami diajak untuk terus membuka diri pada rahmat Allah. Rahmat merupakan kerinduan hati manusia akan Allah di tengah situasi keberdosaannya. Melalui rahmat Allah dosa manusia akan diampuni. Oleh karena itu Bonevantura mengajak kita untuk berpaling pada terang ilahi.
Tangga kelima: Pewahyuan Nama Pertama: Akulah Aku. Bonaventura merenungkan pewahyuan nama Allah, Akulah Aku. Hal ini berdasarkan penyingkapan Allah kepada Musa dalam Keluaran 3:14. “Akulah Aku” mengungkapakan hakikat Allah Yang Esa. Bagi Bonaventura pewahyuan nama Allah “Akulah Aku” menunjukkan adanya Allah merupakan sebuah kebenaran mutlak. Hakikat Allah itu bagaikan sebuah cahaya yang menyinari kegelapan. Di dini kita melihat bahwa Allah bukan hanya sebuah gagasan belaka, melainkan Allah adalah pribadi yang selalu mengasihi umat-Nya.
Tangga keenam: Pewahyuan Nama Kedua: Baik. Pada tangga keenam ini, kami diajak untuk merenugkan pewahyuan diri Allah sebagai Kebaikan Tertinggi (Summum Bonum). Allah sebagai Summum Bonum adalah sumber kebaikan yang paling luhur, wujud pemberian diri yang total dan wujud komunikasi kasih yang paling utuh. Konkretisasi dari Allah sebagai Summum Bonum itu harus tercermin dalam tindakan memberi, menerima dan membagi. Dengan itu kita akan merasakan sukacita
Tangga ketujuh: Salib Gambaran Kerendahan Hati Allah. Pada tangga ketujuh ini kami diajak untuk merenungkan salib sebagai ungkapan kasih Allah. Misteri salib memperlihatkan kasih yang penuh kerendahan hati. Pada salib totalitas kasih Allah terpancar. Bonaventura merenungkan misteri salib itu dengan indah: “Dari Salib Kristus menantikanmu, kepala-Nya tertunduk hendak menciummu, lengan-lengan-Nya terentang hendak menciummu, tangan-Nya terbuka menyambutmu, tubuh-Nya terkulai pasrah seutuhnya, kaki-Nya terpaku menantimu dalam diam, bahu-Nya terbuka menyambut kedatanganmu” (Hasrat Allah Akan Jiwa Manusia, 2017:55).
Sdr. Fandri Narong, OFM
Tinggalkan Komentar