“Doa Damai dari St. Fransiskus Assisi”, demikian nama yang sudah dikenal secara luas, sekarang ini sudah berumur 100 tahun. “Kok baru seratus tahun!? Bukankah Fransiskus Assisi itu berasal dari permulaan abad 13? Jadi sudah 800 tahun dong!” Pertanyaan itu tepat sekali. Secara harafiah, doa ini bukanlah dari St. Fransiskus Assisi, tetapi memuat jiwa dan semangat yang sedemikian kental bernas dari St. Fransiskus Assisi, sehingga menamakannya sebagai “Doa Damai St. Fransiskus Assisi” terasa mengalir begitu alami, lancar, dan mengena tanpa hambatan.
Seratus tahun yang lalu, pada bulan Desember 1912, Doa ini diterbitkan pertama kali oleh Esthet Auguste Bouquerel dalam surat kabar Perancis La Clochette. Tidak lama kemudian, doa itu pun diterbitkan dalam journal terkemuka seperti La Croix dan Osservatore Romano, kemungkinan besar atas permintaan Sri Paus Benediktus XV atau Kardinal Gasparri. Dari sinilah doa itu menyebar ke seantero dunia dan menjadi terkenal, mengena di hati dan disayang oleh siapa saja yang berkehendak baik.
Siapa pun merindukan kedamaian, tidak hanya kedamaian dalam hati sendiri, tapi juga dalam lingkup dunia di mana dia hidup, bahkan damai di setiap sudut bumi. Karena itu Doa ini dengan cepat melekat pada hati banyak orang. Kata-katanya sedemikian sederhana, tak berbelit-belit dalam kalimat-kalimat yang panjang. Singkat, padat, bernas, sederhana, sehingga dengan mudah meresap di hati yang membacanya. Karena itu tidak mengherankan bahwa “Doa sederhana” ini diucapkan oleh begitu banyak orang – banyak yang setiap hari mendoakannya – termasuk tokoh-tokoh dunia yang terkenal, seperti Ibu Teresa: ketika menerima hadiah Nobel Perdamaian di Oslo, dia hanya mengucapkan dua tiga kalimat terimakaswih, kemudian mengajak para hadirin untuk bersama-sama mendoakan Doa Damai ini, yang naskahnya sudah dibagikan sebelumnya. Demikian juga Margaret Thatcer pada hari pelantikannya sebagai Perdana Menteri Inggris; Patti Smith dalam lagu yang berjudul “Constantine’s Dream” dan Bill Clinton, ketika dia pada tanggal 4 Oktober 1995 menerima kedatangan Sri Paus Yohanes Paulus II yang menghadiri Sidang Umum PBB di New York.
Jiwa Fransiskus dalam doa ini
Fransiskus Asisi orang yang sedemikian rendah hati di hadapan sesama manusia, apalagi di hadapan Allah. Rendah hati bukan berarti minder, takut bertindak atau pengecut. Fransiskus menyadari diri bukan apa-apa di hadapan Tuhan. Hanya sekedar ciptaan-Nya. Kendati merasa diri sedemikian dicintai oleh Allah Sang Pencipta itu, dia merasa apa pun juga yang dikerjakan, itu hanyalah anugerah Allah itu sendiri. Dirinya hanyalah alat. Tuhanlah yang berperan utama. Dalam doa ini semangat iman itu kentara betul. Dia memohon kepada Tuhan supaya Tuhan menjadikan dirinya sebagai sarana, pembawa perdamaian, bukan pelakunya. Karena itu, setiap kalimat diserukan: “jadikanlah aku”. Fransiskus tidak berkata – O, dia tidak akan berani berkata – “bila terjadi kebencian, saya akan membawa cinta kasih”. Seandainya pun dia berhasil meluluhkan kebencian itu dan berubah menjadi cinta kasih, dia akan bersyukut kepada Tuhan karena Tuhan telah berkenanuan membuat dirinya menjadi sarana cinta kasih Tuhan itu. Karena itu dia hanya mampu dan berani memohon: “Bila terjadi penghinaan, JADIKANLAH aku pembawa pengampunan”. Hal yang sama diterjemahkan oleh orang lain sebagai: “BIAR(KAN)LAH aku membawa pengampunan”.
