Sejak Maret 2020, kita sudah resmi menjalani suatu era yang disebut era pandemi. Suatu masa yang berawal dari penetrasi Covid-19 ke dalam kemanusiaan sebagai wabah yang mematikan. Tak hanya berbahaya, wabah covid telah menyebabkan multi-krisis terutama krisis kesehatan, ekonomi, sosial, dan politik. Mutasi demi mutasi covid telah pula mendorong lahirnya suatu cara hidup baru seperti protokol kesehatan, antri vaksin dan swab, kerja dari rumah, isolasi mandiri dan karantina, dan lain sebagainya. Intinya, Covid-19 akan hidup bersama dengan manusia entah sampai kapan.
Secara sosial, era pandemi sebenarnya didominasi oleh sikap rejeksi atau penolakan. Rejeksi sosial ini ditandai oleh tiga hal. Pertama, setiap individu atau kelompok membentuk lingkaran yang terbatas di mana masih ada ruang untuk mengalami kedekatan afektif, misalnya keluarga. Lingkaran sosial ini cenderung memilih self-protection (lindungi diri) dan line of defense (batas pembelaan). Kedua, rasa curiga dan was-was terhadap sesama kalau-kalau ada yang menjadi carrier virus. Perasaan semacam ini bisa melahirkan stress dan paranoid. Ketiga, tidak mudahnya lingkungan menerima kehadiran orang baru apalagi para pasien covid. Sikap ini menyulitkan terbentuknya domus isoman (rumah untuk isolasi mandiri) yang layak bagi mereka yang terpapar covid.
Sementara itu, secara individu banyak orang mengalami frustrasi terlebih mereka yang menjadi pasien Covid-19 yang mesti disendirikan. Sebab, mereka perlu mempersiapkan diri secara mental dan psikis untuk menerima “kesendirian” karena dipisahkan dari keluarga yang mencintai. Lalu, mereka juga harus menghadapi “ketakutan” akan kematian sendirian serta kemungkinan dimakamkan dalam sunyi. Tidak hanya itu, mereka masih harus berjuang memikirkan pemenuhan kebutuhan harian demi kelangsungan hidup keluarganya. Maka dari itu, individu yang paling menderita di era pandemi ini adalah orang-orang miskin. Orang-orang miskin, dalam bahasa Gustavo Gutierrez, adalah orang-orang yang tinggal dan hidup di dalam kondisi yang tidak manusiawi karena dianggap sebagai kawanan “insignifikan”. Kemana mereka harus diisolasi jika terpapar covid? Siapa yang harus memberi mereka makan? Demikianlah pertanyaan yang lahir dari rasa kemanusiaan.
Seiring dengan meluasnya tembok-tembok rejeksi sosial, semangat gotong-royong untuk mengatasi bersama krisis sangat dibutuhkan. Menarik bahwa gerakan domus isoman sekarang ini menjadi sorotan penting. Demi meredam penyebaran varian baru virus corona, yang sekarang ini kluster-nya adalah keluarga-keluarga, penyediaan pusat-pusat domus isoman terus bertumbuh. Merelakan Rumah Retret Samadi (KAJ) dan Rumah Retret Syantikara (CB) sebagai domus isoman gratis adalah contoh yang gamblang. Saya kira, inilah salah satu yang dimaksud Paus Fransiskus dalam ensikliknya Fratelli Tutti sebagai membangun jembatan-jembatan persaudaraan (baca: solidaritas). Sehingga nyatalah bahwa seruan sense of crisis mewujud di dalam aksi nyata, bahwa di tengah-tengah tembok-tembok rejeksi sosial sedang dibangun jembatan-jembatan solidaritas.
Solidaritas yang lebih masif tentu masih tetap terbuka karena era pandemi membawa ketidakpastian. Lebih-lebih perhatian secara khusus terhadap orang-orang miskin. Siapa saja yang berkehendak baik, teristimewa para fransiskan, dipanggil untuk ada bersama dengan kawanan tersebut. Seperti kata Paus Fransiskus dalam Lumen Fidei (art. 57): “Kepada mereka yang menderita, Allah tidak menyediakan argumen-argumen yang menjelaskan segalanya; sebaliknya, jawaban-Nya adalah jawaban yang berupa suatu kehadiran yang menemani, suatu sejarah kebaikan yang menyentuh setiap kisah penderitaan dan memunculkan seberkas sinar.” Panggilan ada bersama orang-orang miskin diserukan pula oleh Minister General Fransiskan yang baru, sdr. Massimo Fusarelli OFM, yang terpilih pada 13 Juli 2021. Saudara ini mengarahkan pandangan para fransiskan pada orang-orang miskin, yang ia sebut sebagai “pusat perhatian” para saudara dina. Ajakan tersebut tentu sangat berdasar mengingat St. Fransiskus pernah merangkul orang kusta dan para fransiskan terjun langsung merawat para pengidap HIV AIDS. Akan tetapi, siapakah orang miskin yang dimaksud pada masa kini? Atau, jika mengacu kepada Mat 9: 36, siapa sajakah domba-domba yang tak bergembala pada era pandemi ini?
Sekadar memilah, menurut Kapitel General OFM 2021 (art. 11-12), ada dua kelompok orang miskin. Yang pertama adalah mereka yang secara sukarela memilih menjadi orang miskin atau voluntary minority. Sedangkan yang kedua adalah mereka yang terpaksa menjadi miskin atau involuntarily minoritized. Sebagai murid-murid misioner yang menyandang nama “saudara dina”, para fransiskan adalah kelompok pertama (voluntary minority) yang diutus untuk hadir di tengah-tengah mereka yang terpaksa menjadi miskin (involuntary minoritized). Di masa krisis akibat pandemi di mana semakin banyak orang terpaksa menjadi miskin, atau meminjam istilah Gustavo Gutierrez, jumlah kawanan “insignifikan” semakin bertambah, maka fransiskan perlu melakukan sesuatu, entah itu berpartisipasi dalam doa, penyediaan domus isoman, menjadi sukarelawan gugus covid, ikut mendistribusikan sembako, dan lain sebagainya.
Singkat kata, jika orang kusta pernah dirangkul oleh St. Fransiskus dan orang HIV AIDS dirawat oleh para fransiskan, maka pasien covid-19 harus juga disapa oleh kita (para saudara dina) dengan bijaksana khususnya pasien covid yang miskin dan diabaikan. Mungkin sebagian dari kita masih sibuk mengurusi ketakutannya sendiri dan mandul dalam mengambil keputusan. Yang lain mungkin bingung harus berbuat apa. Yang lain lagi tidak mau repot dan berjerih lelah mengurusi yang terpapar covid sehingga lebih memilih tinggal di zona nyaman. Ada begitu banyak argumen untuk memilih diam. Akan tetapi, pilihan senasib dengan mereka yang “insignifikan” sudah merupakan inti, pilihan, dan cara hidup kita. Kita wajib hadir di tengah-tengah mereka. Rasanya kita berdosa jika kita tidak bertindak karena telah berlaku tidak adil dalam prahara kemanusiaan ini.
Sdr. Tauchen Hotlan Girsang OFM
Tinggalkan Komentar