Pada tanggal 28 April 2025 hingga 2 Mei 2025, Sdr. Titus, OFM & Sdr. Febrian, OFM mengikuti kegiatan Kongres Internasional Para Saudara Bruder 2025 di Assisi. Sdr. Titus menjadi perwakilan SAAOC dan Sdr. Febrian, misionaris asal Indonesia, menjadi perwakilan Kustodi Tanah Suci. Pertemuan ini merupakan pamungkas dari pertemuan para Saudara Bruder yang telah dilaksanakan pada tingkat Provinsi (Kustodi) dan Konferensi sebagaimana dimandatkan oleh Kapitel General 2021 lalu. Selama beberapa hari, Sdr. Titus dan para Saudara Bruder peserta kongres mendalami panggilan sebagai Saudara Bruder. Bruder bukan kelas dua dalam Ordo tetapi merupakan kekayaan kharisma sebagaimana Tubuh Kristus yang tersusun atas rupa-rupa karunia. Simak jalannya pertemuan dan simpul-simpul refleksinya berikut.
Pada akhir April 2025, saya tiba di Assisi untuk mengikuti Kongres Internasional Para Saudara Bruder OFM. Kota Assisi, tempat lahir Bapa Serafik Fransiskus, selalu memiliki arti khusus bagi setiap saudara. Kali ini, saya datang sebagai perwakilan Konferensi Asia Selatan, Australia, dan Oseania (SAAOC).
Seharusnya, delegasi SAAOC terdiri dari empat orang: Sdr. David Leary OFM (Australia), Sdr. Vernon Chua OFM (Malaysia, Singapura, Brunei), Sdr. Tommy OFM (India), dan saya sendiri. Namun, karena masalah kesehatan, Sdr. Tommy tidak dapat hadir. Indonesia tetap memiliki satu perwakilan lain, yakni Sdr. Febrian OFM yang hadir mewakili Kustodi Tanah Suci.
Kami mulai berkumpul pada 27 April di Domus Pacis, Assisi. Makan malam pembukaan menjadi momen saling menyapa dan mengenal. Dari meja-meja makan terdengar percakapan campuran berbagai bahasa, namun suasananya akrab. Hari-hari berikutnya diisi dengan sesi-sesi pertemuan, doa bersama, dan berbagi pengalaman sebagai Bruder yang berasal dari berbagai latar belakang budaya dan karya pelayanan yang berbeda-beda.

Para peserta kongres berpose bersama di depan Gereja Santa Maria Para Malaikat Porziuncola.
Kongres berlangsung pada 28 April 2025 hingga 2 Mei 2025 dan ditutup dengan Perayaan Ekaristi di Basilika Santa Maria Para Malaikat – Portiuncola. Misa penutupan dipimpin oleh Sdr. Massimo Fusarelli OFM (Minister General), bersama Sdr. Darko Tepert OFM (Sekretaris Jenderal Formasi dan Studi) dan beberapa saudara dari Kuria Generalat. Berdiri di dalam basilika, di hadapan kapel kecil Portiuncola, saya teringat bahwa panggilan fransiskan selalu bertumpu pada kesederhanaan, kebersamaan, dan pelayanan. Sepulang dari Assisi, saya membawa banyak pelajaran, salah satunya adalah bahwa perbedaan bahasa, budaya, dan jarak tidak menghalangi persaudaraan. Justru, dari keberagaman itulah semangat hidup sebagai saudara semakin diteguhkan.
Hari Pertama – 28 April 2025: Persaudaraan dan Minoritas
Pagi itu, kami berkumpul di ruang pertemuan Domus Pacis untuk memulai sesi pertama. Sdr. Keith Warner OFM dari Provinsi St. Barbara, California, memimpin presentasi dengan suasana santai namun berbobot. Ia memulai dengan menyampaikan rasa syukurnya. Di tengah kenyataan bahwa panggilan hidup religius terus menurun, katanya, pertemuan di Assisi ini menjadi kesempatan berharga untuk saling mendengarkan dan berbagi pengalaman.
