
Kreasi Kandang Natal tahun 2024 di Paroki Kristus Raja Pagal
Natal adalah momen tepat untuk merenungkan makna minoritas atau kedinaan, salah satu bilah paru-paru spiritualitas Fransiskan. Sdr. Yosep Agut OFM menawarkan suatu refleksi yang mendalam perihal Natal dan Minoritas.
Sebuah Kisah
Dikisahkan demikian: Konon, pada malam menjelang kelahiran Yesus, Malaikat mengumpulkan semua binatang untuk memilih siapa yang akan ikut menjaga Bayi Yesus di kandang Betlehem. Hampir semua hewan mengajukan diri untuk menjadi penjaga menemani Bayi Yesus di kandang yang pasti kedinginan dan banyak lalat dan nyamuk berkeliaran di sekitarnya. Mereka memamerkan keahlian mereka seperti: harimau bisa menerkam musuh, anjing dapat menggongong, kancil bisa berdiplomasi, dan lain sebagainya. Namun, beberapa hewan malu-malu untuk mengajukan diri karena merasa tidak memiliki kemampuan: sapi hanya bisa mengibaskan ekor, domba dengan bulu tebalnya hanya bisa duduk diam sambil mengunyah makanan, dan unta hanya bisa menyiapkan punggungnya mengangkut beban. Malaikat pun menjatuhkan pilihan kepada sapi, domba, dan unta karena kemampuan itu yang dibutuhkan Yesus malam dingin itu.
Kisah di atas tentunya hanyalah sebuah rekaan tetap menarik untuk memberi inspirasi bagi perayaan Natal ini. Inilah hari Natal! Inilah hari yang penuh sukacita! Kristus telah lahir. Ia datang dengan penuh kerendahan dan kesederhanaan. Namun, kelahirannya menggerakan gembala untuk bersukacita dengan terus memuliakan Allah. Seperti yang diungkapkan dalam lirik Little Drummer Boy :
Come They Told Me …. a new born king to see ….
Our finest gifts we bring …. to lay before the king ….
So to honor him …. when we come
Little baby …. I am a poor boy too ….
I have no gift to bring ….. that’s fit to give our king ….
Allah mengambil rupa kesederhanaan untuk merasakan situasi umat yang dikasihi-Nya. Ia mengubah dukacita dan kegelisahan menjadi sukacita yang besar. Kita telah diselamatkan Allah. Ia adalah Immanuel, Allah yang menyertai kita. Maka, marilah saudara-saudari terkasih, oleh para Gembala kita diajak “Mari kita pergi ke Betlehem untk melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita!”
Minoritas di Betlehem
Thomas dari Celano dengan amat indah mengisahkan kerinduan St. Fransiskus Assisi untuk merenungkan dan merayakan peristiwa Allah menjadi manusia. “…Aku mau mengadakan peringatan Kanak-kanak yang dilahirkan di Betlehem, dan aku mau melihat dengan mataku sendiri keadaan-keadaan pahit dan papa yang diderita-Nya sebagai bayi, bagaimana Kanak-kanak itu dibaringkan di dalam palungan dan bagaimana Kanak-kanak itu diletakkan di atas jerami, dengan didampingi lembu dan keledai….” (1 Cel.84-87). Bagi St. Fransiskus, Allah yang merendahkan Diri serta membuat Diri-Nya menjadi “kecil” dalam peristiwa Betlehem merupakan model keutamaan kedinaan atau minoritas.
Bagi St. Fransiskus, seluruh “peristiwa Yesus” adalah “misteri kasih” Allah. Fransiskus terutama melihat 3 (tiga) hal pokok dalam “peristiwa Yesus”, yakni: Inkarnasi (Bethlehem), Kalvari (Salib), dan Ekaristi (Altar). Melalui ketiga peristiwa tersebut, Fransiskus menemukan bukan hanya pernyataan kasih Allah tetapi juga pernyataan mengenai Allah yang merendahkan diri-Nya. Dalam peristiwa Bethlehem, Kalvari dan Altar, Fransiskus tidak hanya menyaksikan Allah yang terus-menerus memberikan diri-Nya karena kasih, tetapi juga menyaksikan bahwa Allah memberikan kasih-Nya melalui pengosongan dan perendahan diri dan ke-Allah-an-Nya.
Tindakan kenosis Kristus juga diartikan sebagai tindakan “menjadi minor” dari kehendak-Nya dan dengan total menerima kehendak Allah (Fil 2, 5-8). Pada satu pihak, tindakan pengosongan diri (kenosis) memanifestasikan kepenuhan kasih. Pada sisi lain, kenosis bermakna tindakan pengosongan, pelepasan. Yesus memberi diri dan mengorbankan Diri-Nya demi keselamatan umat manusia. Hal ini menegaskan perihal makna relasi kasih sejati: rela berkorban (kehilangan) demi keselamatan orang lain. Orang lain ada untuk diperhatikan: ada untuk disapa dan bergembira bersama, serta ada untuk dicintai. Jika sampai kepada misteri cinta kasih sejati ini, kenosis mendorong manusia untuk menghayati minoritas dengan kesungguhan melalui tindakan memberikan diri sepenuhnya kepada Allah dan sesama.
