Kidung Segenap Ciptaan dalam Laudato Si’ Menyanyikan Kembali Harmoni Semesta

Pada tanggal 26-31 Mei 2025, Sdr. Yohanes Kristo Tara OFM, staf JPIC-OFM Indonesia berkesempatan mengikuti kursus JPIC yang diselenggarankan oleh Kuria General JPIC OFM dalam kerja sama dengan Universitas Kepausan Antonianum di Roma. Tema besar kursus ini adalah Kidung Segenap Ciptaan serta menghadirkan para narasumber dengan beragam materi. Teolog kondang Leonardo Boff adalah salah satu narasumber. Beliau mempresentasikan empat materi yakni Krisis Ekologi Dewasa Ini, Kidung Segenap Ciptaan dalam Laudato Si’, Etika Perawatan, serta Perdamaian dan Rekonsiliasi. Tulisan ini merupakan rangkuman dari materi yang disampaikan oleh teolog pembebasan asal Brasil tersebut sekaligus menjadi bahan refleksi pada tahun peringatan 800 Tahun Kidung Segenap Ciptaan. Simak selengkapnya!

 

Ensiklik Laudato Si’ yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus pada tahun 2015 bukan sekadar dokumen gerejawi biasa. Dokumen ini telah menggema kuat ke seluruh penjuru dunia dan membuka babak baru dalam kesadaran ekologis umat manusia. Ensiklik ini hadir sebagai suatu panggilan rasa terdalam setiap orang. Bukan hanya seruan moral, tetapi juga sebuah kidung profetik dan transformatif yang mengajak seluruh umat manusia menyanyikan lagu kasih dan kepedulian kepada bumi, rumah kita bersama. Di balik tiap kata dan pesannya, bergema semangat Santo Fransiskus Assisi, yang dengan kelembutan dan penghormatannya pada ciptaan, mengajarkan kita cara hidup yang harmonis dengan alam.

Leonardo Boff merupakan salah satu pembaca dan penafsir yang paling tajam serta mendalam atas resonansi ensiklik Laudato Si’. Teolog pembebasan asal Brasil ini sesungguhnya telah cukup lama menekuni spiritualitas ekologis dan etika kosmik. Bukunya yang terkenal, Cry of the Earth, Cry of the Poor yang terbit tahun 1997 berkontribusi menjawab persoalan ekologi dan keadilan sosial dalam visi integral St. Fransiskus Asissi.

Menanggapi Laudato Si’, Boff menempatkan dokumen ini bukan sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan sebagai kelanjutan tradisi spiritual yang dimulai dari cinta radikal Santo Fransiskus kepada seluruh semesta ciptaan. Inti dari tradisi tersebut mengkristal dalam Kidung Segenap Ciptaan, sebuah puisi surgawi yang melampaui batas bahasa, waktu, etnis dan agama, yang mengajak manusia untuk membuka mata hati dan menyatu dengan kehidupan dalam segala bentuknya.

Leonardo Boff (berbaju putih) sedang menyampaikan materinya di hadapan para peserta kursus. Kerusakan lingkungan bukan hanya membawa kerugian pada alam ciptaan tetapi juga merugikan orang-orang miskin.

 

Doa Kosmik Pembebasan

Dalam Kidung Segenap Ciptaan, Santo Fransiskus berbicara kepada semua elemen alam sebagai “saudara” dan “saudari”: Saudara Matahari yang memancarkan cahaya dan kehidupan, Saudari Bulan dan Bintang yang menerangi malam, Saudari Air yang menyegarkan dan memberi kehidupan, Saudara Api yang menghangatkan dan menerangi, hingga Saudari Ibu Bumi yang menopang dan memelihara. Bagi Leonardo Boff, sapaan ini bukan hanya puisi religius yang indah, melainkan doa kosmik pembebasan. Kidung Segenap ciptaan merupakan sebuah pernyataan teologis yang sangat radikal dan revolusioner. Ciptaan bukan hanya objek yang harus dikuasai atau dimanfaatkan semena-mena oleh manusia, melainkan subjek yang memiliki martabat dan hak untuk dihormati.