Tema hari pertama adalah “fraternity and minority”. Sdr. Keith mengajak kami melihat kembali identitas kefransiskanan kita, bukan hanya dari sudut pandang sebagai Saudara Bruder, tetapi juga sebagai Saudara Fransiskan dengan berbagai profesi dan bentuk pelayanan. Presentasi Sdr. Keith memantik banyak refleksi pribadi dan menjadi pembuka yang baik untuk seluruh rangkaian pertemuan.
Sdr. Keith menyatakan bahwa para Saudara Bruder berkumpul di Domus Pacis, di Assisi, untuk membarui panggilan bersama sebagai Fransiskan, bukan hanya sebagai Saudara Bruder. “Kita dipanggil ke dalam persaudaraan untuk mempraktekkan kerendahan hati, pengosongan diri, dan minoritas. Membarui panggilan sebagai Saudara Bruder akan membantu kita untuk membarui pula panggilan kita bersama sebagai Saudara Dina yang hidup di zaman sekarang,” jelas beliau.
Menurut Sdr. Keith, sebelum kongres ini digelar, ada kekhawatiran di antara beberapa saudara bahwa pertemuan khusus Bruder dapat menimbulkan kesalahpahaman di dalam Ordo. Pertanyaan seperti, “Mengapa kalian mengadakan pertemuan sendiri?” atau “Apa yang ingin kalian bicarakan?” sempat muncul. Di Eropa Utara, misalnya, beberapa Saudara Bruder dari Konferensi Fransiskan Transalpen (COTAF) menghadapi tantangan terkait istilah “saudara awam.” Mereka lebih memilih semua disebut “saudara” tanpa embel-embel, namun di sisi lain, masih ada kebutuhan untuk menjelaskan kepada orang luar bahwa sebagian saudara juga memiliki perutusan sebagai imam. Situasi serupa dialami Saudara Bruder di Konferensi Slavic Selatan. Mereka akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa kita semua adalah saudara, bukan rival, dan bahwa perbedaan antara bruder dan imam justru menjadi kekayaan bagi persaudaraan.

Serius tapi santai. Segelas kopi lebih dari cukup untuk merekatkan persaudaraan.
Sdr. Keith menegaskan pentingnya memahami identitas kita sebagai satu persaudaraan religius dan satu panggilan. Dasarnya adalah menjadi brothers dan minors—saudara dan dina. Para saudara dari Konferensi Slavik Selatan merefleksikan pengalaman mereka memastikan persaudaraan tetap menjadi identitas utama, menghindari pembedaan yang berlebihan dalam kerja dan pelayanan. Dari Konferensi Afrika, dibagikan pengalaman panggilan yang mendalam sebagai Bruder. Sementara itu, Konferensi Asia Selatan, Australia, dan Oseania (SAAOC) menceritakan pertemuan di Singapura yang memperdalam refleksi panggilan sebagai Bruder maupun Imam. Mereka menyadari bahaya membandingkan kedua peran ini. Kita perlu mengakui adanya perbedaan, namun tetap menyadari bahwa kita berbagi kharisma yang sama dan sejajar dalam persaudaraan, dan satu dalam kehendak mengikuti Injil Kristus dalam spiritualitas fransiskan. Pada akhirnya, semua sepakat: kita bergabung dengan persaudaraan ini secara sukarela untuk hidup sebagai Saudara Dina.
Para saudara di Afrika merefleksikan bahwa untuk benar-benar menjadi saudara bagi yang lain, kita perlu mendengarkan, berempati, berdialog, dan menghindari prasangka negatif. Sementara itu, para saudara dari SAAOC menekankan pentingnya menghayati peran “ibu” dalam persaudaraan—merawat, menjaga, melayani, dan peduli—serta menumbuhkan keramahan sebagai salah satu unsur yang memperkuat ikatan di antara kita.
