Moko dan Samsa

Melalui karakter fiktif Moko dan Samsa, Sdr. Jerry Ranus OFM mengajukan pembahasan reflektif tentang pentingnya dimensi kontemplatif dalam hidup manusia. Dalam dunia yang ditandai dengan persoalan mental (baca: depresi) dan “demam pencapaian”, dimensi kontemplatif membantu seseorang menjalani hidup bukan hanya sebagai rangkaian aktivitas tetapi dengan suatu kedalaman dan keutuhan cara pandang. Baca selengkapnya!

 

Sebagai hadiah ulang tahun, seorang kawan mengajak saya untuk menonton film berjudul “1 Kakak, 7 Keponakan”. Sebuah film karya Yandy Laurens (Pemenang Piala Citra pada Festival Film Indonesia 2019 di kategori Penulis Skenario Adaptasi Terbaik untuk film Keluarga Cemara) yang diadaptasi dari sinetron berjudul sama yang tayang pada tahun 1996 karya Arswendo Atmowiloto. Film ini berkisah tentang tokoh Moko, seorang mahasiswa arsitektur yang baru saja menyelesaikan studi sarjana dan berambisi bersama pacarnya melanjutkan pendidikan di tingkat yang lebih tinggi ke luar negeri. Namun, cita-citanya itu berubah ketika Kakak Ipar dan Kakak perempuan pertamanya yang baru saja melahirkan, meninggal dunia  dalam waktu yang berdekatan. Serentak, Moko yang biasa dipanggil Kakak oleh para keponakannya harus berperan sebagai orangtua dan tulang punggung keluarga. Cita-citanya pupus dan cintanya pun kandas.

Beban Moko semakin bertambah dengan kedatangan Kakak perempuan keduanya dari luar negeri bersama suaminya. Moko yang sedang menyelesaikan proyek perdananya di tempat yang cukup jauh dari rumah harus terus diganggu oleh Kakak iparnya yang terus meminta transfer uang dengan alasan pembiayaan keponakannya dan perawatan rumah. Namun, akhirnya tersingkap bahwa uang tersebut telah dibawa pergi dan dia tak pernah kembali lagi. Presentasi proyek pertamanya memang gagal―meskipun ide-idenya brilian dan mengharukan― tetapi begitu mengetahui fakta bahwa para keponakannya selama ini telah meninggalkan rumah karena diminta berhenti sekolah dan bekerja untuk menghasilkan uang, Moko segera melupakan kegagalannya itu dan pergi mencari para keponakannya. Satu demi satu didatangi keponakannya di tempat kerja masing-masing dan dikumpulkannya kembali ke rumah tempat tinggal mereka. Dalam suasana haru, mereka mengakui kalau selama ini mereka merasa telah menjadi beban untuk Moko. Moko justru berpikir sebaliknya. Sebagai anggota keluarga, para keponakan itu seharusnya tidak perlu merasa menjadi beban bagi yang lain.

Moko adalah representasi dari mereka yang disebut sandwich generation, yakni generasi yang harus menanggung atau membiayai orangtua dan anaknya secara bersamaan. Generasi yang rentan dengan stres tingkat tinggi, kelelahan fisik dan mental/burnout, perasaan bersalah atau merasa tidak puas, dan beresiko mengidap depresi. Sebagaimana dikatakan Byung-Chul Han dalam karyanya Burnout Society (Jerman: Müdigkeitsgesellschaft), “Setiap zaman memiliki tanda deritanya masing-masing dan yang menandai pemandangan patologi pada awal abad dua puluh satu adalah depresi dan keletihan.” Menurutnya, masyarakat kita hari ini bukan lagi masyarakat dunia disipliner versi Foucault dalam Rumah Sakit, penjara, barak, dan pabrik.

Masyarakat tipe ini telah diganti dengan rejim baru, yakni masyarakat tempat pemelihara kebugaran (fitness), menara kantor, bank, bandara, tempat belanja, dan laboratorium genetis. Masyarakat abad dua puluh satu bukan lagi masyarakat disipliner, melainkan suatu masyarakat pencapaian (Leistungsgesellschaft). Penduduknya bukan lagi “subjek-taat”, melainkan “subjek-pencapaian”. Masyarakat disipliner adalah masyarakat yang didefinisikan oleh negativitas larangan. Kata kerja negatif yang membangunnya adalah tidak boleh (May Not). Sementara, masyarakat pencapaian sedang dalam proses membuang negativitas. Kata kerja positif yang membangunnya ialah bisa/dapat (Can) yang tidak terbatas. Larangan-larangan, perintah, dan hukum kini diganti dengan proyek-proyek, inisiatif-inisiatif, dan motivasi. Masyarakat disiplin masih diperintah oleh kata “tidak” dan negativitasnya menghasilkan orang-orang gila dan para kriminal. Secara kontras, masyarakat pencapaian menciptakan orang-orang depresi dan pecundang.

