Umumnya sebelum melakukan perjalanan, orang biasa melakukan perencanaan. Dalam situasi tertentu, spontanitas, kemendesakanlah yang menjadi alasan orang untuk bergerak dan pergi. Ada beragam alasan orang melakukan perjalanan: rekreasi, bekerja, belajar, dan sebagainya. Ada pula karena terdorong oleh impian hidup menjadi lebih baik, impian mengetahui daerah-daerah baru, dan sebagainya. Juga nasihat dan pesan pada yang melakukannya. Isinya barangkali sama yakni agar orang hendaknya bertindak, memilih, memutuskan dan melakukan yang baik. Sabar, hati-hati di jalan, dan lain-lain. Dengan itu, pengalaman seseorang diperkaya. Stok ceritanya bertambah. Demikian juga dinamika serta pemaknaan atas perjalanan yang terjadi lebih luas. Cakrawala dan refleksinya atas hidup pun bisa berbeda dan berubah.
Yosef dan Maria serta Yesus adalah tiga dari sekian banyak tokoh kitab suci yang melakukan perjalanan. Bahkan kitab suci itu sendiri mengisahkan perjalanan, peziarahan umat beriman. Di perjalanan itu, iman akan Allah terus diperbarui, diteguhkan. Yosef dan Maria memahami karya Allah juga di dalam perjalanan yang mereka adakan. Bahkan ada kesan, perjalanan Yosef, Maria dan Yesus adalah perjalanan ‘lawan arah’. Ada dua dari sekian perjalanan menarik yang dilakukan Keluarga Kudus Nazareth.
Pertama. Perjalanan ke Mesir. Kisah ini bermula dari mimpi Yosef. Mimpi yang kemudian menghadirkan mukjizat. Mimpi itu menggerakkan mereka melakukan perjalanan. Dapat dikatakan bahwa perjalanan keduanya adalah perjalanan kembali. Melalui mimpi, malaekat Tuhan menyampaikan pesan yang menyelamatkan keluarga Yosef. Ia mendapatkan kabar bahwa Herodes akan mengejar dan membunuh Yesus. Ia harus mengungsi ke Mesir (Mat.2:13). Yosef bersama Maria dan Yesus lalu berangkat, melakukan perjalanan ke Mesir.
Perjalanan mereka ‘berlawanan arah’ dengan perjalanan Israel keluar dari Mesir, melewati padang gurun dan masuk ke tanah terjanji. Keduanya seolah-olah ‘disuruh’ dan kemudian ‘memilih kembali’ ke Mesir. Mengapa harus ke Mesir? Tidakkah ada pilihan ke tempat lain? Bila merunut pada perjalanan bangsa Israel, keluar dari tanah Mesir adalah suatu rencana keselamatan Allah. Sebuah perjalanan yang menyelamatkan, membebaskan. Injil mengisahkan, Yosef dan Maria serta Yesus masuk ke tanah Mesir. Perjalanan keluarga Yosef merupakan suatu perjalanan yang jelas ‘lawan arah’ dengan peristiwa pembebasan dari perbudakan di Mesir. Namun demikian, pilihan dan tindakan mengikuti pesan malaekat dalam mimpi membuahkan keselamatan. Yesus selamat dari kejaran serta kejahatan Herodes. Perjalanan tersebut jelas bukan sebuah perjalanan ‘lawan arah’ yang biasa-biasa saja. Allah bekerja dengan caraNya, bahkan dengan cara yang tidak dimengerti manusia. Allah bekerja bagi Maria dan Yosef dengan cara yang berlawanan dengan cerita sejarah perjalanan pembebasan bangsa mereka. Keduanya harus membawa serta Allah dalam perjalanan itu. Hanya kepercayaan akan apa yang disampaikan malaekat dalam mimpilah yang menggerakkan Maria dan Yosef melakukan perjalanan.