Sebagai satu persaudaraan yang menghidupi spiritualitas yang sama, kita—baik Bruder maupun Imam—sering terlarut dalam pelayanan dan pekerjaan hingga kehilangan keseimbangan hidup religius. Para saudara dari SAAOC mengajak semua untuk berefleksi: “Di mana letak prioritas hidup kita?” Para saudara dari SAAOC juga menegaskan bahwa pengalaman persaudaraan tidak akan bermakna tanpa komitmen setiap saudara untuk berpartisipasi dalam kehidupan harian komunitas. Pertanyaan berikutnya pun muncul: kita menyiapkan saudara untuk karya dan pelayanan, tetapi apakah kita juga mempersiapkan mereka untuk membangun komunitas yang sehat, menjalin relasi yang baik, dan menyelesaikan masalah dengan semangat persaudaraan? Ataukah, tanpa sadar, kita membiarkan karya pelayanan menjadi bentuk “pelarian” dari persaudaraan, untuk menghindari konflik dan akuntabilitas?
Para saudara dari Konferensi Asia Timur (EAC) merefleksikan bahwa setiap saudara adalah anugerah Tuhan yang berharga bagi persaudaraan. Karena itu, panggilan pertama kita sebagai fransiskan pertama-tama adalah menjadi saudara bagi yang lain. Kasih ini bukan sekadar kasih seperti seorang ibu kepada anak, melainkan kasih rohani yang meneladani Bapa Serafik Fransiskus dalam mengasihi Kristus. Baik Bruder maupun Imam, kita semua dipanggil terlebih dahulu untuk menjadi Saudara Dina—saudara yang rendah hati dan saling melayani.
Sdr. Keith menyampaikan bahwa dalam refleksi para saudara dari English Speaking Conference (ESC), para saudara menyoroti bahaya klerikalisme yang dapat menggerogoti persaudaraan. Mereka mendorong agar isu ini dibicarakan secara terbuka, tanpa saling menyudutkan karena luka masa lalu, melainkan dengan memperbarui identitas kita sebagai fransiskan melalui semangat sinodalitas. Sementara itu, para saudara dari Brasil merefleksikan bahwa sinodalitas membantu kita berjalan bersama, saling mendengarkan, dan memperdalam panggilan bersama. Dengan sikap ini, kita menumbuhkan kepedulian terhadap sesama, terutama mereka yang miskin dan tersingkirkan.
Hari Kedua – 29 April 2025: Saudara dalam Injil dan Peran Penting Bruder dalam Misi dan Penginjilan
Hari kedua dibuka dengan presentasi bertema misi dan penginjilan oleh Sdr. Denis Tayo OFM dari Komisi Misi dan Penginjilan. Ia mengawali refleksi dengan mengingatkan bahwa kita memilih hidup bakti dengan kesadaran penuh untuk siap diutus—bukan karena tahbisan, tetapi karena profesi kita sebagai saudara yang rindu melayani sesama dan mengikuti jejak Yesus Kristus dalam kesederhanaan dan kerendahan hati.
Menurut Sdr. Denis, dasar misi penginjilan kita terletak pada pemahaman yang mendalam, penerimaan penuh sukacita atas pilihan panggilan hidup, serta kesungguhan menghidupi kharisma. Misi dan penginjilan bukan sekadar tugas atau peran, melainkan kesaksian hidup yang melekat dalam kisah kita sebagai fransiskan. Hal ini menuntut komitmen, baik dari para Bruder maupun Imam, untuk menjadi saksi Injil melalui persaudaraan, kerendahan hati, dan pelayanan kepada sesama, khususnya mereka yang tersingkir. Oleh karena itu, para Bruder pun memiliki peran yang setara dan tak terpisahkan, sebagai bagian dari persaudaraan global yang melampaui batas wilayah dan budaya.
