Bersama dengan lima saudara muda, saya baru saja (28/6/2021) melakukan eksodus dari Padua ke Jalan Kembang 2, Kwitang, Jakarta Pusat. Kami menamai diri sebagai “the six”. Entahlah eksodus seperti ini perlu dimaknai seperti Musa atau seperti Lot. Atau dapat pula, eksodus ini dilihat sebagai jalan imitatio seperti St. Fransiskus Asisi ketika berkunjung ke Damietta (1219) atau Paus Fransiskus berkunjung ke jazirah Arab (2019) mengingat rumah yang sedang kami tempati ini berada di tengah-tengah mayoritas kaum muslim. Yang pasti, eksodus dilakukan di tengah pandemi sebagai kelanjutan dari kebijakan agenda merubuhkan dan membangun kembali Biara Padua, yang akan dimulai pada Juli 2021.
Berada di tengah-tengah masyarakat, saya mengamati ada tiga sikap atau disposisi terhadap covid sebagai hazard (bahaya). Pertama, ada yang membentuk line of defense atau batas pembelaan, misalnya memakai masker, tidak keluar rumah, jauhi kerumunan, menjaga jarak dan lain-lain. Kedua, ada yang memilih menjadi frontliners dengan terjun sebagai garda terdepan menangani langsung mereka yang terpapar, misalnya petugas kesehatan dan relawan gugus covid. Ketiga, ada yang menjadi indifferents (tidak peduli) karena menganggap covid sebagai mitos “bahaya” yang sengaja diciptakan demi kepentingan tertentu seperti demi bisnis obat dan vaksin.
Berita melonjaknya kasus covid berkisar 20 ribu lebih per hari terus-menerus disiarkan di media (bdk. Kompas 30/6/2021). Tendensi mengkambinghitamkan mereka yang indifferents sebagai penyebabnya pun semakin menguat. Tetapi, sejumlah kekhawatiran juga muncul terkait pola kebijakan pemerintah yang lebih sibuk mengurusi “pengekangan covid” dan “ketahanan ekonomi” daripada memikirkan alternatif-alternatif penanganan covid. Kita bisa menyaksikan bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah adalah top-down seperti memilih pimpinan gugus covid dari kalangan TNI, melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (ketat dan transisi), lokal lockdown, vaksinaisi, dan yang terbaru Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat. Tujuan pemerintah adalah mengurangi semakin banyaknya orang yang terdampak (vulnerable).
Berdasarkan pengamatan seorang professor dari International Institute of Social Studies Den Haag, Thea Hilhorst, dalam tulisannya “Putting COVID-19 into Contex (s)” (2020), ada banyak negara mengambil kebijakan top-down dalam mengendalikan covid. Dalam analisanya, berdasarkan riset yang diadakan di 7 negara (Brazil, Cile, Kongo, Haiti, India, Philipine, Zimbabwe), Hilhorst untuk sementara berkesimpulan bahwa di negara-negara tersebut kebijakan satu sisi berupa top-down telah diterapkan dan ternyata tidak cukup. Sebab, kebijakan berfokus pada “pengekangan covid”, selain ada resiko kontrol yang berlebihan, juga hal tersebut justru memperluas krisis di tingkat komunitas lokal baik dari segi kebutuhan sehari-hari maupun ketahanan pangan. Malahan, kebijakan tersebut dapat menambah kemungkinan resiko yang lebih luas, misalnya dipolitisasi. Karena itu, Hilhorst menyarankan agar kebijakan yang diambil lebih fokus kepada pembangunan dan penguatan institusi lokal dengan melibatkan otoritas yang berwenang, sistem (layanan) kesehatan, dan agen-agen bantuan sukarelawan.