Boff menulis bahwa melalui Kidung Ciptaan, manusia diajak untuk menyadari dirinya hanyalah salah satu ekspresi kehidupan bumi yang terus berkembang dan berevolusi. “It is the Earth itself that, through one of its expressions, the human species, takes on a conscious direction in this new phase of the process of evolution,” tulis Boff. Kesadaran ini membawa manusia pada pemahaman bahwa keberadaan dan perannya bukan untuk mendominasi, melainkan menjaga dan merawat harmoni semesta yang selama ini sering terganggu oleh tindakan eksploitasi, keserakahan, dan dominasi. Dengan membuka hati pada kidung ini, manusia dimampukan untuk menyanyikan kembali lagu kehidupan yang menyatukan semesta dalam keseimbangan dan kedamaian. Kidung Segenap Ciptaan merupakan seruan pembebasan alam ciptaan dari relasi dominatif dan eksploitatif manusia.

 

Jembatan Rekonsiliasi antara Bumi dan Manusia

Salah satu kontribusi penting Laudato Si’ adalah pengenalan konsep “ekologi integral,” sebuah pendekatan yang menegaskan bahwa isu lingkungan tidak dapat dipisahkan dari isu sosial kemanusiaan, politik, ekonomi, budaya dan spiritualitas. Menurut Boff, ini merupakan inti spiritualitas ekologis yang sejati. Kerusakan lingkungan dan penderitaan kaum miskin berasal dari sistem yang sama, sistem yang menjadikan bumi dan manusia sebagai komoditas, yang nilai hidupnya hanya diukur berdasarkan kalkulasi untung-rugi ekonomi.

Dalam pandangannya, Boff menegaskan, “To hear the cry of the poor means to hear the cry of the animals, the forests, of the whole tortured creation.” Mendengar tangisan orang miskin mesti sekaligus mendengar tangisan segenap ciptaan yang tersiksa. Keadilan ekologis tidak mungkin diwujudkan tanpa keadilan sosial yang nyata dan berkelanjutan. Oleh karena itu, pertobatan ekologis yang diajarkan dalam Laudato Si’ mesti menyentuh akar permasalahan sosial, politik, dan ekonomi yang timpang dan tidak adil.

Spritualitas Fransiskan persis menjembatasi keduanya, keadilan sosial dan keadilan ekologis. Dalam hidupnya, terutama melalui Kidung Segenap Ciptaan, St. Fransiskus Assisi menunjukkan kepada kita betapa tidak terpisahkan ikatan antara kepedulian akan alam, keadilan bagi kaum miskin, komitmen kepada masyarakat, dan kedamaian batin (LS 10). Spiritualitas Fransiskan, dalam konteks ini, mesti menjadi energi profetik dan kekuatan perlawanan untuk melawan sistem yang merusak kehidupan, bukan hanya sekadar doa kosong atau tindakan simbolis.

Spiritualitas yang dihidupi oleh Santo Fransiskus bukanlah sekadar sikap sentimentil yang pasif terhadap alam. St. Fransiskus mewariskan suatu cara hidup yang sangat mendalam dan penuh makna, yakni hidup dalam kesederhanaan, kelembutan, dan kasih terhadap setiap makhluk hidup, tanpa terkecuali. Bagi Leonardo Boff, semangat Fransiskan ini merupakan benang merah yang menjiwai seluruh isi Laudato Si’ sekaligus menjadi jalan menuju rekonsiliasi kosmik antara Allah, manusia, dan alam.

Boff menulis, “The tender and fraternal spirit of St. Francis of Assisi is present through the entire text of the encyclical Laudato Si’.” Semangat kelembutan dan penuh persaudaraan ini mengajak manusia untuk memandang tanah bukan sebagai ladang yang harus ditaklukkan atau dieksploitasi, melainkan sebagai tubuh yang harus dirawat dan dihormati. Sungai bukan lagi sekadar saluran air yang dipakai untuk kepentingan industri, tetapi sebagai saudari yang memberi kehidupan, yang harus dijaga kemurniannya. Dengan cara pandang ini, manusia dipanggil untuk menjalani hidup yang selaras dengan ritme alam, mengasihi ciptaan seperti mengasihi saudara sendiri.