Konsekuensi dari cara pandang ini adalah keyakinan bahwa para Bruder juga merupakan pelaku aktif dalam menulis kisah fransiskan di zaman ini. Awal panggilan kita sama, baik Bruder maupun Imam—berakar pada teladan Bapa Fransiskus yang berjumpa dengan Kristus melalui orang kusta dan mereka yang miskin. Sebagai Bruder, kita mengambil bagian dalam misi penginjilan persaudaraan, bukan hanya lewat kata atau tindakan, tetapi terutama melalui kehadiran, khususnya di tengah kaum terpinggirkan. Ratio Evangelizationis pun menegaskan hal ini, mengajak setiap saudara untuk hadir dan membawa Kristus, bukan sebagai pemimpin, melainkan sebagai rekan seperjalanan.
Sdr. Denis menegaskan kembali bahwa kehadiran para saudara—baik Klerus maupun Bruder—dalam karya kerasulan harus memancarkan semangat misi penginjilan yang bukan sekadar “ramai” dengan kegiatan, melainkan menjadi kesaksian hidup. Misi itu terwujud bukan pertama-tama lewat program, tetapi melalui perjumpaan yang tulus dan bermakna. Menyapa kaum muda di paroki dan sekolah, mendengarkan kisah mereka, memberi ruang bagi buruh dan migran, atau hadir di tengah petani untuk mendengar keluh kesah mereka, semuanya adalah wujud nyata penginjilan yang menenun karisma fransiskan dalam kisah-kisah yang menginspirasi dan mengubah. Sebagai pelaku aktif kesaksian Injil di tengah dunia, para Bruder adalah anugerah bagi persaudaraan untuk selalu setia pada karisma asali kita dengan terus melakukan pembaharuan.

Para peserta asyik berdiskusi dan menyimak materi selama kongres berlangsung.
Dalam refleksi Sdr. Denis, panggilan fransiskan pada hakikatnya adalah persaudaraan campuran—Klerus dan Bruder—yang berbagi karisma fraternitas dan minoritas. Para Bruder memiliki tugas istimewa untuk menjaga inti karisma ini melalui kesaksian hidup sehari-hari. Panggilan Bruder menjadi pengingat bahwa meski kita tidak dapat menghindari tugas-tugas yang melekat pada status kita, identitas kita tidak ditentukan oleh peran tersebut, melainkan oleh semangat minoritas yang kita hidupi. Pewartaan Injil tidak bergantung pada jabatan atau fungsi dalam Gereja, tetapi pada komitmen persaudaraan untuk menghidupi Injil sine glossa—tanpa catatan, tanpa syarat. Di tengah upaya Gereja menyembuhkan diri dari klerikalisme, bahkan dalam bentuk “soft clericalism” yang hadir sebagai bias tak sadar dalam diri para saudara, panggilan Bruder kembali mengingatkan kita semua alasan mendasar mengapa kita pertama-tama memilih menjadi fransiskan.
Pada akhir refleksinya, Sdr. Denis menegaskan kembali inti panggilan fransiskan: menghidupi Injil sine glossa dengan berjalan bersama sebagai Saudara Dina. Panggilan ini mengajak kita bukan untuk mengejar pengembangan diri semata, melainkan menyerahkan diri dengan sukacita. Namun, di sejumlah entitas, para Bruder masih mengalami pengalaman “shadow”, yaitu merasa tidak terlihat, kurang dihargai, kontribusi tidak diakui, atau panggilan disalahpahami. Sebagian merasa hanya dipandang sebagai pelengkap, bukan pelaku utama karya misi. Muncul pertanyaan: “Apakah kita memberi bekal dan kesempatan yang setara bagi semua saudara? Atau kita masih terikat pada bentuk-bentuk lama yang membatasi peran para bruder?” Menghadapi tantangan ini, para Bruder diajak untuk menjalaninya dengan kegembiraan, meneladani Fransiskus yang memandang kerendahan hati sebagai kebahagiaan sejati, sambil terus mengusahakan perbaikan bersama siapapun yang berkehendak baik.