Bertolak dari analisis Hilhorst, yang diperlukan sekarang ini bukan seruan moral perihal sense of crisis dan solidaritas, tetapi lebih-lebih partisipasi dalam penguatan institusi-institusi lokal, entah itu di lingkup komunitas, desa, RT, RW. Bisa jadi, secara sekilas pemotongan gaji, menghentikan kegiatan pembangunan, serta aksi heroik memberi vaksin gratis sudah dianggap sebagai aktualisasi dari “memperhitungkan orang miskin dalam mengambil kebijakan”. Akan tetapi, apakah hanya cara seperti itu? Jika kita bercermin dari tiga kelompok masyarakat, maka sesungguhnya yang diharapkan adalah semakin banyak orang berada pada keputusan line of defense. Sebab, tidak banyak yang memiliki kapasitas yang cukup untuk menjadi frontliners. Sedangkan kelompok yang menjadi indifferents, yang jumlahnya pasti sangat besar, masih tetap tidak bisa dikontrol dan masih dapat bergerak bebas saja dengan berbagai alasan. Kita sebagai saudara dina, saya kira, berada di line of defense itu. Sebab, yang dapat kita lakukan sesuai dengan kapasitas kita adalah mewujudkan batas-batas pembelaan kita berhadapan dengan covid, mungkin ikut mendukung petugas kesehatan melalui doa-doa, dan menyadarkan bahaya covid bagi mereka yang belum sadar khususnya orang-orang yang ada di sekitar kita. Sejumlah pertimbangan pastilah diperhitungkan ketika hendak memutuskan sesuatu pada masa sulit sekarang ini. Karena yang dipikirkan bukan saja resikonya, tetapi juga ancaman tindakan kontraproduktif.
Berbicara tentang diskursus soal “sense of crisis”, “kemiskinan”, “solidaritas” tentu saja sah-sah saja sebagai seruan moral. Tidak ada yang menyangkal prinsip ideal seperti itu. Berpihak kepada kaum “vulnerable” juga diamini dengan sangat baik oleh berbagai kalangan. Akan tetapi, yang perlu disasar sebenarnya bukan pertama-tama “dampaknya” melainkan “akar” dari persoalan: penyebaran covid. Pada hari ini, 1 Juli 2021, Presiden Jokowi mengumumkan PPKM darurat. Apakah arahnya kepada upaya penguatan institusi dan agen-agen bantuan lokal? Masih belum jelas. Karenanya, pertanyaan kita adalah partisipasi seperti apa yang dapat dilakukan dalam mengendalikan penyebaran virus? Jika secara membabi buta bergerak di tengah pandemi tanpa pertimbangan resiko dan ancaman tindakan kontraproduktif, nantinya justru menyulitkan diri sendiri dan orang lain. Bisa dipastikan bahwa belum ada yang mengetahui kapan covid akan berakhir. Maka, kita belum tahu juga kapan krisis akan berakhir. Karena itu pula, orang miskin akan bertambah. Sehingga, sabda Yesus yang berkata “orang-orang miskin selalu ada padamu, tetapi Aku tidak selalu ada bersama-sama kamu.” (Mat 26:11) akan selalu menjadi perkataan yang hidup dan relevan.
Berbagi peran dalam pengendalian covid sebenarnya sangat dibutuhkan oleh semua pihak, entah itu line of defense (termasuk kita) maupun fontliners (gugus covid, vaksin gratis, ayo sekolah, semprot disinfektan, dll). Tentu saja, tidak diharapkan orang menjadi indifferents. Namun, adalah pertimbangan tidak seimbang kalau peran yang dianggap sebagai sense of crisis hanyalah frontliners. Padahal, berperan di bagian line of defense juga memberi pengaruh besar pada pengendalian covid. Jadi, kalau ditarik peran yang dapat dilakukan kepada soal “membangun biara di masa pandemi atas nama kebutuhan mendesak”, maka pembicaraan sebenarnya baru berada di level “dampak” dan bukan di level “akar”. Melihat dari perspektif “dampak”, orang tentu dapat menarik kesimpulan bahwa keputusan “membangun” di masa pandemi melawan suara hati dan suara kenabian. Adalah lebih bijaksana jika “menunda” demi sense of crisis tanpa interpretasi. Tetapi, jika memandangnya dari perspektif “akar”, maka urusan pembangunan agak berjarak dengan penanganan penyebaran covid. Yang relevan adalah eksodus. Melakukan eksodus di tengah pandemi sebenarnya merupakan langkah kontraproduktif dengan peran line of defense. Sebab, line of defense bertentangan dengan eksodus kendati tujuannya mungkin mulia karena meniru Musa, Lot, St. Fransiskus maupun Paus Fransiskus.
Sdr. Tauchen Girsang, OFM
Tinggalkan Komentar