 

Mendengar Tangisan Bumi dan Orang Miskin

Saat ini, suara bumi yang sedang menangis terdengar di banyak tempat: banjir yang menenggelamkan rumah-rumah warga miskin, kebakaran hutan yang menghanguskan habitat dan mata pencaharian, kekeringan yang memperparah kelaparan dan kemiskinan. Semuanya merupakan tanda bahwa bumi tengah terluka. Tangisan bumi ini tidak dapat dipisahkan dari tangisan orang-orang kecil, kaum tersingkir yang menjadi korban utama dari kerusakan lingkungan.

Leonardo Boff dengan sangat tajam mengatakan bahwa krisis ekologis dan krisis kemanusiaan adalah dua sisi dari luka yang sama. “The cry of the Earth and the cry of the poor” mengingatkan kita bahwa penderitaan bumi dan penderitaan manusia tidak dapat dipisahkan. Keduanya bersumber pada sistem yang sama. Sistem yang mengutamakan keuntungan material dan mengabaikan nilai kehidupan telah menimbulkan ketidakadilan sosial ekologis. Oleh karena itu, pembebasan sejati harus menyentuh seluruh aspek kehidupan, mulai dari struktur ekonomi yang eksploitatif, sistem produksi yang tidak berkelanjutan, gaya hidup konsumtif yang memboroskan sumber daya, hingga pola pikir yang individualistis dan tidak peduli pada sesama.

 

Spiritualitas Perawatan

Dalam konteks krisis yang kompleks ini, Leonardo Boff menawarkan sebuah konsep yang sangat penting dan relevan, yakni “spiritualitas perawatan” (spirituality of care). Ini bukan sekadar sebuah tindakan moral atau etika, melainkan cara hidup yang sungguh mengakui bahwa semua makhluk hidup saling terkait dan saling bergantung satu sama lain. Perawatan adalah wujud nyata kehadiran Allah yang lembut dan penuh kasih dalam dunia yang tengah terluka dan mengalami penderitaan.

Boff menulis, “The process of liberation brings with it a profound conflict… What is necessary is a spirituality of resistance.” Dunia yang sakit dan penuh luka ini tidak cukup hanya dengan solusi teknis-teknokratis atau kebijakan politik. Solusi krisis ekologi membutuhkan kesaksian hidup, sebuah spiritualitas yang menjadi bentuk perlawanan terhadap budaya mati rasa, keserakahan, dan ketidakpedulian yang telah menyebar luas. Spiritualitas ini mengajak kita untuk menjadi penjaga bumi dan saudara-saudari yang saling merawat dalam cinta dan solidaritas.

 

Menyanyikan Kembali Kidung Ciptaan

Melalui pemikiran Leonardo Boff, Laudato Si’ mengajak kita untuk menyanyikan kembali Kidung Segenap Ciptaan bukan hanya dengan kata-kata indah, melainkan tindakan nyata yang berpihak pada bumi dan kaum kecil yang tertindas. Di tengah dunia yang tercerai-berai oleh krisis iklim, ketidaksetaraan sosial, dan kekerasan struktural, spiritualitas Fransiskan hadir sebagai cahaya harapan sekaligus mengingatkan bahwa kita semua terhubung dalam satu simfoni kehidupan.

Melalui Laudato Si’, Gereja Katolik menegaskan bahwa merawat bumi adalah bagian integral iman dan tanggung jawab moral Kristiani, bahwa keadilan ekologis merupakan dimensi tak terpisahkan dari kasih Kristus. Di tengah tantangan zaman yang kian kompleks, kita mesti berani menjawab seruan suci ini dengan hidup lebih sederhana, lebih solider, lebih kontemplatif, profetik, dan transfomatif. Melalui cara demikian, kita dapat bergabung dalam nyanyian semesta, dan bersama Santo Fransiskus dengan penuh sukacita mengucapkan, “Laudato si’, mi’ Signore”.

Kontributor: Sdr. Yohanes Kristo Tara OFM

Ed.: Sdr. Rio OFM

Sumber foto: https://ofm.org/en/justice-peace-and-integrity-of-creation-course-2025.html

Tinggalkan Komentar