
sumber gambar: https://zonajakarta.pikiran-rakyat.com/
Pengalaman kemiskinan menjadi problematis ketika dunia tidak siap menghadapi masa pandemi (Denkey, 2015). World Health Organization (seperti dikutip Sohrabi et al., 2020) mengungkapkan bahwa dunia kembali mengalami krisis kesehatan terkait penyebaran virus yang belum ditemukan pengobatannya, yakni pandemi COVID-19. COVID-19 pertama kali diidentifikasi di China pada Desember 2019 lalu dan telah menginfeksi banyak negara di seluruh dunia sejak saat itu. Saat ini dunia bergulat dengan darurat kesehatan global yang mengancam orang-orang dari segala usia dan status. COVID-19 bukan hanya mengakibatkan penderitaan orang miskin dari sekadar risiko kesehatan tetapi juga rentan terkena dampak sosial dan ekonomi (Wright & Harman, 2020).
Presiden Jokowi ditemani Menkes, Terawan Agus Putranto mengumumkan kasus pertama covid-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020. Langkah-langkah perlindungan kesehatan ditempuh, seperti: karantina komunitas, pembatasan sosial dengan menjaga jarak dan membatasi pergerakan orang termasuk larangan transportasi massal, pengaturan ‘bekerja dari rumah’, dan terburuk yaitu penutupan perusahaan sehingga mempengaruhi sebagian besar para pekerja di negara kita. Pandemi COVID-19 telah memperlambat perekonomian. Para pekerja sektor informal, seperti buruh kasar adalah pihak yang paling banyak terkena dampak sosial dan ekonomi. Selama kurun waktu awal pandemi covid-19 di Maret 2020, jumlah orang miskin di Jakarta bertambah 15.980 orang. Bahkan penduduk sangat miskin bertambah 76.500 orang dari 108,2 ribu di Maret menjadi 184,7 ribu pada September 2020. Pemerintah telah berupaya menjaga kestabilan harga bahan makanan namun masyarakat miskin masih kesulitan untuk membeli bahan makanan karena pengurangan pendapatan rumah tangga (BPS Provinsi DKI Jakarta, 2021).
Agnes Mo dan Klinik Vaksin Covid-19 Gratis
Ragam kepedulian atas krisis ini telah diperlihatkan pada kita di Jakarta, seperti membangun posko peduli covid di tingkat RT dan RW, membangun klinik vaksin gratis covid-19 dan menjadi relawan di medan perang covid bersama para dokter dan perawat. Penyanyi Agnes Mo adalah salah satu contoh dari sekian banyak insan yang memperlihatkan bentuk “sense of crisis” nya di masa pandemi covid terhadap saudara-saudari yang menderita akibat covid-19. Agnes Mo memperlihatkan karya bukan hanya di bidang tarik suara tetapi juga di bidang pelayanan membantu masyarakat di tengah covid-19. Ia sontak menjadi viral di media sosial karena membuka klinik untuk vaksin-19 gratis buat masyarakat di Jakarta Utara. Setiap masyarakat yang ikut vaksin diberi makanan mie instan dan telur untuk dibawa pulang setelah menerima vaksin.
Di mana Persaudaraan di masa Pandemi Covid-19
Deguma et al. (2020), memperlihatkan bagaimana Gereja Filipina mengeksplorasi ‘Teologi Pembebasan’ Gustavo Gutiérrez dalam kaitannya dengan Ajaran Sosial Gereja Katolik di masa pandemi covid-19. Deguma et al. (2020) sampai pada tesis bahwa pengalaman kemiskinan dan krisis di masa pandemi covid-19 merupakan bagian dari tanggung jawab sosial-spiritual gereja. Kardinal Luis Antonio Tagle (Catholic Asian News, 2018) mengajak Gereja, “untuk selalu hidup bersama orang miskin.” Gereja Filipina menyadari bahwa masa pandemi COVID-19 menjadi ladang berjuang untuk memperbarui panggilannya sebagai pemimpin yang melayani. Gereja tidak hanya untuk orang miskin tetapi lebih substansial, Gereja orang miskin. Dengan mengutamakan yang miskin, Gereja memperkuat seluruh komunitas dengan membantu mereka yang paling rentan terkena dampak covid-19.
Ketika alarm krisis sudah digaungkan oleh Bapa Suci Paus Fransiskus, para Uskup dan pimpinan tarekat, maka trend gereja universal bergerak ke arah penemuan pola pelayanan yang kontekstual di masa pandemi covid-19. Ada banyak tantangan di sana. Ada yang mulai bergerak membangun gugus tugas covid-19. Ada pertanyaan yang menggelitik, “di mana persaudaraan di masa pandemi covid-19?” Akankah kita membangun satu pola pastoral kontekstual di masa covid ini sebagai aktualisasi dari cara berada kita? Atau kita masih tersandera untuk berdiskursus tentang kebutuhan paling dasar dari piramida kebutuhan Maslow?
Membangun Biara di Masa Pandemi Covid-19
Satu penghargaan dan apresasi yang mendalam buat para saudara yang sudah berjerih lelah merancang seluruh proyek pembangunan Biara. Keputusan untuk membangun biara di masa pandemi covid-19 mengundang kita untuk berdiskursus tentang visi dan mimpi besar kita sebagai saudara dina. Proyek pembangunan itu bukanlah tiba-tiba. Kita yakin ada proses diskursus di sana dalam lingkup terbatas. Pilihan keputusan yang diambil untuk membangun biara di masa pandemi covid-19 tentu dengan pertimbangan yang matang. Satu framework yang selalu digunakan oleh para manajer dalam dunia bisnis untuk mengambil suatu keputusan adalah framework Eisenhower (Michael and Roman, 2017). Framework ini diciptakan oleh Dwight D. Eisenhower, Presiden Amerika Serikat yang ke-34. Alasan paling kuat dalam mengambil satu keputusan yaitu alasan penting dan mendesak. Framework ini membantu para manajer untuk meraih sukses dalam seluruh proses bisnisnya. Namun, panggilan kita dalam Gereja saat mengambil keputusan juga hendaknya diterangi oleh tulisan Santo Yohanes Paulus II, dalam ensikliknya “Sollicitudo Rei Socialis”, yang menyebutkan “the necessity of taking the poor into account in the creation of decisions” (“perlunya mempertimbangkan kaum miskin dalam pembuatan keputusan”).
Tiap orang berhak untuk belajar dari apa dan siapa saja di dunia ini. Mungkin saja kita belajar dari seorang penyayi yang digandrungi generasi milenial, Agnes Mo dalam bersikap di masa pandemi covid-19. Kita tidak sedang berdiskursus tentang kemiskinan yang pasti punya intepretasi berbeda-beda satu sama lain. Kita sedang belajar berbuka hati untuk turut merasakan apa yang dirasakan orang banyak di Jakarta dalam masa-masa sulit akibat pandemi covid-19. Keutamaan sense of crisis tidak butuh intepretasi. Tulisan ini saya akhiri dengan kata-kata bijak, “menunda berarti ada sesuatu yang ditunggu”.
Mateus L. Batubara OFM.
Tinggalkan Komentar