Kendati naskah doa ini bukan hasil dari tangan Fransiskus sendiri, namun semangat Fransiskus menggelegak sedemikian kental di dalamnya. Karena itu orang pun tak segan-segan menganggapnya berasal dari Fransiskus Assisi sendiri.
Tersembunyi
Dalam Madah Bakti lagu no 460 terdapat sebuah madah yang lagunya indah bersemangat dengan lirik yang mirip dengan Doa Damai Fransiskus:
Tuhan jadikanlah daku pembawa damai
Kan kunyanyikan lagu penawar badai
Tuhan jadikanlah daku penabur benih
Kan kudamaikan silang selisih.
1. Bila ada kulihat kawan bermusuh, ‘kan kusatukan dalam ikatan nan teguh.
Bila ada kudengar salah di tutur; ‘kan kusampaikan segala kataku yang jujur.
Dan bahagialah daku selamanya.
2. Bila ada kurasa duka di dada; ‘kan kubawakan kisah dan lagu gembira.
Bila ada kuraba gelap nan hitam; ‘kan kupancarkan cahaya-Mu di tengah malam.
Dan bahagialah daku selamanya.
Lagunya saya suka, lincah bersemangat. Liriknya juga tidak jelek. Tetapi dalam hal sema-ngat spiritualitas, sangat berbeda dengan Doa Damai Fransiskus. Memang kalimat pertama masih menggemakan semangat Fransiskus: “JADIKANLAH aku pembawa damai”. Tetapi dalam kalimat-kalimat berikutnya, semangat itu tidak muncul. Karena si pendoa seolah-olah berkata: “Kalau saya Kau jadikan ‘pembawa damai’, maka duduk tenang saja Bos, ‘kan kusatukan’, ‘kan kusampaikan’, ‘kan kubawakan’, ‘kan kupancarkan’…” Penonjolan diri si pendoa sebagai pelaku tunggal begitu kuat terasa. Jiwa Fransiskus tidak demikian, justru sebaliknya: ‘Izikanlah saya, biarlah saya, jadikanlah saya …. pembawa cintakasih’, dan sebagainya. Si pendoa tetap merasa diri sebagai alat Tuhan, sekadar izin dan perkenanan Allah belaka.
Kita?
Sebagaimana spiritualitas Fransiskan, Doa Fransiskus Assisi ini pun dapat dipergunakan oleh siapa pun dari agama mana pun, karena mencerminkan relasi otentik antara manusia dengan Yang Ilahi, yang kita sebut Tuhan atau Allah.
Hendaknya kita pun sesering mungkin – syukur-syukur setiap hari – mendoakan Doa Sederhana ini. Demi kedamaian dalam hati kita masing-masing dan demi kedamaian dalam hati orang lain.
Rumus Doa Damai itu sebagai berikut:
Doa Sederhana Fransiskus Assisi
Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai-Mu.
Bila terjadi kebencian,
Jadikanlah aku pembawa cinta kasih;
Bila terjadi penghinaan,
Jadikanlah aku pembawa pengampunan;
Bila terjadi perselisihan,
Jadikanlah aku pembawa kerukunan;
Bila terjadi kebimbangan,
Jadikanlah aku pembawa kepastian;
Bila terjadi kesesatan,
Jadikanlah aku pembawa kebenaran;
Bila terjadi kecemasan,
Jadikanlah aku pembawa harapan;
Bila terjadi kesedihan,
Jadikanlah aku pembawa kegembiraan;
Bila terjadi kegelapan,
Jadikanlah aku pembawa terang.
Tuhan, semoga aku lebih ingin menghibur daripada dihibur,
memahami daripada dipahami,
mencintai daripada dicintai.
Sebab dengan memberi, aku menerima;
dengan mengampuni, aku diampuni;
dengan mati suci aku bangkit lagi untuk hidup selama-lamanya.
Amin.
(St. Fransiskus Assisi)
(Dari beberapa Sumber antara lain: http://www.ofm.org/ofm/?page_id=3064&lang=en – diakses pada 5 September 2014)
Tinggalkan Komentar