Mimpi dan keyakinan akan Allah menggerakan Yosef dan Maria berjalan ke negeri yang asing bagi mereka. Keduanya membawa serta Allah ke negeri yang baru bagi mereka; berangkat dan diam di negeri asing. Mereka segera berjalan malam itu juga, tanpa menunda. Menembus kegelapan dengan penuh kepercayaan membawa serta Sang Terang. Ia sendirilah yang akan menuntun mereka. Maria dan Yosef percaya, ‘perjalanan kembali’ ke Mesir merupakan karya Allah. Melalui malaikat, Allah mengarahkan mereka demi keamanan Sang Bayi. Demikian pula ketika perjalanan kembali ke Israel. Allah mengatur perjalanan mereka. Allah mengupayakan keselamatan dan melindungi keluarga Yosef. Lewat mimpi pula, Yosef memilih dan memutuskan pergi serta tinggal di daerah Galilea, di sebuah kota yang tidak dikenal, Nazaret (bdk.Mat.2:19-23; Yoh.1:26). ‘Jalan pulang’ menuju dan dari Mesir adalah jalan pulang yang ditentukan Allah; dan jalan itu menyelamatkan. Tidak ada arah perjalanan yang tidak bisa diubah oleh Allah.
Perjalanan yang ditandai oleh pengalaman akan Allah -meskipun itu berlawanan dengan arah pilihan manusia- merupakan perjalanan yang menyelamatkan. Bagi orang beriman, percaya akan Allah menjadi kunci perjalanan itu. Kita pun dapat memilih ‘jalan pulang’ pada identitas asali iman kita. Kadang kala, jalan sebagai orang kristiani, mengikuti jejak Kristus berlawanan arah dengan arus zaman ini. Kadang memang harus lawan arus. Jalan pulang kerap kali dapat terjadi karena mimpi dan kemauan mewujudkan mimpi; karena cita-cita dan kehendak untuk bertindak; karena niat dan tindakan untuk menyatakannya. Perjalanan selalu dapat terjadi justru karena Allah menyuruhnya, meski harus kembali dan lawan arus.
Kedua. Maria dan Yosef memilih ‘jalan pulang’ kembali ke Yerusalem untuk mencari Yesus. Mereka kehilangan Yesus, anak satu-satunya. Keduanya berjalan mencari Yesus di tengah kerumunan banyak orang, hingga tiba kembali di Yerusalem. Mereka bergerak kembali, berlawanan arah dengan banyak orang yang saat itu pulang ke kampung masing-masing. Maria dan Yosef kemudian menemukan Yesus. Yesus tidak hilang. Ia telah menemukan diri-Nya sendiri: Ia ada di rumah BapaNya. Maria dan Yosef terluka oleh pilihan jalan pulang ke Yerusalem, tempat di mana mereka mendapatkan jawaban yang berbeda dari apa yang diharapkan; sebuah jawaban dari seorang Anak yang bertumbuh dalam kasih karunia dan kebijaksanaan. “Ketika orang tua-Nya melihat Dia, tercenganglah mereka, lalu kata ibu-Nya kepada-Nya,”Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau” (Luk, 2:48). Jawaban Yesus sungguh yang tentu saja melukai mereka:”Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?”(Luk.2:49). Implikasinya jelas, ayah-Ku sesungguhnya adalah Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub; Bapa yang di surga.
Peristiwa itu adalah juga konsekuensi pilihan dan keputusan “mempersembahkan Yesus kepada Allah”; sebuah peristiwa yang sudah mereka lalui dan saksikan di Bait Allah. Di sana, keluarga Nazaret itu berjumpa dengan Simeon. Simeon adalah orang yang pada saat itu menunggu kepenuhan janji Roh Kudus kepadanya bahwa ia tidak akan mati sebelum ia melihat Mesias (Luk.2:25-26). Dia dipenuhi dengan sukacita ketika menggendong bayi Yesus, lalu memuji Allah dan bermadah, “Sekarang Tuhan biarkanlah hambaMu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firmanMu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang daripada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umatMu Israel” (Luk.2:25-32). Yerusalem, bagi Yosef dan Maria adalah kota penuh kejutan. Perjumpaan dengan Simeon jelas mengejutkan mereka perihal keberadaan Anak itu. Maria terkejut, takjub akan apa yang Simeon katakan padanya, “sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan – dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri-, supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang.” (Luk.2:34-35). Kemuliaan dan sukacita Maria adalah penderitaannya juga. Jalan pulang kembali ke Yerusalem, selain penuh kejutan tetapi juga menyisakan penderitaan dalam batin Yosef dan Maria.