Perendahan atau “jalan turun” yang ditempuh Allah itu menjiwai semangat kedinaan yang dipilih dan ingin dipeluk St. Fransiskus dengan sebulat hati. Dalam diri Yesus Kristus, Allah menjadi sangat dekat dan kehadiran-Nya nyata. St. Fransiskus sungguh menyadari kenyataan ini sekaligus mengimaninya. Allah menyatakan diri dalam rupa seorang anak kecil yang tak berdaya. Dia menempatkan diri-Nya dalam jangkauan perhatian kita. Kita mesti keluar dari diri sendiri, mengosongkan diri, agar dapat menaruh perhatian pada Allah.
Mandat Natal: Hidup Minoritas untuk Yang Lain
Beberapa waktu lalu, Sdr. Abba Lasar OFM, Pastor Paroki Kristus Raja Pagal menulis pesan inspiratif di laman status Whatsapp, demikian: “meskipun para pengungsi akibat erupsi gunung Lewotobi hidup dalam kesusahan, mereka tetap berharap dan bersukacita. Bahkan mereka masih menyempatkan diri untuk menerima Sakramen Tobat dan Pengakuan Dosa sebagai bagian untuk mempersiapkan Natal.” Status Whatsapp ini disertai foto-foto sukacita para pengungsi ketika disapa oleh para Saudara Dina yang sedang membuka posko untuk membantu mereka.
Natal menjadi momen tepat untuk merenungkan hal ini. Bahwa tidak banyak orang yang mau terlibat di tempat kotor, kumuh, dan tertinggal. Nampaknya tempat aman dan nyaman terfragmentasi pada bangku-bangku perkuliahan atau mimbar-mimbar gereja atau kursi-kursi jabatan gerejawi. Sekalipun sesekali para teolog mengintip persoalan riil manusia, tidak jarang sekelompok orang hanya menjadikan penderitaan manusia lain dan ciptaan sebagai objek penelitian atau pengamatan. Maka berteologi dari pinggiran (baca: terlibat) mengundang kita semua untuk mengada dan bersama dengan mereka yang dipinggirkan.
Melalui semangat minoritas, seorang Saudara Dina menerima sekaligus mandat sosial, panggilan untuk peduli, serta bersukacita bersama dengan mereka yang miskin dan telantar. Menghayati cara hidup miskin merupakan suatu keharusan. Sekaligus, minoritas itu mesti dihayati dengan sukacita. Hal itu diwariskan oleh St. Fransiskus Assisi sebagaimana tampak dalam Anggaran Dasar Tanpa Bulla. “Saudara semuanya harus berusaha mengikuti kerendahan dan kemiskinan Tuhan kita Yesus Kristus; hendaklah mereka ingat, bahwa dari segalanya di dunia ini, tidak ada yang perlu kita miliki kecuali – seperti kata rasul – makanan dan pakaian, dan cukuplah itu untuk kita. Mereka harus bersukacita apabila mereka hidup di tengah orang-orang jelata dan dipandang hina, orang miskin dan lemah, orang sakit dan orang kusta serta pengemis di pinggir jalan” (bdk. AngTBul.IX, AngBul VI).
Semangat hidup minoritas terwujud dalam relasi dengan yang lain. Penghayatannya bersifat relasional, yakni “mengembalikan kepada Allah dan kepada semua saudara/saudari” segala yang baik yang tidak dianggap sebagai milik pribadi. “Berbahagialah hamba, yang menyerahkan semua yang baik kepada Tuhan Allah” (Pth.XVIII), tegas St. Fransiskus lagi dalam Petuah. Mereka yang berada dalam tingkat ini, menghidupi arti mendalam dari kebebasan, mengupayakan keadilan dan harmoni, serta mengalami kedamaian dalam Roh. Minoritas menjadi tempat, sarana, dan saluran terwujudnya sikap hati terhadap Allah.
Minoritas berarti melepaskan kehendak sendiri demi dan supaya kehendak Allah terjadi atas dirinya. Seorang Saudara Dina memiliki kemampuan itu karena dibentuk dalam sebuah spiritualitas yang menuntut demikian. Seorang Saudara Dina dibentuk untuk bebas dari ego, persaingan untuk supremasi, atau keinginan untuk dimuliakan tetapi bisa berada bersama dengan sesama sebagai saudara. Dan akhirnya ia dibawa untuk menyusuri jalan cinta kasih dengan kebebasan, ketulusan, kerendahan hati, solidaritas, hidup penuh syukur, keterbukaan untuk mendengarkan kehendak Tuhan, dan kemampuan untuk merangkul dan memikul penderitaan. Dengannya, minoritas yang dihayati dan dijalankan menjadi jalan menuju Allah. Selamat Natal! Salam dari Gorontalo, Labuan Bajo!
Kontributor: Sdr. Yoseph Agut OFM
Tinggalkan Komentar