Sandwich generation terjepit antara dua generasi, generasi masa lalu dan masa depan. Sumber gambar: Lembaga Demografi FEB UI

Han mengkritisi pandangan Alain Ehrenberg yang menempatkan depresi sebagai transisi dari masyarakat disipliner kepada masyarakat pencapaian dan menilai bahwa bukan kelebihan inisiatif dan tanggung jawab yang membuat orang sakit, melainkan perintah atau tuntutan untuk mencapai sesuatulah yang merupakan perintah dari masyarakat pekerja modern. Adanya manusia depresif adalah sebagai makhluk pekerja (animal laborans) yang mengeksploitasi dirinya dan melakukannya dengan sukarela tanpa paksaan dari luar. Ia meletus pada saat subjek-pencapaian sudah tidak mampu untuk menjadi mampu (nich mehr können kann). Pertama-tama dan terutama, depresi adalah kelelahan kreatif dan kemampuan untuk merasa terkuras. Keluhan individu depresif: “Tidak ada yang mungkin” (Nothing is possible), hanya dapat terjadi dalam sebuah masyarakat yang berpikir: “Tidak ada yang tidak mungkin” (Nothing is impossible). Subjek-pencapaian menemukan dirinya bergulat dengan dirinya sendiri. Orang depresif telah dilukai oleh perang internal. Depresi adalah penyakit dari sebuah masyarakat yang menderita oleh kelebihan positivitas. Ia merefleksikan kobaran perang kemanusiaan di dalam dirinya.

Bentuk lain dari positivitas berlebih adalah kelebihan pada rangsangan, informasi, dan dorongan. Hal ini secara radikal telah mengubah struktur dan ekonomi dari atensi kita. Persepsi menjadi terfragmentasi dan berserakan. Lebih lagi, pemasangan beban kerja membuat persepsi mesti mengadopsi disposisi tertentu mengenai waktu dan atensi (Zeit und Aufmerksamkeitstechnik) yang pada gilirannya mempengaruhi struktur atensi dan kognisi. Sikap terhadap waktu dan lingkungan yang dikenal sebagai multitasking tidak merepresentasikan perkembangan peradaban. Manusia pada akhir masa masyarakat kerja dan informasi modern bukanlah satu-satunya yang memiliki kemampuan untuk mengerjakan banyak tugas sekaligus (multitasking).

Kemampuan itu juga ada pada binatang liar. Seekor  binatang yang sedang menyantap buruannya juga mesti melakukan tugas lain, yakni menjaga agar saingannya tidak mendekati buruannya. Pada saat yang sama ia mesti menjaga anak-anaknya dan juga mengawasi partner seksualnya. Dalam kehidupan binatang liar, binatang dipaksa untuk membagi atensinya dalam berbagai aktivitas. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa binatang tidak mampu tenggelam dalam hal-hal kontemplatif – mereka hanya atau makan atau bersenggama. Binatang tidak dapat menenggelamkan diri secara kontemplatif terhadap hal yang dihadapi (Gegenüber) karena ia juga harus memproses peristiwa-peristiwa yang melatarbelakanginya. Tidak hanya multitasking tapi aktivitas lain seperti bermain video game  juga menghasilkan mode atensi yang datar dimana mode atensi ini sama dengan mode kewaspadaan pada binatang liar. Perkembangan sosial dan perubahan struktur kewaspadaan hari-hari ini sedang membawa masyarakat manusia dalam dan lebih dalam lagi ke padang gurun.

Masyarakat kita saat ini terancam kehilangan kemampuan untuk memberi atensi secara mendalam atau kemampuan kontemplatif. Komunitas kita yang menggilai aktivitas (Aktivgemeinschaft) ini berdiri secara diametris berlawanan dengan kemampuan kita untuk beristirahat, merasa tenang, menikmati “anugerah mendengarkan”, dan lingkup “komunitas pendengar” yang mulai hilang. Atensi berlebih (hyperattention) dan aktivitas berlebih (hyperactivity) secara tak sadar menenggelamkan kita dalam kebosanan. Kita hanya memproduksi kembali dan mengakselerasi apa yang sudah ada. Tidak ada yang baru. Han sependapat dengan Nietzsche bahwa kehidupan manusia berakhir dalam hiperaktivitas mematikan ketika setiap elemen kontemplatif (beschaulich) diusir: “Dari kehilangan ketenangan, peradaban kita berubah menjadi barbarisme baru….Inilah mengapa hal yang  harus kita koreksi dari karakter manusia ialah penguatan unsur kontemplatif di dalamnya.”

Nasib Moko dalam film ini masih jauh lebih beruntung karena dia dikelilingi oleh orang-orang yang suportif, penuh cinta dan saling pengertian. Rumah dan keluarga bukan hanya sekedar menjadi tempat tinggal bersama dan asal-usul manusiawi baginya, melainkan lebih dari itu rumah dan keluarga menjadi suasana di mana dia dan keponakannya secara bebas bertumbuh dalam cinta satu sama lain. Dia mungkin menjadi korban dari masyarakat pencapaian, tapi tidak bagi keluarganya.