Perjumpaan dan jawaban Yesus serta perjalanan bersama Yesus adalah perjalanan pemurnian iman Yosef dan Maria. Keduanya mengerti bahwa yang mereka jalani adalah karya Allah sendiri. Bahkan dalam momen keterkejutan, kagum, juga penderitaan, serta peran kecil mereka sendiri merupakan satu dari sekian rencana Allah yang akan terjadi. Jawaban Yesus dan suara yang mereka dengar tidak lain dan tak bukan adalah suara Allah sendiri. Suara Yesus dan suara Allah Bapa adalah satu. Maria dan Yosef, dalam kasih dan kerendahan hati, pun mulai menempatkan diri di balik layar. Yosef selamanya, dan Maria muncul secara singkat dalam kehidupan Puteranya. Yesus merupakan bagian dari Maria dan tidak sungguh sangat terpisah satu sama lain. Maria (dan Yosef) melihat Yesus tumbuh; dan oleh karena Roh Allah, Maria mengikuti perjalanan Puteranya, meninggalkan rumah di Nazaret dan mengikuti jalan Allah. Ia menemani Yesus dalam perjalanan ke Kalvari. Suatu perjalanan penuh derita yang nanti berujung pada kemuliaan.
Perjalanan lawan arah bukan sebuah perjalanan kembali ke masa lampau. Itu adalah suatu upaya pemaknaan atas kesejatian titik berangkat, mengetahui serta memaknai kembali dari mana seseorang memulainya dan ke arah mana ia menuju. Dalam benak manusia, perjalanan ‘lawan arah’ mungkin menjadi suatu kebodohan dan konyol. Barangkali itu berbeda dalam perspektif Allah. Memilih kembali, menempuh jalan pulang ke Yerusalem tidak tanpa tantangan. Perjalanan ‘lawan arah atau beda arus’ kadang tidak menyenangkan, pahit, penuh risiko, sakit hati, serta menuntut pengorbanan. Ada pula kecemasan dan ketakpastian, tetapi juga harapan dan peluang. Ada tantangan dan hambatan, tetapi ada pula rahmat dan berkat. Dari Yosef dan Maria, orang beriman dapat memaknai perjalanan ‘lawan arus’ sebagai pemurnian, pematangan iman, penyadaran titik berangkat peziarahan iman oleh karena keyakinan akan rencana Allah. Sebab, “bahkan melalui kecemasan Yosef, terjadilah kehendak Allah, sejarahnya, rencananya. Yosef mengajar kita bahwa memiliki iman kepada Tuhan juga mencakup kepercayaan bahwa Dia juga dapat bekerja melalui ketakutan kita, kerapuhan kita, kelemahan kita. Dan itu mengajarkan kita bahwa, di tengah prahara kehidupan, kita tidak boleh takut untuk menyerahkan kemudi perahu kita kepada Allah. Terkadang kita ingin mengontrol segalanya, tetapi Dia selalu memiliki gambaran yang lebih besar.” (Patris Corde, no. 2). ***
Sumber bacaan:
Bodo, Murray. Mystics: Twelve Who Reveals God’s Love. Cincinnati, OH: Franciscan Media. 2019.
Paus Fransiskus. Patris Corde. Surat Apostolik pada Peringatan 150 Tahun Pemakluman Santo Yosef Sebagai Pelindung Gereja Semesta. Jakarta: DokPen KWI.2021
Sdr. Martin Kowe, OFM
Tinggalkan Komentar