Hari Ketiga, 30 April 2025: Formasi dan Studi
Hari ketiga diisi oleh presentasi Sdr. Mark Joy G. Basallajes, OFM, seorang Saudara Bruder dari Provinsi St. Antonius Padua, Cebu, Filipina, yang kini menjadi anggota Definitorium Provinsi di usia 30-an. Ia memulai dengan kisah panggilannya sebagai Bruder, lalu menguraikan refleksi teologis dan historis tentang panggilan Bruder dalam konteks persaudaraan tempat ia hidup dan berkarya.
Bagi Sdr. Mark, semua saudara fransiskan dipanggil menghidupi Injil sine glossa sebagai saudara setara—bukan dalam kerangka kekuasaan hierarkis, melainkan dalam pelayanan sederhana dan rendah hati. Secara teologis, panggilan fransiskan mengajak kita menegaskan kembali nilai hidup religius tak tertahbis di Gereja. Dalam spiritualitas fransiskan, kesucian tidak diukur dari fungsi atau jabatan, melainkan dari kasih, relasi, dan kesetiaan pada panggilan injili. Panggilan Bruder, kata Sdr. Mark, menjadi pengingat bagi kita akan pesan mendiang Paus Fransiskus: hidup bakti adalah cara hidup profetis, yang memberi kesaksian akan model hidup yang tidak tunduk pada logika dunia yang sering diwarnai obsesi pada kekuasaan, pengakuan, dan jabatan.
Dalam pengalaman Sdr. Mark di Filipina, panggilan menjadi Bruder kerap disalahpahami sebagai pilihan bagi mereka yang “tidak mampu” menjadi imam. Sejarah panjang yang mereduksi peran Bruder pada pekerjaan tukang, pertanian, atau tugas domestik telah menempatkan function di atas makna vocation. Minimnya refleksi teologis, ditambah budaya klerikalisme, membuat pengorbanan hidup para Bruder kurang diapresiasi. Bahkan hingga kini, mereka masih sering ditanya, “kapan ditahbiskan?”—seolah hidup bakti hanya sah jika menjadi imam. Pandangan ini mengaburkan makna Gereja sebagai communio dari bermacam kharisma yang bersama-sama membangun Tubuh Kristus.
Meski demikian, konteks Filipina saat ini telah memberi harapan baru: semakin banyak Bruder terlibat dalam karya pastoral, formasi, administrasi, dan kepemimpinan provinsi. Panggilan Bruder pun kembali diakui setara dengan saudara tertahbis. Pengalaman disalahpahami justru membentuk kedalaman spiritual para Bruder, mengajarkan kerendahan hati, keteguhan, dan kejernihan batin.

Berjalan bersama dan saling mendengarkan satu sama lain sebagai saudara
Salah satu poin menarik dari presentasi Sdr. Mark adalah perubahan cara pandang terhadap saudara Bruder—dari sekadar function menuju pemahaman sebagai sebuah vocation atau panggilan—sejalan dengan penekanan Minister General. Ratio Formationis menegaskan pentingnya formasi holistik, baik bagi Saudara Klerus maupun Bruder, mencakup perkembangan fisik, mental, moral, dan intelektual secara harmonis. Ini berarti para Bruder tidak dibentuk hanya untuk menjalankan pekerjaan tertentu, tetapi dipersiapkan untuk misi, memiliki kemampuan berdiskresi (discernment), dan menghidupi pola hidup persaudaraan sama seperti Saudara Klerus.
Namun, jejak masa lalu masih terasa. Pada beberapa entitas, Bruder masih diperlakukan sekadar sebagai “penolong” tanpa kejelasan identitas pelayanan, bahkan pilihan panggilan ini kurang didukung atau bahkan dibatasi. Akibatnya, tidak jarang para Bruder dalam formasi awal memilih menjadi imam, sering kali karena tekanan. Di Filipina, telah diupayakan jalur formasi yang lebih jelas bagi para Bruder, dengan memasukkan program pastoral, teologi, dan pengembangan pribadi. Upaya ini didasari kesadaran bahwa panggilan Bruder memiliki ciri dan kedalaman tersendiri yang tidak harus mengikuti pola formasi calon imam.