Saya lalu teringat kepada Gregor Samsa, tokoh fiktif dalam novel Franz Kafka berjudul Metamorfosis. Samsa mengalami sisi yang lebih kelam dalam rumahnya, bersama anggota keluarganya. Ketika suatu pagi terbangun dari mimpi buruk, dia mendapati dirinya telah berubah menjadi seekor serangga raksasa yang menjijikkan di ranjangnya. Perubahan besar itu mempengaruhi kinerjanya sebagai penjual keliling dan juga tulang punggung keluarga. “setiap kali percakapan sampai pada topik perlunya mencari nafkah, Gregor menjauh dari pintu dan mengempaskan tubuh ke sofa kulit yang dingin di sampingnya karena ia terbakar rasa malu dan kesedihan mendalam.” Samsa pelan-pelan berubah menjadi beban bagi keluarganya dan akhirnya dibiarkan mati dalam kondisi mengenaskan dalam wujudnya sebagai seekor serangga yang menjijikkan.

Dimensi kontemplatif membantu seseorang memandang dan memaknai hidupnya secara mendalam.

Baik Moko dan Samsa, keduanya sama-sama adalah tulang punggung keluarga. Namun, Moko bernasib lebih baik dibandingkan Samsa. Terlepas dari kisah mereka dengan segala pahit dan manisnya tantangan dalam hidup, saya lalu ingin merefleksikan beberapa hal menarik dari film ini. Pertama, terkait dengan sandwich generation dalam persaudaraan kita. Kelompok yang dimaksud adalah para saudara yang sekarang berada dalam kelompok usia profesi kekal di bawah sepuluh tahun. Mereka yang masih energik dan semangat dalam karya tetapi juga tidak sedikit mengalami problem dan tantangan yang dapat membawa kepada krisis hidup rohani, maupun pada akhirnya kehilangan arah dan tujuan dalam menghidupi panggilannya. Saya teringat dengan kegiatan yang telah dibuat oleh penanggung jawab On Going Formation yang mengumpulkan para saudara untuk kemudian saling membagi pergulatan, saling mendengarkan, saling meneguhkan dan berbagi solusi yang mungkin bisa dilakukan. Saya kira di atas pencapaian ataupun kegagalan yang kita hadapi di dunia karya pelayanan masing-masing, satu hal  yang penting adalah bagaimana kita membangun komunitas yang mampu saling menopang, mendengarkan, merangkul, dan bekerja sama satu sama lain. Agar persaudaraan tidak sekedar menjadi jargon dan iklan yang memikat bagi orang lain, tetapi lupa kita hayati dalam hidup sehari-hari sebagai suatu kesaksian yang sederhana tapi berdaya guna.

Paling tidak sejauh ini, ketika berbicara kepada para Postulan dan bertanya kepada mereka apa alasannya mereka memilih menjadi Fransiskan, kebanyakan dari mereka menjawab bahwa mereka tertarik dengan teladan hidup dari para saudara. Terlepas dari kekurangan dan kelemahan insani kita masing-masing, ternyata kesaksian hidup itu masih berpengaruh penting dalam menarik minat orang muda zaman ini. Saya lalu termenung dalam pertanyaan: Apakah komunitas saya selama ini sudah sungguh menjadi komunitas yang menopang satu sama lain dengan cinta di tengah arus tuntutan dalam hidup di tengah masyarakat pencapaian saat ini? Atau masih adakah saudara sekomunitas yang merasa, entah sebagai sapi perah atau saudara lalat (dalam bahasa St. Fransiskus Assisi), dalam hidup bersama? Harapan saya, semoga setiap saudara dalam komunitas kita sungguh-sungguh merasa sebagai saudara yang mendukung dan menopang satu sama lain dengan cinta dan tanggung jawabnya masing-masing. Kita tentu saja juga bisa memilih menjadi seperti keluarga Moko atau keluarga Samsa dalam hidup komunitas kita masing-masing.

Kedua, satu bagian menarik dari film ini juga membahas soal arsitektur rumah. Arsitektur rumah mereka yang awalnya sempit lalu oleh Kakak Ipar Moko dibongkar agar menjadi lebih luas dan terbuka bagi ruang gerak lebih banyak orang. Hal ini banyak menginspirasi Moko dalam berkarya sebagai seorang arsitek. Arsitektur bukan hanya soal model bangunan, ukuran dan luas, atau sekedar indah di mata dan efektif atau tidak dalam memenuhi kebutuhan. Arsitektur sendiri semacam punya spiritualitas yang tidak bisa dianggap enteng. Seorang kawan menceritakan bahwa itulah alasan mengapa biara-biara kita di Italia selalu memiliki model yang sama sejak dulu dan berusaha mempertahankan makna di balik model bangunan yang dibuat, bukan sekedar mengikuti perkembangan zaman dan paham arsitektur kontemporer yang menekankan soal efektifitas bukan makna teologis dan spiritualnya. Apakah bangunan biara kita selama ini masih memiliki corak dan nilai teologis dan spiritualitas tertentu? Ataukah kita telah takluk pada pertimbangan efektifitas arsitektur kontemporer?

Kontributor: Sdr. Gregorio F. W. Ranus, OFM

Magister Postulan St. Yoseph Pagal

Tinggalkan Komentar