Presentasi Sdr. Mark ditutup dengan refleksi tentang tantangan dan peluang panggilan Bruder. Meski pengakuan terhadap panggilan ini kian bertumbuh dan keterlibatan Bruder dalam karya semakin beragam, klerikalisme masih menjadi tantangan. Bukan hanya datang dari luar, klerikalisme sering kali berakar pada pola pikir internal, baik pada Klerus maupun Bruder sendiri. Sebagian Bruder masih bergulat dengan identitasnya, merasa inferior, atau kurang dipersiapkan; sementara yang lain jatuh pada “over-compensation” dengan meniru peran klerikal. Peziarahan sinodal Gereja mengajak kita saling mendengarkan, menghargai pilihan, dan berjalan bersama. Panggilan Bruder menawarkan kehadiran yang mungkin sunyi, tetapi kuat dan sarat kasih persaudaraan. Di tengah upaya Gereja membangun kredibilitas lewat integritas, bukan gelar, panggilan ini tampil sebagai suara kenabian.
Hari Keempat, 1 Mei 2025: Dokumen Akhir (Final Document)
Hari keempat difokuskan pada penyusunan dokumen akhir yang merangkum pengalaman, pemahaman, dan pergulatan para Saudara Bruder sepanjang lima hari pertemuan penuh roh persaudaraan di Assisi. Dokumen ini memuat tiga tema utama yang muncul dari dialog persaudaraan yang berisi pengalaman-pengalaman yang membentuk hidup serta pelayanan kita: fraternitas dan minoritas, misi dan evangelisasi, serta formasi dan studi.
Pada topik “Fraternity and Minority”, para saudara merefleksikan pentingnya memperjelas identitas dan panggilan Bruder dalam kerangka tradisi fransiskan sebagai wujud nyata nilai “menjadi saudara” yang berakar pada minoritas, kerendahan hati, dan semangat persaudaraan. Dengan demikian, baik Bruder maupun Klerus, kita dipanggil untuk terus membaharui panggilan dan menghidupi Injil secara bersama.
Pada topik “Mission and Evangelisation”, para saudara merefleksikan bahwa misi dan penginjilan menuntut penciptaan lebih banyak kesempatan serta sikap terbuka untuk “pergi keluar” dari zona nyaman. Hal ini mengajak kita menghidupi kembali panggilan sebagai Bruder, khususnya di tengah kaum miskin dan tersingkir: mendengarkan kisah mereka, memasuki kehidupan mereka, serta mewartakan Injil melalui kehadiran dan kesediaan menanggapi kebutuhan dan kerinduan mereka.
Pada topik “Formation and Studies”, para saudara merefleksikan pentingnya penguatan internal Ordo agar semua saudara memahami dan menghargai panggilan saudara Bruder. Pada saat yang sama, dibutuhkan upaya eksternal untuk mengedukasi umat beriman dan masyarakat luas tentang panggilan bruder yang terlibat secara mendalam dalam karya pelayanan dan misi penginjilan Ordo.
Selain itu, pada hari terakhir para peserta Kongres Internasional Para Saudara Bruder 2025 mengajukan proposal yang mencakup: studi kefransiskanan bersama, pendampingan personal bagi saudara Bruder dalam masa bina awal, dan pembuatan instrumen penilaian untuk mengidentifikasi peluang bagi para bruder. Kami menutup pertemuan ini dengan rasa syukur kepada persaudaraan yang telah memberi kesempatan untuk berkumpul, berbagi pengalaman, berdialog, saling mendengarkan, dan melakukan diskresi (discernment) atas panggilan kami sebagai saudara Bruder di tengah dunia yang terus berubah.
Ed.: Sdr. Rio OFM
Tinggalkan Komentar